Toko milik Karim tak pernah maju. Ia memang tidak miskin, tapi juga tak pernah bertambah kaya. Awalnya, Karim sering mengeluh tentang rezekinya yang selalu pas-pasan. Ia bertanya-tanya, kenapa Allah tidak juga menambah rezekinya, padahal ia sudah bekerja keras dan berdoa setiap hari.
Ada seorang pengemis yang tidur di emperan tokonya setiap malam. Pada siang hari, pengemis itu mengemis di pinggir jalan raya, kadang ia juga mengamen dengan suara sumbangnya. Ketika melihat pengemis itulah, Karim merasakan ada getaran syukur di dalam hatinya. Alhamdulillah, ucapnya dalam hati, aku masih bisa makan dan menafkahi keluarga. Bayangkan kalau aku seperti pengemis yang sengsara itu. Aku jadi bersyukur.
Karim berterima kasih kepada si pengemis yang telah menumbuhkan rasa syukur di dalam dirinya. Setiap kali ia menemukan pengemis itu sedang tidur di emperan toko, ia akan menyelipkan uang sepuluh atau dua puluh ribu di saku celana si pengemis. Ia tersenyum. Berkat sang pengemis, kini ia tidak pernah lagi mengeluhkan rezekinya yang pas-pasan. Mungkin inilah yang disebut berkah, ucap Karim dalam hati.
Namun pada suatu hari, Karim panik bukan main. Ia menyadari bahwa pengemis itu hilang. Sudah seminggu pengemis itu tidak terlihat tidur di emperan toko atau mengemis di pinggir jalan. Ke mana dia pergi? Karim gelisah.
Esoknya, ia melihat pengemis itu naik turun bus sambil menjajakan minuman. Pengemis itu sudah naik pangkat menjadi pedangang asongan. Tampaknya, pengemis itu berhasil menabungkan uang yang diberikan Karim setiap pagi itu, lalu dijadikannya modal untuk berdagang.
Karim sedikit kecewa, tapi masih merasa tenang. Setiap pagi dan petang ia bisa melihat pedagang asongan itu naik-turun bus sambil bermandikan keringat. Karim kini kembali bersyukur. Alhamdulillah, ucapnya dalam hati, aku masih punya toko yang bisa kupakai berjualan. Bayangkan kalau aku seperti dia, harus naik turun bus dan dipalak preman. Aku bersyukur.
Namun hal itu tak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, Karim kembali gelisah., sebab pedagang asongan itu kini sudah menjadi pedagang kaki lima. Dagangannya lebih banyak, keuntungannya pun lebih besar. Karim mulai mengeluh lagi, ia merasa sulit untuk bersyukur. Hingga setahun kemudian, pedagang kaki lima itu membuka toko sendiri yang letaknya tak jauh dari toko milik Karim. Sebuah acara televisi pun meliputnya, judulnya: Perjuangan Rakyat Kecil, dari Mengemis Hingga Membuka Toko.
Karim depresi. Bagaimana mungkin ia bisa bersyukur, kalau pengemis yang dulu sengsara itu kini sudah menjadi pesaingnya? Haruskah ia mencari pengemis lain? Ia menyesal. Seharusnya dulu ia tidak memberikan pengemis itu uang. Kalau pengemis itu tetap miskin, Karim pasti akan tetap bisa bersyukur setiap hari.
Beberapa bulan kemudian, toko Karim bangkrut karena terlilit utang. Tokonya disegel, dan ia pun menjadi pengangguran. Orang-orang mengetahui tragedi itu dan mereka bersyukur atas nasib mereka sendiri. Untunglah aku tidak seperti Karim, gumam mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajadah Sombong dan Seperangkat Kisah-Kisah Lainnya
SpiritualSaat tabungannya habis, Pak Ade berusaha berpikiran positif: Tuhan itu Maha Adil. Ayam yang tidak bekerja saja bisa hidup dan tidak mati kelaparan, apalagi manusia. Namun benarkah begitu?