3. Angkuh

10.1K 211 7
                                    

Tanpa terasa waktu sudah berjalan dua bulan. Suatu malam, pada saat kami sedang berkumpul di tempat tongkrongan, Alung muncul mengejutkan kami. Ada rona kebahagiaan di raut wajahnya. Senyum lepasnya tersungging menyapa kami berempat. Dia nampak berbeda dari terakhir kali aku melihat bentuk rupa dan fisiknya. Wajahnya lebih berseri-seri dan badannya terlihat lebih montok.

''Hai, friends!'' sapa Alung kepada kami dengan suara yang tegas dan jelas. Ekspresinya sangat sumringah.

''Woyyy ... lihatlah ini ternyata kawan kita!'' sahut Paijo sambil menepuk bahu Alung.

''Pangling aku lihat kamu, Lung ... '' ujar Candi, ''badanmu lebih berisi tapi wajah masih tetep, sih ... wkwkwk ...'' lanjut Candi sembari ngakak.

''Iya, bener tuh ... kamu manglingi, Lung!'' tambah Narta.

''He-em ... kayaknya sukses nih, di kota,'' timpal Paijo.

''Hehehe ...'' Alung cuma meringis memamerkan gigi-giginya yang nampak kuning kecoklatan seperti habis memakan sesuatu.

''Lung, ajak-ajak kamilah kalau sudah sukses!'' kata Paijo.

''Iya, Lung!'' imbuh Candi dan Narta bersamaan.

''Tidak ... aku tidak akan ke kota lagi,'' jawab Alung sedikit congkak.

''Kenapa?'' Aku mengeryitkan keningku. Heran!

''Aku sudah mendapatkan modal buat membuka usaha di sini'' ujar Alung.

''Wah ... hebat! Kamu mau buka usaha apa, Lung?'' kata Narta.

''Aku mau berdagang Bakso!'' jawab Alung enteng.

''Wiw ... mantap, Lung!'' puji Candi girang sembari mengacungkan jari jempolnya.

''Iya, dong ... yang pasti aku selangkah lebih maju dari pada kalian yang hanya menjadi buruh tani, hehehe ...'' ujar Alung dengan nada yang sombong.

''Terus ... kapan kamu akan mulai berdagang bakso, Lung?'' tanyaku.

''Besok ...'' jawab Alung singkat.

''Ohhh ...'' Aku, Paijo, Candi, dan Narta jadi mantuk-mantuk.

''Udah ya, teman-teman ... aku cabut dulu. Sorry ... aku lagi sibuk, karena akan menyiapkan barang daganganku. Aku tidak punya banyak waktu buat nongkrong seperti kalian ...'' kata Alung dengan senyuman yang terlihat sinis, nada bicaranya juga ketus seolah mengejek dengan keadaan kami berempat yang masih kurang beruntung bila dibandingkan dengan dia sekarang.

''.... '' Aku dan ketiga temanku jadi saling berpandangan. Kami merasa aneh dengan sikap dan perilaku Alung yang sedikit banyak mengalami perubahan. Ternyata kehidupan kota telah merubahnya menjadi sosok Alung yang tidak hanya tak setia kawan, tapi juga menunjukan sifat pribadi yang angkuh.

Setelah kepergian Alung, semua teman-temanku jadi mengumpat karena kesal. Mereka merasa tidak mengenali diri Alung lagi. Sosok Alung yang dulu terkenal sopan santun, sederhana, ramah dan tidak sombong, kini tidak ada lagi pada dirinya.

''Sudahlah, Bro ... jangan terlalu dipikirkan ... kita do'akan saja, semoga Alung berubah lagi dan menjadi sosok seperti yang dulu!'' ujarku menenangkan sahabat-sahabatku.

''Heran ... baru pergi ke kota beberapa bulan saja lagaknya sudah kayak orang kaya!'' ujar Paijo dongkol sambil membuang ludah.

''Sombong bener ...'' Candi menggeleng-gelengkan kepala.

''Semoga dia mendapatkan hidayah ...'' Narta mengadahkan kedua telapak tangannya ke atas.

''Iya ... sifat orang itu memang gampang berubah bila berurusan dengan harta,'' kataku.

''Iya, betul ... semoga kita di jauhkan dari sifat-sifat semacam itu,'' timpal Paijo.

''Amiin ...'' sahut Candi dan Narta bersamaan.

''Bagaimanapun juga Alung adalah sahabat kita ... dan sebagai sahabat yang baik kita wajib untuk saling mengingatkan ...''

''Sahabat macam apa sih, Jun ... gak ada sahabat yang seperti itu. Itu namanya kacang yang lupa sama kulitnya,'' timpal paijo masih dengan nada yang kesal.

''Udahlah ... mungkin Alung lagi khilaf saja. Aku yakin kok, dia bakal berubah lagi seperti dulu dan bisa bergabung dengan kita lagi ...'' ujarku menenangkan Paijo dengan mengusap-usap pundaknya.

Untuk beberapa saat kami terdiam. Kami saling membisu dan larut dalam alam pikiran kami masing-masing. Perubahan pada diri Alung memang menyisakan teka-teki di antara kami. Benar apa yang dikatakan Paijo, dia seperti kacang yang lupa dengan kulitnya. Orang yang telah melupakan identitas aslinya.

T U M B A LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang