Quis es_14

11 2 0
                                    

Senja mengajarkanku bahwa yang indah terkadang tak bertahan lama. Akan ada saat ia menepi dan pergi.

***

Takdir memang sulit ditebak. Semesta pun terkadang begitu kejam. Kemarin, kami sudah berencana untuk malam minggu bersama. Menjelajahi kota Gorontalo dan mengitari seluk beluknya yang belum terjajah. Kami yakin ada begitu banyak keindahan yang belum tersentuh oleh tangan-tangan nakal manusia. Namun, hari ini aku harus disadarkan oleh kenyataan bahwa rencana itu hanya sekedar rencana.

Andina menjauhiku. Dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Malam minggu yang sangat suram. Kuingat jelas bahwa kemarin di Jakarta, malam mingguku selalu penuh dengan keceriaan. Ya, setidaknya aku masih bisa punya teman dan tertawa ria. Lantas sekarang apa? Oh, tapi bukankah aku termasuk beruntung? Aku sudah terselamatkan dari para penyihir itu. Ya, setidaknya!

Langit sedang berwarna jingga ketika kami terjebak dalam kemacetan panjang. Tidak heran lagi, ini hari minggu. Surga buat para muda-mudi. Malam untuk melepas penat setelah hampir seminggu terkungkung dalam aktivitas menyebalkan.

"Kita mau kemana, Om?" Aku bertanya setelah tersadar bahwa kami melewati taman taruna. Mengingatkanku pada malam kamis kemarin dan kejadian yang membuat Andina mendadak berubah.

Om Rinto tersenyum. "Kita ke GM." jawabnya. Aku mengerutkan kening. "Gramedia, maksudnya? Om mau beli buku?"

Kudengar seseorang di sampingku berdecih mengejek. "Kampungan!" katanya. Seperti biasalah, tiada hari tanpa ucapan ketus. Aku hanya memutar bola mata menanggapinya, sedangkan Om Rinto di kursi kemudi terkekeh pelan.

"Gorontalo Mall, Mika. Kamu tahunya GM cuma Gramedia saja, kah?"

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Tidak juga, sih."

Hening ....

Tak ada percakapan lagi.

Tadi kupikir akan menghabiskan malam mingguku di rumah saja. Memenuhi buku diary-ku dengan berbagai curhatan. Akan tetapi Om Rinto datang ke kamarku dan mengajakku ikut serta. Aku tak punya pilihan lain selain memenuhi ajakannya. Meskipun sebenarnya aku kurang suka karena kutahu pasti ada kedua kuntilanak kompleks itu.

Dan di sinilah diriku berakhir. Terjebak di antara keluarga kecil itu.

"Gorontalo tidak selalu macet seperti ini, kok, Mik. Hanya saja sepertinya di depan ada yang kecelakaan. Tidak seperti di Jakarta, kan? Setiap hari macet." Om Rinto memulai perbincangan. Namun hanya kutanggapi dengan tersenyum saja.

"Soal ibumu, apa dia selalu menghubungimu?" Aku menatap lurus ke arahnya lantas mengangguk.

Dia menatapku sesaat dari balik kaca spionnya. "Ibumu wanita yang kuat." Pujinya. Mungkin ia lupa bahwa istrinya berada di sampingnya. Atau mungkin saja ia sengaja. Tatak Ayu berdehem singkat sembari melempar tatapan tajam, yang tidak ditanggapi serius oleh Om Rinto.

Biar kutebak, lelaki setengah baya itu pasti sedang memancing istrinya agar bicara. Karena sejak tadi, Tatak Ayu dan Alinka hanya fokus pada gadgetnya.

Drrrttt ... drrrttt....

Ponselku bergetar. Ku swipe layar lantas mendapati pesan dari seseorang yang tadi sempat dipuji Om Rinto.

"Ibu sibuk dan baru bisa membalas pesanmu sekarang. Ada sedikit masalah dengan butik ibu di Bandung. Jadi ibu harus turun tangan tuk mengurusnya. Apa kabar dirimu, anakku?" Aku tersenyum lebar. Setidaknya pesan singkat Anna mampu mengisi kekosonganku dan rasa muakku terhadap Alinka yang sesekali menatapku sinis.

Ku ketik beberapa kata sebelum kembali menghapusnya. Ada baiknya jika aku mengobrol dengan Anna saja. Ku video call dia.

Butuh beberapa detik menunggu sebelum kemudian panggilan kami terhubung. Di seberang sana Anna tampak memakai dress tanpa lengan sembari tersenyum menatapku.

"Hallo anak ibu. Bagaimana harimu?"

Aku mencoba senatural mungkin tuk menjalankan kebohonganku. Dan semoga Anna masih seperti dulu--mudah untuk kubohongi.

"Baik, seperti biasa. Dan sekarang Mika lagi mau ke GM."

"Woah. Pasti bersama Om Rinto, Tante Ayu dan Alinka?" Anna tampak senang. Rupanya benar, dia masih bisa kubohongi.

Aku mengangguk dan mengulas senyum tipis. Ku arahkan kamera ponselku menyorot Om Rinto yang tampak serius menyetir--karena kemacetan tadi mulai kembali lenggang. Sementara kuedarkan lagi kamera ke arah Tatak Ayu. Ia tampak serius berbincang dengan seseorang ditelepon, sementara ku sorot lagi Alinka, namun gadis itu hanya mengulas senyum tipis ketika melihat Anna tampak fokus menatapnya.

"Hai, Alin. Tambah cantik, ya, sekarang." Alinka menatapku sebentar sebelum membalas sapaan Anna. "Hello, Bunda. Bunda juga tambah cantik."

Percakapan hari itu ditutup ketika kami telah sampai di tempat tujuan. Dan Anna hanya mengucapkan "Selamat bersenang-senang." Sesuatu yang belum ia ketahui. Bahwa hingga detik ini, aku sama sekali tidak sesenang yang ia bayangkan.

***

Quis es? [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang