PUTARAN CERITA LALU

46 20 11
                                    

                 

Kelly memutar kendali kursi rodanya membalikkan posisinya menghadap kaca besar yang memperlihatkan sebagian kecil Yogyakarta yang sore itu tengah tertutup kabut tebal, hawa dingin di luaran mencapai angka di bawah dua puluh derajat. Hujan tak berhenti sepanjang hari mengguyur tanah kota seni tersebut, membangkitkan sejumlah rentetan cerita di kepala gadis berwajah pias itu, memaksanya terbang ke sebuah masa di mana ia bertemu dengan Ade Yoga Pangestu untuk pertama kalinya.

Matanya nanar menembus langit gelap berkilat pada kenangan manis sekaligus terpahit dalam hidupnya. Hidupnya yang sempurna membuat gadis itu dulu tak merasa perlu memiliki sejumlah sahabat. Alih-alih sahabat untuk berteman saja rasanya berat bagi gadis yang selalu dikelilingi oleh prestasi gemilang itu. Sebagai anak dari seorang pengacara termahsyur di area Jawa Tengah, ia memiliki insting menyelidik pada setiap orang yang berusaha dekat dengannya maka tak heran bahwa gadis itu lebih memilih menyendiri berteman tumpukan buku dan laptop.

Ade Yoga salah satu mahasiswa IT teladan dengan sejumlah prestasi yang tak kalah gemilang berhasil menyapu perhatian gadis cerdas itu, garis wajahnya yang tegas, sorot matanya yang memikat perlahan mengusik pertahanan gadis berhidung tinggi itu. Perlahan namun pasti getaran yang tanpa sengaja tertaut pada sebuah hati yang sepi itu kian mekar menimbulkan gelitik rasa yang tak lagi dapat disembunyikan oleh pemiliknya. Kelly Wijaya memilih menyatakan perasaannya lebih dulu pada pria yang juga memiliki talenta indah melukis tersebut, namun sayangnya hati sang seniman tampan telah terikat lebih dulu pada sebuah jiwa lain yang begitu dingin namun berusaha mati-matian ia lelehkan.

Hujan sore itu begitu deras jatuh melahirkan bunyi-bunyian hingga menembus masuk ke dalam ruangan kaca yang sunyi tersebut, semakin memporak porandakan hati gadis yang masih memaku pandangannya pada tiap tetesan air yang merubah jalanan panjang Solo Jogja menjadi genangan yang menyerupai sungai. Ingatannya kembali terbang pada sebuah kejadian bagaimana pada akhirnya ia berhasil merebut separuh hati sang seniman yang semakin dicintainya.

"Untuk apa kamu datang ke mari hujan deras begini, cantik?"

"Untuk kamu. Untuk ini." Jemarinya meraih salah satu tangan pria yang kemudian berjalan mendekat sembari memayungi gadis itu dengan jaket yang semula ia kenakan.

"Terima kasih ya, cantik." Tangannya bergerak menerima sebuah kotak berisi makanan kesukaannya.

Keduanya saling beradu pandang, menyuarakan hatinya sahut menyahut dengan derai suara hujan. Lalu menyatu dalam dekap yang hangat begitu lama, begitu dalam, tak ingin saling melepas kemudian bergerak bebas.

"Kenangan yang sangat indah dan begitu hebat melekat di kepalaku."

"Di mana kamu sekarang?"

suaranya parau sedikit memekik pelan mewakilkan segenap hati yang begitu merindu pada sang pria yang entah berada di mana.

***

Pria muda itu mencoba menguasai hatinya ketika tanpa sengaja harus bertatap muka dengan wajah seseorang yang mendadak begitu penting dalam hidupnya.

"Ah ini dia pria hidung jambu itu." bisiknya lirih tertahan kemudian tercekat saat kedua bola matanya beradu lekat dengan bola mata hitam kelam sang pemilik perusahaan tempatnya kini terpaksa bekerja.

Ia menganggukan kepalanya tanda hormat pada si pria tambun yang tersenyum tipis ke arahnya. Kemudian menjabat tangannya erat seperti menyiratkan sesuatu yang belum dapat pria muda itu artikan. Yoga masih berdiri memaku hingga tubuh tambun berjas abu-abu itu berlalu dari hadapannya memasuki sebuah sedan hitam berplat nomor cantik. Dadanya masih menyisakan degup kegugupan luar biasa namun sebisa mungkin ia sembunyikan dari setiap sorot mata yang bertengger di sepanjang lobby PT. Mulya Agung.

WRONG PLACEWhere stories live. Discover now