TERDESAK

34 18 19
                                    

                 

Pria bertubuh tegap itu memandang dalam kedua gadis yang hampir tak dapat ia bedakan dan tak akan pernah sanggup ia bedakan kecuali make up super mahal nan tebal yang tak pernah lekat dari wajah Kenang. Keduanya saling memeluk tanpa kata-kata, suaranya hampir tak terdengar kecuali isakan yang membuat hatinya turut hancur merasakan apa yang kedua gadis itu rasakan. Tanpa terasa air mata bening menetes pelan dari bola mata tajamnya membasahi pipinya, namun kali ini tak ia seka, ia biarkan butiran itu mengalir ke dada bidangnya seolah ingin menyampaikan gejolak rasa yang begitu dahsyat yang sulit ia bendung.

"Gila, bahkan suaranyapun serupa. Aku tidak akan bisa membedakan mereka kalau Kenang menghapus make upnya." Batinnya menyuarakan keheranannya pada pemandangan luar biasa di hadapannya.

Kenang tersenyum sekilas menyadari pria  yang tengah berdiri di sampingnya itu tengah mencoba menyelediki dan mencari celah beda antara dirinya dengan Kidung.

"Percuma, kamu atau siapapun tidak akan pernah bisa membedakan kami. Sekalipun itu Ibu." Bisiknya tepat pada telinga pria yang seketika tersentak dan memilih memalingkan pandangannya pada Kidung yang lebih memilih untuk memasuki sebuah ruangan lain di balik dinding kaca di dalam ruangan mewah tersebut.

Dengusan tipis bercampur tawa kecil terdengar dari bibir bergincu merah menyala milik Kenang, sembari memandang lekat dari jarak yang teramat dekat pada Yoga yang sejenak tercekat tak mampu berkat-kata.

"Kerja yang luar biasa, dan Terima kasih." Suara indah setengah berbisik itu meniupkan aroma rose mahal tepat ke indra penciuman pria yang memejamkan matanya sembari tersenyum itu.

"Lalu apa selanjutnya, cantik?"

"Menghilang sementara waktu." Pungkasnya sembari mendaratkan kecupan penuh makna pada pria yang mengurungkan niatnya untuk menyambut rasa yang sejenak disuguhkan oleh bidadari tercintanya.

"Menghilang? Lalu kita?" tanyanya sedikit mengerutkan keningnya memburu sebuah jawaban.

"Sabar, akan ada pertemuan yang jauh lebih indah dari sekarang. Tunggu saja." Ungkap gadis bermata coklat bening sembari mengepulkan asap tebal yang menyembur teratur dari bibir merahnya.

"Tapi."

"Ssst, jangan tanya apapun sekarang. Aku bukan pengingkar janji, aku bukan kamu."

Matanya menusuk tajam ke arah bola mata sayu pria yang kemudian memilih melangkah mundur dan berlalu dari gedung megah berlantai lima itu.

Ada sepasang bola mata indah memandang sendu dari balik dinding kaca sembari berjuang menyembunyikan segenap perasaannya. Ia memilih tetap menjadi bisu dalam skenario itu, ia begitu percaya pada gadis berwajah serupa dengannya itu.

***

"Mana janjimu? Atau kamu yang akan kubunuh sekarang juga?" suara berat bernada gusar penuh kemarahan itu menembus dinding beratap tinggi menggema menembus gendang telinga seorang wanita setengah baya dengan wajah pucat penuh ketakutan.

Wanita itu hanya bergidik ngeri sembari merintih menahan perih sekepal rambut rapuhnya yang tergenggam kasar oleh seorang pria yang sesungguhnya begitu ingin ia hindari. Butiran air matanya mulai berjatuhan tanpa kendali, menggenangi kedua kelopak mata yang mulai dihiasi kerutan lalu menggelinding deras membasahi wajah yang masih menjejak buah kecantikan masa mudanya itu.

Tak ada kata-kata yang terucap sekalipun dari bibir tua penuh getar itu, hanya anggukan kesanggupan untuk sekadar mengamankan dirinya dari cengkeraman gila pria yang sesungguhnya pernah dan masih begitu ia cintai. Ada rasa sakit dan kecewa yang bergumul menyiksa batinnya namun tak sanggup ia sembuhkan entah sampai kapan, ia kemudian terpejam merasakan tubuhnya yang kian lemah dan kehilangan daya untuk melawan.

WRONG PLACEWhere stories live. Discover now