"Mama liat kamu di kamar mandi umum. Dulu, itu kamar mandi untuk semua penghuni kontrakan jadi satu, di pojok belakang rumah Pak Aman yang punya kontrakan. Waktu itu sebelum azan subuh, Mama kan mau mandi, pas buka pintu kamar mandi, Mama liat kamu di taruh di deket WC cuma di selimutin daster. Kamu itu udah pada biru. Mama teriakkan karena kaget. Yang lain baru pada keluar denger teriakan Mama. Sebelum Mama temuin kamu, kamu itu gak nangis, diem aja mungkin kamu kedinginan, ya. Waktu di gendong Mama baru kamu nangis kenceng. Terus, Mama sama Papa sepakat untuk rawat kamu, karena pikiran kita, kamu itu titipan dari Allah untuk kita, Ris."
Mama baru menjelaskan semuanya saat aku bertanya setelah pulang sekolah, ia menceritakannya dengan lelehan air mata yang tak berhenti, Papa yang duduk di sampingku hanya mengusap kepalaku sayang, tapi aku tau Papa juga ingin menangis. karena matanya terus berkaca-kaca sejak awal Mama memulai ceritanya.
Kak Dian pun sama, ia yang duduk di samping Mama langsung mengelus bahu Mama dengan lembut, mata Kak Dian terus banjir air mata sejak tadi.
"Terus, Risa anak siapa?" Hanya pertanyaan itu yang mampu keluar dari mulutku, pikiranku entah kemana saat itu.
Mama menggeleng, ku lirik Papa, sama ia pun menggeleng.
"Jangan bohongin Risa lagi! Apa kalian gak cape udah bohongin Risa selama ini!" Cukup sudah. Kesabaranku habis, aku berteriak kencang pada mereka. Air mataku terus tumpah sedari tadi, tak sanggup aku menahannya lagi.
"Kita bener-bener gak tau, Risa," ucap Papa parau.
"Tapi, ada gosip yang bilang ... kamu cucunya Pak Heri, dari anak perempuan Pak Heri satu-satunya." Setelah lama terdiam Kak Dian membuka mulutnya, yang membuatku membeku.
"Dian!!!" Tegas Papa.
"Lebih baik kita yang cerita, Pa! Papa mau Risa tau dari orang lain lagi. Biarpun itu cuma gosip, tapi kita kan belum tau itu yang sebenarnya atau bukan! Kalau itu yang sebenarnya, bisa aja kan Risa nemuin Ayah kandungnya! Risa itu anak perempuan, Pa, dia butuh ayahnya untuk nikah nanti!" Tegas Kak Dian membuat Papa dan Mama menundukkan kepalanya.
"Kita juga gak tau itu bener atau gak, tapi Mama pernah tanya ke-ARTnya Pak Heri. Katanya, Mbak Annisa, anaknya Pak Heri memang pernah melahirkan, tapi seluruh keluarga mereka gak tau dimana anaknya Mbak Annisa. Waktu gosip itu kesebar, Pak Heri marah besar, semua orang yang sebarin gosip itu ditantang sama dia mau dimasukin kepenjara atas tuduhan pencemaran nama baik. Orang gak punya kaya kita langsung diem denger omongan Pak Heri karena mereka takut masuk penjara."
"Jadi?" tanyaku sedikit kesal dan kecewa.
"Mungkin kamu anaknya Mbak Annisa, Ris. Karena kamu mirip banget sama Mbak Annisa." Jelas Papa, membuat air mataku semakin menderas.
"Aku gak pernah liat anak perempuan Pak Heri," ucapku tersendat-sendat karena air mata ini.
Hening...
Mereka semua diam dan saling melirik satu sama lain.
"Mbak Annisa sudah meninggal, tiga bulan setelah kelahiran kamu, Ris." Kak Dian mengucapkannya dengan pelan.
Apa yang harus aku ucapkan? Semuanya terasa gelap. Aku tak sanggup mendengarnya lagi.
Aku berharap ini semua hanya mimpi setelah aku terbangun nanti. Ini sangat menyakitkan, Ya Rabb...
---
12 Mei 2018
25 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan (TAMAT) Lanjut Karyakarsa
Ficção GeralTerbit di Karyakarsa... Senyumku bahkan takkan pernah bisa menutupi raut kecewa ini...