Sejak kepergian Alung ke kota, otomatis aktivitas yang dulu kami lakukan berlima, kini hanya dapat kami lakukan berempat saja. Seperti biasa, hari-hari kami hanya berkutat di area perkebunan dan persawahan. Berjibaku dengan tanah dan cangkul. Bersahabat dengan alam, bermain dengan angin dan dekat dengan sengatan cahaya sang raja siang.
Sekitar pukul 10.00 WIB, kami beristirahat. Sambil bercengkrama, kami menikmati segelas teh manis hangat dan cemilan kue basah yang khas di kampung kami. Ada kue cucur dan getuk lindri. Usai melepas lelah untuk beberapa saat, kami pun melanjutkan pekerjaan kami kembali hingga pukul 11.30 WIB.
Sebelum pulang ke rumah, biasanya kami melakukan mandi bersama di sungai yang dekat dari area perkebunan. Di sungai yang mengalir jernih ini, kami berempat melepaskan pakaian kami masing-masing, hingga kami benar-benar polos tanpa satu helai benang pun yang menempel di tubuh. Kami bertelanjang ria seperti bocah-bocah yang asik berenang dan bermain air di tepian sungai. Tanpa ada rasa canggung dan malu. Kami saling memamerkan bentuk lekuk tubuh kami yang tercipta alami seperti bentukan tubuh pria-pria macho yang rajin berolah raga di sanggar-sanggar kebugaran. Mungkin, inilah efek positif dari kegiatan kami sehari-hari sebagai kuli perkebunan. Rupanya dengan mencangkul kami dapat melatih otot-otot di badan kami, sehingga terbentuk tonjolan-tonjolan muscle secara alami.
Tanpa aku sadari, aku diam-diam memperhatikan tubuh bugil sahabat-sahabatku. Ada sesuatu yang menarik di indra penglihatanku dari patrian tubuh mereka. Terutama di bagian wilayah selangkangannya. Entahlah, mengapa aku jadi sangat antusias untuk mengenal lebih detail benda menggantung yang tepat di antara dua paha mereka. Benda yang hanya dimiliki oleh laki-laki itu, benar-benar seperti medan magnet yang mampu menarikku untuk selalu memperhatikannya. Rasanya aku ingin menyentuh perkakas-perkakas itu dan membuatnya sebagai alat permainan yang menyenangkan.
Hmmm ... kedengarannya sangat aneh, bukan? Aku seperti memiliki kecenderungan orientasi seksual yang melenceng. Dan aku akan menyembunyikan hal ini dari teman-temanku. Aku tidak ingin mereka mengetahui ketidaknormalanku. Aku takut mereka akan berpandangan negatif terhadapku dan akan membenciku. Jadi bagaimanapun caranya, aku harus lebih berhati-hati dalam membawa diri dan akan selalu menjaga sikapku di depan mereka.
''Hai, Juno!'' seru Paijo sambil menyemprotkan air ke mukaku, tentu saja hal ini membuatku jadi terperanjat dan membuyarkan lamunanku seketika.
''Bengong aja, kamu!'' lanjutnya.
''Hehehe ...'' Aku hanya meringis.
''Kenapa sih, Jun?'' ujar Candi menimpali.
''Ah, tidak apa-apa'' balasku santai.
''Awas, Jun ... jangan kebanyakan bengong, ntar kamu kesambet!'' ungkap Narta menanggapi.
''Hahaha ... Nggaklah!'' Aku tertawa sambil menyiramkan air ke wajah Narta, kemudian ke wajah Paijo dan juga ke wajah Candi. Mereka pun serempak membalasku, sehingga kami jadi perang air di sungai sambil tertawa riang. Aku senang, Paijo senang, Candi senang, dan Narta juga senang.
Itulah keseruan kami saat kami mandi bersama. Rasa pengat dan lelah sehabis bekerja seolah sirna, ketika kami ketawa-ketiwi dan berendam menikmati betapa sejuknya air sungai.
Well, selesai mandi kami pun pulang ke rumah kami masing-masing, untuk melaksanakan ibadah dan juga makan siang. Kami akan kembali bekerja di kebun saat pukul 13.00 WIB nanti.
Sambil menunggu jam bekerja lagi, biasanya aku memanfaatkan untuk tidur siang di balai-balai. Angin yang sepoi-sepoi seakan meninabobokan mata, hingga aku terlelap dan membawa tubuhku terbang ke alam mimpi.
Namun aku tidak tahu, apa arti mimpi di tengah hari bolong ini. Aku hanya merasa aku seperti berada di tempat yang sangat asing dan tidak aku ketahui. Aku berdiri di antara dua bocah laki-laki berwajah serupa yang menyunggingkan senyuman kedamaian. Mereka mengajakku bermain dan melepaskan suara tawa yang mampu membangkitkan rasa bahagia.
Aku terjaga dari tidurku, ketika tangan lembut menyentuh bahuku. Itu tangan ibu yang membangunkan aku. Beliau memberitahukan aku, kalau waktu sudah menunjuk angka 1 dan itu berarti saatnya aku untuk beraktivitas kembali. Aku menghela nafas, mengingat sejenak tentang mimpi yang baru saja aku alami. Bukan suatu mimpi yang aneh, tapi mimpi itu mampu membuatku bertanya-tanya, siapakah gerangan dua makhluk yang menyerupai bocah laki-laki itu? Mungkinkah mereka itu anak-anak masa depanku? Atau hanya bentuk halusinasiku semata? Entahlah ... aku tidak tahu. Yang aku tahu saat ini, aku hanya memilki satu pilihan. Melanjutkan mimpi atau mewujudkan mimpi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
T U M B A L
Short StoryUntuk 17++ Demi mendapatkan kekayaan seorang pemuda kampung rela menjadi budak nafsu Setan Kober. Dia mengorbankan madu keperjakaannya untuk dihisap hingga berdarah-darah.