Quis es_9

26 5 4
                                    

"Kita ngapain sih di sini?" tanyaku ketika dia masih saja merunduk memainkan ponselnya mengabaikan diriku yang bingung dengan tingkah lakunya sejak sepuluh menit yang lalu.

"Andina, woi!" teriakku ditelinganya. Ia terkejut dan menoleh. "Eh, maaf, Mik." Ia berucap tidak enak. Lantas menyimpan ponsel tadi ke dalam saku celananya. Air muka gadis itu berubah entah mengapa. Namun yang kutahu pasti bahwa ada sesuatu yang terjadi padanya setelah ia menyentuh ponselnya yang bergetar tadi.

"Kamu tidak apa-apa, 'kan?" tanyaku

"Tidak apa-apa. Eh, liat itu, deh!" Dia mengalihkan pembicaraan, aku tahu itu. Namun aku tidak berhak memaksanya untuk cerita sementara ia juga tidak pernah memaksaku.

Lantas aku mengikuti arah telunjuknya. Mendapati mayoritas remaja lelaki tengah bergerombol di dekat air mancur sembari dance. Tiba-tiba aku jadi teringat Paris. Dulu aku suka sekali menonton sekumpulan orang ngedance di taman kota dengan adikku--Ken. Ah, seharusnya aku tidak mengingatnya saja, dengan begitu aku tidak akan merindukan anak itu.

"Woah, mereka siapa?" tanyaku dengan mata berbinar-binar. Sedangkan dia balas bertanya.

"Keren, 'kan?!" Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.

"Mereka dari komunitas hiphop gorontalo."

"Woah, iya, keren. Ke sana, yuk!" ajakku namun Andina menggeleng. "Tidak usah. Di sini aja." katanya.

"Lah ... kenapa? Kamu malu? takut?" Aku mengejek sedangkan dia hanya menggeleng seolah membantah.

"Tidak, tidak sama sekali. Hanya saja...."

"Udah, ayo!" kataku lantas menariknya. Kami berhenti tepat di belakang rombongan itu yang asyik tertawa dan berteriak seru.

Salah satu dari pria itu berbalik ketika menyadari kehadiranku. Wajahnya cukup manis dengan kulit putih, mata agak sipit, dan rambut acak-acakan.

"Eh, siapa ngana? Kiapa so ada pa ana pe belakang dang?" (Siapa kamu? Kenapa tiba-tiba berada di belakangku?) Dia menggunakan aksen Gorontalo yang kental.

"Aku ... aku...." Aku menatap matanya gugup, sedangkan tiba-tiba tangan Andina yang kugenggam mendadak tegang. Aku menoleh menatapnya lantas terkejut. Gadis gendut yang sedang memakai baju hitam, jaket jeans, dan celana yang senada itu tengah melotot--jelas sedang terkejut.

Kemudian aku mengikuti arah pandangnya.

"Halo ... Andina" sapa seseorang. Aku menoleh dan mendapati pria bertubuh tinggi yang sangat tampan berada di hadapanku dan Andina--tepat di samping pria yang berbicara denganku tadi. Kedua pria itu tampak berbincang sebentar sebelum pria bermata sipit tadi berlalu pergi dan bergabung bersama teman-temannya yang lain.

Kutengok Andina--gadis itu tetap menatap kosong seolah baru saja melihat hantu. Sedangkan aku malah panik dibuatnya. Aku menggoyang-goyangkan tangannya yang masih berada di dalam genggamanku sehingga ia tersadar.

"Long time no see, Din," ucap pria itu lagi sedangkan Andina malah melirik ke arahku, menatap sepasang mataku liar seolah mencari jawabannya di sana. Aku tidak pernah melihat dia dengan ekspresi seperti itu sebelumnya.

Merasa perkataannya tak mendapat respon, pria itu malah melirikku sebelum bertanya pada Andina "Temanmu?"

Kini ada pergerakan dari Andina, walau hanya anggukan samar saja. Pria itu tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku "Kenalin, aku...."

"Mik, pulang, yuk! Udah malam banget. Kamu tidak bisa terlalu malam, 'kan, pulangnya?" tanyanya padaku sembari menatapku dengan sorot berbeda. Aku menyadari itu--menyadari tingkahnya yang aneh, namun kucoba untuk berpikir positive saja.

Aku melihat arlojiku dengan susah payah di antara penerangan yang remang-remang. Tiba-tiba mataku membulat.

"Astaga ... sudah jam 10." teriakku histeris. "Ayo pulang, Din!" Aku menarik tangannya lagi dengan perasaan berkecamuk antara takut dimarahi nenek lampir ketika aku sampai di rumah nanti, dan dilain sisi berharap agar tidak ada yang mendengar suaraku ketika berteriak tadi.

*****

Matahari menjulang tinggi ketika jam istirahat tiba. Aku duduk sendirian di kursi pojok tempat Andina duduk. Ah, rasanya tidak nyaman duduk sendirian tanpa teman. Gadis gendut itu tak datang hari ini, entah mengapa. Tak ada surat izin sakit ataupun keterangan perihal ia yang tak masuk sekolah.

"Mik, ada surat buat kamu." ucap seseorang mengagetkanku. Aku mendongak dan mendapati Rana--ketua kelas berdiri di hadapanku sambil mengulurkan sesuatu.

"Dari siapa, Ran?" tanyaku.

"Nggak tahu. Aku juga tadi nemu di depan pintu kelas."

"Kok tahu buat aku?" tanyaku lagi.

"Kan ada namamu di situ."

Aku merebut surat itu dan mengecek langsung, dan benar saja. Di sana ada namaku. Aku mengangguk dan berucap terima kasih, sedangkan dia tersenyum lantas berlalu pergi.

Di dalam kelas hanya aku saja. Nara--kembaran Rana tadi mengajakku ikut bersamanya ke kantin, tapi aku hanya menggeleng. Rasanya aku hanya ingin tertidur di tempat ini saja seorang diri sambil memikirkan kejadian-kejadian yang t'lah kulalui.

Tapi tiba-tiba Rana datang dan menyerahkan sebuah surat. Tanpa membuang waktu lagi akupun membuka surat itu dan terkejut karena kertasnya kosong.

Eh? Apa-apaan. pikirku. Tapi aku hanya ingin berpositive thinking saja. Mungkin si pengirim keliru ketika mengirim. Bisa saja dia memasukkan kertas yang ia pikir sudah ia bubuhkan kalimat perkalimat di dalamnya. Namun yang ia masukkan malah kertas kosong.

Jadi kuremas kertas itu hingga menjadi bola-bola kecil, lalu kumasukkan ke dalam laci meja Andina. Tiba-tiba saku seragam sekolahku berdering. Aku merogoh benda persegi itu lantas membuka layar. Namun ternyata nomor tersembunyi. Tidak ingin berpikir buruk maka akupun langsung mengangkatnya.

"Halo?" sapaku.

Satu detik....
Dua detik....
Tiga detik....

namun tak ada suara.

"Halo ... apa ada orang?" tanyaku lagi, namun masih juga tak ada suara. Ketakutan dan beberapa kemungkinan buruk pun berbondong-bondong menggangguku. Dengan tubuh gemetar aku pun mematikan sambungan telepon itu. Pasti salah sambung. Iya, pasti salah sambung. Aku merapalkan kalimat itu berulang-ulang berharap bahwa kenyataannya memang begitu--yang menghubungiku tadi hanya orang salah sambung.

Aku menghela napas berat sebelum menjatuhkan kepalaku di atas meja.

Hari ini Andina tidak datang ke sekolah.
Tiba-tiba mendapat surat kosong dan keterakhir panggilan dari sosok misterius.

Apa ini ada hubungannya dengan Andina yang semalam mendadak berubah?

Ah, tidak mungkin. Andina tidak pantas untuk dicurigai. Dia gadis yang baik. Iya. Dia gadis yang sangat baik. Dan aku tidak boleh berpikir buruk tentangnya.

****

Haluhaaa😍😍 aku lgi sakit guyss. Kalian gmna kabarnya? Hehe😅😅 smoga sehat2 aja ya. Amin😇😇

 Amin😇😇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Quis es? [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang