Pagi hari, ketika aku terbangun dari tidur, aku mendapati tubuhku terbungkus selimut tebal masih dalam keadaan bugil. Aku tidak menemukan Pak Nugraha di sampingku. Aku hanya melihat surat perjanjian hutang piutang yang tergetak di atas meja. Aku langsung bangkit dari ranjang ini dan segera meraih surat perjanjian tersebut. Aku memeriksa dengan seksama surat itu, dan ekspresiku langsung berubah menjadi sangat senang, karena Pak Nugraha telah menandatangani surat perjanjian ini. Laki-laki tua itu ternyata menepati janjinya. Kini aku dan keluargaku sudah bebas dari jeratan hutang kepada Pak Nugraha. __ Alhamdulillah!
''Tok ... Tok ... Tok!'' tetiba pintu kamar ini terketuk dari luar.
Aku buru-buru mengenakan celana dan pakaianku, sebelum aku membukakan pintunya.
''Kreeekkk!'' Aku membuka pintu kamar ini. Dan aku mendapati seorang pelayan wanita yang membawa nampan penuh dengan makanan dan minuman.
''Selamat pagi, Mas!'' sapa pelayan wanita itu kepadaku.
''Ya, selamat pagi juga!'' balasku dengan gugup.
''Saya disuruh Juragan untuk mengantarkan sarapan buat Mas,'' kata pelayan wanita itu lagi.
''Juragan?'' Aku mengkerutkan kening dan menggaruk-garuk kepalaku, ''di mana Juraganmu?'' lanjutku heran.
''Beliau sudah pergi ke kantor'' jawab pelayan wanita itu sambil meletakan makanan dan minuman di atas meja.
Aku jadi melongo.
''O, ya ... ada pesan dari Juragan kalau kau sudah sarapan, kau boleh pulang!'' ujar pelayan wanita yang kutaksir berumur 30 tahunan itu dengan sopan. Lalu tanpa banyak kata lagi, dia langsung keluar meninggalkan kamar ini.
''Tunggu!'' Aku menahan langkah Pelayan wanita itu. Dengan gesit wanita itu pun menoreh.
''Ada apa, Mas?'' tanyanya.
''Ambil saja sarapannya ... maaf aku buru-buru, aku tidak sempat buat makan sarapan ... terima kasih!'' Aku langsung mengambil surat perjanjian hutang piutang dan segera ngacir meninggalkan pelayan wanita itu dan juga rumah gedongan ini. Tapi, di depan pintu gerbang langkahku terhenti.
''Mas Juno!'' seru seseorang memanggilku, ketika aku berdiri mematung.
Aku mendongak ke sumber suara itu, dan aku melihat sesosok laki-laki yang mengenakan seragam security, tapi bukan security yang menemui aku semalam. Dia nampak lebih muda dan lebih gagah. Dia berlarian kecil menghampiriku.
''Kau yang bernama Juno?'' tanya dia tepat berada di depanku.
''Iya!'' jawabku.
''Kau mau pulang?'' tanya laki-laki ini lagi.
''Iya!'' jawabku.
''Kunci gerbangnya ada padaku, Mas ...'' ujar Security muda ini sambil menunjukan kunci gerbangnya, lalu dia membukakan untukku.
''Terima kasih ...'' ucapku.
''Kau memang sangat tampan, Mas ... pantas saja Juragan memerintahkan kepada kami untuk memperlakukan kau dengan istimewa,'' ujar security itu yang membuatku jadi agak bingung.
''Maksudnya?'' tanyaku heran.
''Sepertinya Pak Nugraha menyukaimu, Mas ...''
''Maaf ... aku tidak mengerti.''
''Hehehe ... banyak kok, pemuda-pemuda yang sering datang dan menginap di rumah Juragan dan mereka mau jadi peliharaannya. Demi uang mereka rela jadi tumbal pelampiasan nafsu homoseksualnya ... hehehe ...''
''Aku bukan orang yang semacam itu ... aku datang kemari, karena aku memiliki misi yang jauh lebih penting daripada uang!''
''Maaf kalau aku salah, Mas Juno ...''
''Jangan kau menilai seseorang dari sudut pandangmu semata, karena tidak semua yang kamu pikirkan tentang seseorang itu benar! Maaf aku tidak punya banyak waktu. Permisi!''
Entahlah, tiba-tiba saja mood-ku jadi mendadak buruk setelah mendengar penilaian Pak Security itu. Atas dasar apa dia seenaknya membuat kesimpulan mengenai diriku ini. Walaupun aku datang ke rumah Pak Nugraha hanya untuk dijadikan budak seksualnya, tapi dia tidak punya hak untuk menghakimiku dan mengecap buruk tentang pribadiku.
Dengan perasaan yang kurang nyaman aku bergegas keluar dari rumah yang sudah memberikan aku pengalaman seksual yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku telah berhubungan badan dengan seorang laki-laki kemayu dan sudah berumur pula. Benar-benar menjijikan dan membuatku enek untuk memikirkannya. Tapi ... sudahlah, aku menganggapnya itu sebagai embun yang akan segera menguap, bila terkena cahaya sang mentari. Aku tidak perlu mengenang peristiwa yang tidak menyenangkan itu, walaupun aku sebenarnya sedikit menikmati dari kegiatan persenggaman itu. Yang penting sekarang hutang-hutang keluargaku sudah lunas dan aku tidak ada urusan lagi dengan banci tua bangka itu.
Masih bersama sepeda onthel-ku, aku bergerak menyusuri jalanan pedesaan asri yang penuh dengan pepohonan rindang. Matahari pagi menyentil permukaan kulitku yang terbuka dan itu membuatku semakin bersemangat untuk mengkayuh sepeda tua ini. Dengan iringan kicauan burung yang bernyanyi di dahan-dahan pohon, aku terus menerobos udara segar di pagi hari nan indah ini. Aku ingin segera tiba di rumah, agar aku bisa memberikan kabar gembira kepada Ibu, bahwa hutang-hutangnya kepada Pak Nugraha kini sudah terlunasi semua. Aku sudah tidak sabar ingin melihat rona kebahagiaan di wajah Ibu, meskipun aku menyimpan kepedihan yang mendalam karena telah menumbalkan keperjakaanku.
''Juno ... dari mana saja kau, Nak ... kenapa sekarang kau baru pulang?'' pertanyaan Ibu ketika aku berada di depan pintu rumah.
''Maaf, Bu ... Juno baru pulang, karena habis mencari pinjaman uang di rumah Pak Lurah, kami ngobrol hingga tak terasa sampai larut malam. Pak Lurah memaksaku untuk menginap di rumahnya ...'' terangku dengan sedikit gugup. __ Maafkan aku, Ibu ... Aku terpaksa berbohong!
''Apa kau sudah mendapatkan uang pinjamannya, Nak?''
''Iya, Bu ... Pak Lurah memberikan uang pinjaman itu. Dan uangnya sudah aku berikan kepada Pak Nugraha. Ibu tenang saja ... hutang-hutang kita pada rentenir itu sudah lunas terbayarkan semua.''
''Benarkah apa yang kau katakan, Nak?''
''Iya, Bu ... itu benar!''
''Terima kasih, Nak,'' Ibu memeluk tubuhku dengan sangat erat, ''maafkan Ibu ya, Nak ... karena sudah merepotkanmu,'' imbuhnya.
''Juno akan melakukan apa pun demi Ibu. Yang utama bagi Juno adalah kebahagiaan Ibu ... Juno sayang pada Ibu.''
Ibuku tidak berkata-kata lagi, hanya deraian airmatanya saja yang nampak mengalir membasahi kedua pipinya yang mulai keriput.
Aku sangat bahagia sekali melihat pancaran kebahagiaan pada diri Ibuku. Namun sayangnya kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Selang beberapa bulan, Ibuku jatuh sakit dan memerlukan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Sama seperti Ayah, Ibuku juga menderita penyakit langka yang susah diobati. Hingga akhirnya Ibuku menyusul kepergiaan Ayah ke alam baka. Ibuku meninggal tepat beliau berusia 45 tahun.
Aku meringkuk di depan gundukan tanah perkuburan Ibu yang masih basah. Aku menangis dalam kehampaan, karena kini aku telah kehilangan kedua orang tuaku yang sangat aku sayangi. Mereka pergi satu demi satu, sehingga menjadikan aku sebagai sosok yang sebatang kara.
Setelah kepergian Ibu, aku menjual rumah warisan itu. Sebagian uangnya aku gunakan untuk membayar hutang untuk biaya pengobatan selama Ibu jatuh sakit dan sebagian lagi aku gunakan untuk bekal diriku sendiri. Aku akan pergi meninggalkan desa ini. Desa yang memberikan aku banyak kenangan indah yang tak mungkin aku lupakan sepenjang hidupku. Desa yang penuh dengan cerita mistis dan erotis kehidupan. Dengan segenap ketulusan hati, aku akan pindah ke suatu tempat untuk memulai kehidupan baru. Entah, aku tidak tahu di kota mana aku akan berlabuh. Aku hanya berharap di kota baru itu akan terbuka pintu keberkahan untuk diriku dan masa depanku. Aamiin!
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
T U M B A L
Short StoryUntuk 17++ Demi mendapatkan kekayaan seorang pemuda kampung rela menjadi budak nafsu Setan Kober. Dia mengorbankan madu keperjakaannya untuk dihisap hingga berdarah-darah.