Prolog

36 1 0
                                    

Bunuh Diri/Killing Self menurut kamus umum berarti “Mengambil Nyawa Sendiri” atau “Mengakhiri Kehidupan Sendiri”. Bukan lah hal langka lagi bagi kita mendengar seseorang mengakhiri hidupnya, baik disebabkan oleh hal sepele maupun hal besar. Lebih sering mereka beralasan karena lelah dengan hidup ini, nyatanya hanya dijadikan alibi semata untuk lepas dari suatu masalah. Yang jelas, mereka melakukan hal bodoh itu bukan karena moral standar, melainkan ada suatu alasan yang jauh lebih mendasar dan terkesan ‘bodoh’.

Lalu alasan apakah itu? Carilah jawabannya sendiri!.

Dalam cerita ini terdapat 2 alur menyimpang. Alur Pertama, -Protagonis aktif berpartisipasi dalam cerita dan membantu perkembangan jalan cerita.
Alur Kedua, -Protagonis pasif memungkinkan cerita untuk membawa dirinya sendiri. Dan, aku termasuk dalam Alur Kedua. Namun, untuk beberapa hal tanpa alasan, aku harus memilih Alur Pertama.

Hari itu, Rok merah muda berkibar ditiup angin. Seorang gadis berdiri hendak bunuh diri diujung balkon disebuah appartement berlantai 7. Aku yang baru saja pulang dari kuliah segera berlari memasuki appartement dan segera menaiki tangga darurat. Padahal, ada sebuah lift disana. Hanya saja naluriku memaksa untuk naik lewat tangga darurat. Butuh beberapa menit hingga aku sampai dilantai 7 dan bergegas masuk kekamarnya.

“Uh-Hoohhh!,” aku menarik nafas. Cukup melelahkan harus menaiki tangga hingga ke lantai 7, membuat kedua tungkaiku bergetar menahan rasa lelah.

“Anu.. PERMISI!!” teriakku.

Aku sengaja melupakan kalimat yang kuucapkan saat itu. Tapi beberapa darinya sengaja ku ingat hingga sekarang...

“O-orang berkacamata yang terlihat baik sepertimu..” ujarku,
“TIDAK SEHARUSNYA MATI!!” lanjutku berteriak lantang padanya.

Dadaku bergetar saat mengucapkan hal itu. Sebenarnya aku ragu untuk mengatakan sesuatu padanya. Berharap  cemas ia tidak melompat dan mengakhiri hidupnya. Tetapi, ada sesuatu yang mendesak dalam dadaku, sebuah perasaan yang mengalir deras. Kemudian, aku menuangkan segala perasaan yang mengalir itu kedalam kalimat yang aku teriakkan.
Tiba-tiba gadis itu melompat kebelakang melewati balkon, lalu berlari hingga berhenti tepat dihadapanku. Bersamaan sebuah pisau dapur yang cukup panjang, dengan cepat menghunus dan menghujam tepat kearah perutku. Kaki yang sudah letih, tak mampu lagi menopang tubuh yang kini terasa nyeri dan sakit membuat diriku berlutut. Gadis itu pun ikut berlutut dihadapanku, tangannya masih menggenggam erat pisau yang menancap diperutku. Darah segar perlahan mengalir dari luka yang disebabkan oleh tusukan pisau.

“Kenapa...” gadis itu berbisik hampir tak terdengar.
“KENAPA KAU MENGHENTIKANKU!!” lanjutnya dengan cukup keras.

Seorang gadis mungil nan cantik dengan rambut hitam kemerahan yang tersiram cahaya mentari sore membuat rambutnya berubah hingga terlihat berwarna coklat kemerahan, panjang sebahu. Kacamata bergagang merah marun ditopang hidung mancung nya yang mungil menambah kesan imut dan manja. Walau wajahnya merah padam dengan bulir keringat yang menetes di dahinya, tak mengelakan bahwa gadis dihadapanku ini terlihat ‘Kawaii’.

“Itu karena aa-aku.. CINTA GADIS BERKACAMATA!!” Jawabku lantang, menahan rasa sakit yang mengiris sambil menebar senyum ketulusan padanya.

Matanya melebar, tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Kedua tangannya menutup mulut, hampir saja gadis itu menangis. Hingga, aku lupa apa yang terjadi selanjutnya...

Gelap.. –karena aku tak sadarkan diri.

Itulah sekilas pertemuanku dengannya, sebuah awal mengerikan yang ku harap akan berakhir dengan Bahagia. Amelia Stevyani, si gadis berkacamata yang kawaii.

“Bisakah kau melepas kacamatamu?”

Kisah Gadis Ber KacamataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang