TERSINGKAP

41 20 11
                                    




"Dalam keramaian sekalipun pikiranku terus berputar pada bongkahan rencana besar yang mana kutumpu-kan harapanku di dalamnya, untuk Ayah."

"Ayah, apapun yang terjadi aku tidak akan pernah berhenti sekalipun harus mempertaruhkan nyawaku dan Kidung, kami mencintaimu Ayah."

Ia berjalan sedikit menyeret langkah kakinya tanpa semangat begitu ingin segera sampai pada setidaknya sebuah sandaran tempatnya dapat menghentikan sekejap perjalanannya. Matanya menyapu sepanjang jalan besar yang menyimpan ribuan kenangan bersama pria pertama dalam hidupnya itu, yang kematiannya mengubah kepribadiannya menjadi sedingin saat ini.

Bola mata bulatnya memandang lurus ke depan pada sepanjang jalan panjang yang memisahkan halaman sebuah mal besar dengan jalan Solo Jogja. Angin dingin menyeruak masuk perlahan melalu pori-pori jaket tebal hoody yang menutupi sehelai kain tipis yang melekat pada tubuhnya. Kakinya bergerak mendekat pada gedung mal yang tak pernah sepi itu, lalu menaiki puluhan tangga yang pada akhirnya membawanya masuk ke dalam sebuah café shop mini yang tidak terlalu riuh.

Memilih terduduk di sebuah sudut tempat kecil berinterior serba kayu itu membuat suasan hatinya sedikit demi sedikit membaik. Perlahan gundah gulana hatinya terbang digantikan oleh alunan suara musik pelan yang semakin memperbaiki kondisi kejiwaan gadis itu. Ia hanya ingin setidaknya mampu lebih berdamai dengan otaknya sejenak. Gadis itu lelah.

***

Pria dengan kacamata hitam dan ear phone itu terlihat begitu menikmati pemandangan di hadapannya. Sesekali tampak mengeluarkan kamera canggihnya lalu mulai menangkap beberapa buah objek gambar yang begitu menarik perhatiannya. Senyumnya tersungging tipis sedikit sinis, bibirnya menyecap nikmat buih kopi sembari matanya tetap tak lepas dari pemandangan yang tak ingin ia lewatkan.

Alunan musik pelan membuatnya semakin menikmati momen tersebut, kepalanya mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Jemarinya bergerak mengetuk- ngetuk mejanya sembari sesekali bersiul dengan tetap menancapkan bola matanya pada objek berharga di hadapannya itu. Otaknya dipenuhi dengan ratusan asumsi dan rencana, bibirnya berguman pelan hampir tak terdengar oleh siapapun di tempat itu. Jemarinya mengetikkan beberapa deret kata pada ponselnya lalu mengirimkan pesan singkat tersebut pada entah siapa. Senyumnya kembali merekah namun kali ini diikuti dengan gelak tipis yang lagi-lagi hampir tak tertangkap mata oleh siapapun di sana.

Ia begitu memaku perhatiannya pada objek yang bagai harta karun tersebut sampai-sampai tak menyadari cangkir kopi yang belum habis ia cecap itu tak mendarat tepat pada tempatnya. Benda mungil itu terjatuh bebas ke lantai menimbulkan riuh serpihan kaca yang bergantian mengahamburkan dirinya ke hamparan kayu tempat kakinya berpijak. Namun dengan sigap beberapa buah pelayan café tersebut membersihkan pecahan cangkir dan sisa kopi yang mau tak mau berbunyi ganti rugi itu. Namun pria itu segera memalingkan perhatiannya kembali pada objek yang sejenak ia lupakan, namun ia harus menelan rasa kecewanya bulat-bulat karena pemandangan berharga itu tak lagi berada di tempatnya. Objek tersebut lenyap bagai diterbangkan angin, menyisakan geram di hatinya.

***

Beberapa orang terlihat lalu lalang di sebuah rumah mewah yang akhir-akhir ini berubah fungsi menjadi sebuah kantor rahasia tanpa papan nama perusahaan itu. Mereka semua tampak diburu sesuatu hal yang mendesak yang barusaja mereka dengar. Salah satunya yang berbadan paling besar terlihat jauh lebih geram daripada rekan-rekannya yang lain, entah karena apa. Namun kegiatan mereka terhenti kala seseorang tampak memasuki gerbang besi ukir berwarna emas yang sekejap saja terbuka itu.

Tubuh tambun itu melangkah dihiasi dengan gurat penuh kemarahan di wajah tebalnya, jemari tangannya tergenggam erat bagai siap mendaratkan sebuah pukulan telak bagi siapapun yang diburunya kali itu. Pria itu tak lagi peduli pada sapaan hormat beberapa orang yang menyambut kehadirannya di sana, kakinya terus melangkah sedikit terburu menuju pada sebuah pintu yang sebelumnya menyimpan sebuah kunci berharga baginya. Matanya memerah menahan bara kemarahan yang mulai meningkatkan ritmenya membuatnya tak berhasil menahan deru emosi untuk tidak melayangkan tamparan keras tepat pada wajah seseorang yang tengah terduduk tak siap menghindarinya.

WRONG PLACEWhere stories live. Discover now