Chapter 1
Jakarta utara--Indonesia, 2013
Di suatu malam saat aku masih kecil, aku duduk di ayunan besi menghadap kolam ikan pekarangan belakang rumahku. Di dekat pagar yang menjulang tinggi membatasi rumah kami, terdapat sumur tua yang gelap dan berlumut. Biasanya, sepulang sekolah kusempatkan membuang kerikil kecil ke dalam sumur itu. Karena ibu pernah berkata bahwa melempar kerikil bisa menjauhkan kesialan. Singkatnya sih seperti upacara buang sial.
Namun, malam itu aku tidak mempercayai kata-kata ibu lagi.
Selama ini aku baru tahu kalau ternyata ibu hanya membohongiku. Kesialan itu tetap mengenaiku. Nasib buruk masih selalu ada di belakangku. Dan kesedihan masih selalu mengikutiku.
Dari dalam rumah terdengar teriakan nyaring yang disusul bunyi barang pecah. Aku menutup indra pendengarku.
"Pelacur tidak tahu diri! Tidak tahu di untung!"
Plak!!!
Pranggg!!!
Teriakan itu ... jeritan pilu itu ... dan juga suara barang - barang pecah bagai melodi mimpi buruk yang sedang terputar pada kotak musik tua dari Neraka Jahannam yang khusus di perdengarkan hanya untukku. Aku membenci mereka. Membenci malam itu.
"Ibu ... ibu ... apa yang ibu lakukan? Jangan lakukan itu, ibu! Kumohon...." Lalu teriakan Adik kecilku yang berumur 10 tahun terdengar menggelikan di telingaku. Aku tertawa di dalam hati. "Percuma saja, Bodoh! Mereka tidak akan mendengarmu!"
Penyiksaan, teriakan, permohonan adalah hal yang biasa terdengar dikeluargaku. Setelah itu, setelah jeritan tadi ... tentu saja aku akan mendengar rintihan ibu dan disusul kata-kata kotor dari ayah. Hidupku tidak pernah tenang di awal tahun itu. Karena di awal bulan Januari itulah, kebohongan yang disembunyikan ibuku terbongkar sudah. Menyisakan rasa kekecewaan yang sangat mendalam bagi kami yang sudah terkhianati.
Aku menduga, Ibu bekerja ; benar-benar bekerja. Namun, apa yang kami lihat malam itu di luar nalar kami sendiri. Aku mengingat itu, Lantas tersenyum pilu.
Ayahku pun tak jauh berbeda. Jika Ibu sembunyi-sembunyi untuk menjaga hubungannya bersama lelaki lain, maka ayah secara terang-terangan memperlihatkan hubungannya pada kami. Bahkan, ia nekad untuk membawa wanita yang berbeda tiap malamnya dan membiarkannya tidur di rumah kami.
Lalu, respon ibu? Respon ibu? Biasa saja. Dia bersikap seakan tak ada yang terjadi. Dia benar-benar siap bila kami membencinya. Namun, dia salah! Berkali-kalipun aku berniat untuk membencinya, suara tangis dan wajah lebam tak sanggup untuk mempertahankan ego dan pondasi dendam yang kubangun. Aku tidak bisa membencinya. Namun tak berarti, aku menerima setiap kejadian apa yang terjadi pada hidupku selama ini yang disebabkan dirinya.
Tentu tidak! Omong kosong! Nyatanya aku tak sekuat itu. Aku masih selalu menyalahkan diriku di hadapan cermin. Masih selalu menyakiti diriku sendiri untuk menghapus diri ini dari muka bumi. Membiarkan rasa sakit itu sekejap menghilang dengan pelarian barang tajam yang mengiris nadi. Namun, tak ada yang terjadi. Tak ada yang berubah. Aku masih tetap di sini untuk menanggung rasa sakit yang sama.
Suara-suara itu tak lagi terdengar. Namun, Seru-seruan yang menyebut namaku terasa semakin mendekatiku.
"Kay!!! . . . Kay!!!"
Aku tahu dia siapa, tanpa harus berbalik untuk memastikannya.
Suara serak itu terdengar begitu dekat. Anak kecil itu membutuhkanku. Adikku--Ken sangat membutuhkanku. Batinku berbisik, namun sulit untukku berbalik dan memeluknya. Membawanya ke dalam dekapanku yang sama rapuhnya.
"Kay!"
Sekali lagi dia memanggil. Namun, saat itu pula hatiku benar-benar membeku. Aku tidak berbalik. Aku tidak memeluknya seperti yang ingin kulakukan padanya.
"Kay ... Aku membencimu!" Perkataan terakhir kudengar sebelum langkah kaki membawanya menjauh.
Aku masih di sini, tak bergerak. Membiarkan angin malam mengacak-acak rambutku. Membiarkan poniku bergerak liar. Perkataannya sarat akan kebencian yang nyata. Sedangkan di dalam hatiku, tak ingkar terngiang-ngiang lontaran putus asa "Aku tak peduli! Benci saja aku semau kalian. Sakiti aku sesuka kalian. Kalau perlu, bunuh aku sekalian!"
Perkataan yang kuharap akan ada seseorang yang berlari menujuku dan menghunuskan belati dijantungku. Atau mungkin, seseorang yang menyiramiku bahan bakar dan membakarku hidup-hidup. Agar aku tak akan menerima rasa sakit ini lagi. Rasa sakit yang membuatku ingin mati saat ini juga.
***************************************
Haii gaes.Huffftttt..... Ngehela napas dulu. Sumpah, greget banget akutuh. Soalnya tadi udah ngetik panjang-panjang malah gak kesave. Terpaksa nulis ulang.
Jadi gaeeessss. Cuma mau bilang "kalian apa kabar?"
Semoga baik-baik aja, ya. Akutuh baru muncul lagi dgn cerita ini yg masih dalam tahap revisi.
Ada yang nanya gak kenapa cerita ini udah dari satu tahun yg lalu tapi belum kelar-kelar??
Jadi gaesssss, cerita ini tuh mentok di tengah jalan karena kerangkanya ilang. Hiks😖😖😖😞suer akutuh. Outlinenya ilang. Makanya aku harus buat lagi. Dan jadi kek gini deh. Yg ku update versi barunya, yaks. Maap.
Aku udah rombak abis-abisan, dan bakalan banyak banget yg berubah. Jdi buat kalian yg udh sempat baca Mikayla sampai part akhir (bukan ending) ... Maap ya, kalian harus move on. Dan buat yg belum pernah baca, semoga kalian suka bab barunya.
Apresiasi kalian ditunggu ya. Bisa berupa vote atau pun coment kalo memang suka. Kalo gak suka gpp, gak maksa kok.
Sekian 😘 semoga kalian sehat selalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quis es? [Revisi]
General FictionSiapa kamu? Yang dengan seenaknya masuk di kehidupanku. Yang dengan sesukanya masuk di lingkunganku. Siapa kamu? Yang tanpa diundang mampu menggetarkan hatiku. Menggoyahkan pertahananku. Kutanya siapa kamu? Dan apa tujuanmu?! -"Mikayla Andressa Zav...