9. Aku liat ibu mah!

3.6K 236 4
                                    

Aku mencoba membuka mataku yang terasa berat. Kepalaku sangat sakit dan tubuhku rasanya remuk semua.

Berhasil membuka mata, aku mengedarkan pandanganku kesemua sisi ruangan yang aku tempati. Dimana ini? Kenapa sangat luas dan hanya ada aku sendiri disini?

"Mah.." aku mencoba memanggil mamah lirih. Baru mengucapkan itu saja rasanya kepalaku sudah mau pecah.

Klek..

Suara pintu terbuka, dengan susah payah aku mencoba melihat kearah pintu yang ada di sebelah kiri yang lumayan jauh dariku.

"Risa kamu udah bangun," ucap mamah dengan heboh sambil berjalan cepat kearahku.

"Sayang kamu mau apa? Mau minum?" Tanya mamah setelah ada disampingku.

Aku mengangguk karena memang aku haus.

Mamah menyodorkan gelas yang sudah terisi air ke bibirku yang langsung kuminum perlahan.

"Mah.." panggilku lemah setelah selesai minum.

"Aku liat ibu mah!" ucapku lirih. Sungguh rasanya mengeluarkan helaan nafas saja terasa sakit, namun aku ingin menceritakannya pada mamah.

"Dimana?" Tanya mamah sendu, matanya terlihat berkaca-kaca.

"Di deket lampu merah, karena itu aku nyebrang."

Tanpa terasa kedua pipiku sudah basah. Mamah mengulurkan tangannya ke pipiku, ia mengusapnya dengan lembut. Aku memejamkan mata merasakan usapan mamah. Andai ini tangan ibu..

"Risa.. diperiksa dokter dulu ya." Aku mengangguk saat mamah menjauhkan tangannya dan membiarkan dokter yang baru datang memeriksaku.

"Apa di tubuh kamu ada yang terasa sakit?" Tanya dokter perempuan bersurai hitam padaku.

"Badan aku semuanya sakit dok, kepala aku pusing, dada aku sakit kalau tarik nafas," kukeluarkan semua yang aku rasakan dengan lirih.

"Dada kamu sakit karena terbentur cukup keras diaspal jalan. Beruntung tak ada luka berat yang kamu alami karena mobil yang melaju dalam kecepatan sedang. Kepala kamu terbentur aspal tapi tak terlalu parah juga, hanya bocor sedikit." Dokter itu memaparkan semuanya dengan lembut.

"Terimakasih dok." Kataku pelan.

"Iya sama-sama. Jangan lupa istirahat dan makan dulu ya, karena kamu dari kemarin belum makan."

"Emang sekarang jam berapa dok?" Tanyaku yang baru sadar oleh perubahan waktu.

"Sudah jam tujuh pagi, kamu pingsannya lumayan lama." Aku tersenyum salah tingkah mendengarnya.

"Ayo ris makan dulu" kata mamah sambil menyuapkanku bubur. Aku pun memakannya dengan lahap karena perutku terasa lapar.

"Kok aku dirawatnya di sini mah?" tanyaku setelah selesai makan.

"Iya, soalnya kamu di pindahin sama pak Damar. Katanya biar kamu lebih nyaman."

Pak Damar.. Rasanya sakit mengingat kejadian sebelum kecelakaan itu.

"Mah, aku mau tidur ya." aku pun memejamkan mataku. Lebih baik aku tidur daripada mengingat kejadian menyakitkan itu.

"Yaudah. Mamah temenin."

***

"Pah.. Risa udah sadar. Kata dokter gak ada luka serius, beberapa hari lagi udah boleh pulang." suara Rey menjelaskan kondisi Risa pada ayahnya, Pak  Damar yang sedang terbaring di ranjang pasien tepat di sebelah ruangan Risa.

Pak Damar hanya mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Rey.." panggilnya pada anak keduanya itu.

"Iya."

"Jangan jadi laki-laki seperti papah! Bersikap tegaslah dan mampu menjaga hati hanya untuk satu orang!" ucap pak Damar lirih. Rey menatap mata sang papah dalam yang terlihat sudah berkaca-kaca dan penuh rasa penyesalan dimata tuanya itu.

"Pah.."

"Andai Rey... andai papah bisa lebih tegas..." lanjutnya sendu.

"Papah gak boleh kaya gini!" kata Rey mencoba menenangkan papahnya.

"Papah yang menghancurkan Annisa! Papah yang buat Risa diperlakukan seperti itu dengan kakeknya! Dan papah Rey... Papah penyebab Annisa meninggal! Semua salah papah Rey!" racau pak Damar dengan tangisnya.

"Pah... Papah gak boleh kaya gini!" kata Rey Prihatin sambil memeluk papahnya yang terasa sangat rapuh. "Ini sudah takdirnya pah. Boleh papah merasa bersalah, tapi jangan berlarut seperti ini! Ingat kondisi papah! Kalau papah kaya gini, gimana papah mau memperjuangkan Risa?! Risa anak papahkan?"

Pak Damar melepaskan pelukan anak keduanya itu karena pertanyaannya. "Iya Risa anak papah! Anak perempuan papah!" jawabnya dengan tegas.

"Apa Risa mau mengakui papah sebagai papahnya?" tanya Rey lagi dengan lembut. Yang dijawab gelengan oleh pak Damar.

"Kalau gitu, papah harus berjuang untuk Risa. Perjuangkan Risa agar Dia mau mengakui papah sebagai papah kandungnya!" pak Damar menatap mata sang anak dalam, Rey pun memberikan senyum tipisnya.

"Karena itu, papah gak boleh kaya gini! Papah harus bangkit dan kembali sehat supaya bisa ketemu Risa dan berjuang untuk meraih posisi papah yang sebenarnya."

Pak Damar tersenyum haru, ia pun memeluk anak keduanya itu dengan erat, "terimakasih Rey, terimakasih. Kamu memang yang selalu mengerti papah Rey." Katanya dengan haru. Rey pun membalas pelukannya dan tersenyum samar.

"Mah?" panggil Bagas Kaffa, kepada ibunya yang sedari tadi diam didepan pintu ruangan pak Damar dan mendengarkan pembicaraan ayah dan anak itu.

"Mah..." panggilnya lagi ketika sang ibu tak menjawab, malah berjalan pergi.

"Jangan ikuti mamah, gas. Mamah butuh sendiri." ucap bu Ismi menghentikan langkah kaki anak pertamanya itu.

Bagas pun diam ditempat, tepat didepan ruangan Risa. Ia melongokkan kepalanya pada kaca jendela didepan pintu kamar Risa dan memandang gadis itu yang sedang terlelap membelakangi pintu.

Langkahnya kembali berjalan kearah ruangan sang ayah yang bersebelahan dengan Risa. Ia hembuskan nafasnya kasar sebelum mendorong pintu kamar yang sedikit terbuka sedari tadi itu.

---

Assalamu'alaikum🤗
Alhamdulillah bisa up juga akhirnya cerita ini😅

Gapapalah gak ada yang nunggu juga yang penting aku suka cerita ini😆

Terimakasih untuk yang sudah mampir, vote dan Komen🤗🙏

Wasalamualaikum...

Harapan (TAMAT) Lanjut KaryakarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang