Satu

20.5K 688 11
                                    

“Nah, ini rumahnya,” ucap Bu Ika sembari membuka pintu rumah kecil yang akan menaungi Nikita selama beberapa bulan ke depan. "Kalau ada perlu atau butuh sesuatu, kamu bisa ke tempat ibu, ya, Nikita. Jangan sungkan.”

“Iya, Bu. Makasih.”

“Kalau begitu ibu tinggal ya, mungkin kamu mau beres-beres dulu. Kalau rumahnya udah bersih kok, jadi kamu tinggal beresin barang-barang kamu.”

Nikita mengulas senyum sambil mengangguk. “Iya, Bu.”

Bu Ika membalas dengan senyum serupa sebelum kemudian meninggalkan Nikita di depan pintu rumah kontrakan tersebut. Di semester 8 ini Nikita terpaksa pindah dari tempat kost yang sebelumnya. Ada masalah di sana yang membuat Nikita jengkel dan mau tak mau harus hengkang.
Bayangkan saja, temannya sesama anak kost sering sekali menyebarkan hal buruk yang tidak-tidak tentang Nikita. Nikita pulang malam, digosip jalan dengan om-om. Nikita tak keluar selama dua hari padahal sedang sakit, dibilang membawa lelaki menginap. Nikita pulang awal dari kampus, dibilang sudah tidak laku lagi di kalangan lelaki beristri yang selama ini dijadikannya ATM berjalan. Padahal semua itu hanya omong kosong belaka. Hanya imajinasi orang tersebut.

Dua malam lalu puncaknya. Nikita sedang mengerjakan tugas bersama Joni dan Alvian. Tiba-tiba Murni--teman kost yang membenci Nikita tanpa alasan jelas--menggedor pintu tanpa henti. Dan ketika Nikita membuka pintu, ternyata Murni sudah menggalang massa. Nikita dituduh habis-habisan sudah melakukan hal yang tidak senonoh dengan Joni dan Alvian. Namun untunglah semua orang masih membuka lebar mata mereka untuk melihat kebenaran di depan mata. Masalah diselesaikan saat itu juga dan Nikita yang sudah tak tahan, memilih pamit dari tempat kost tersebut.

Berkat bantuan Dewi, Nikita bisa menemukan rumah kontrakan kecil yang dekat dengan kampus dan biaya sewa tiap bulannya lumayan bersahabat. Nikita tahu keputusannya cukup membuatnya sulit. Di semester akhir ini ia butuh banyak biaya untuk berbagai macam keperluan. Penghasilannya sebagai penulis juga tak seberapa. Untungnya orang tuanya masih mengiriminya uang setiap bulan meski Nikita tak pernah menggunakannya kecuali dalam keadaan terjepit seperti saat ini. Nikita berani keluar dari rumah karena ia sudah punya sedikit penghasilan sendiri dari kemampuannya menulis novel. Nikita tak mau terlalu memberatkan orang tuanya meski mereka mampu. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil, bekerja sebagai guru SMP di rumah. Sedangkan ibunya tak bekerja. Ibu menyibukkan diri dengan urusan rumah tangga.

Nikita punya seorang adik yang masih kecil. Tahun ini, adiknya itu, Bagas, baru masuk di kelas 1 SMP. Yah, jarak usianya dengan Bagas memang cukup jauh, 10 tahun. Karena itu Nikita tak ingin terlalu banyak memberatkan Ayah dan Ibu, sebab masih ada Bagas yang harus mereka biayai. Nikita berpikir alangkah lebih baiknya bila ia bisa membiayai kuliahnya sendiri, agar beban Ayah tak terlalu berat.

Nikita menyeret kopernya masuk dan mengunci pintu. Bu Ika tadi sudah berpesan untuk selalu mengunci pintu. Karena Nikita seorang perempuan dan tinggal sendiri pula di sana. Meski daerah itu tidak rawan kejahatan, namun lebih baik bila sedia payung sebelum hujan.

Kontrakan itu hanya terdiri dari satu kamar, dapur dan juga kamar mandi di bagian belakang. Ada pintu juga di sebelah kamar mandi. Ketika membukanya, Nikita melihat tempat untuk menjemur pakaian di luar. Nikita menutup pintu itu kembali dan masuk ke kamar. Selain tempat tidur, di kamar itu ada lemari dan juga sebuah meja beserta kursinya. Nikita bisa menjadikan meja itu sebagai meja belajar. Lacinya mungkin akan ditempati peralatan make up miliknya.

Ada dua buah jendela yang berjejer dengan ukuran sekitar dua meter dikali tujuhpuluh senti, berjarak sekitar setengah meter dari lantai. Jendela itu kini tertutup tirai berwarna hijau. Nikita membukanya agar pertukaran udara di kamar itu lancar dan tidak pengap. Ia pun mulai membuka kopernya setelah memastikan lemari satu pintu yang terletak di sudut kamar bersih dari debu. Selesai membereskan barang-barangnya, Nikita lalu mengambil laptop.

Ehm, Nikita adalah seorang penulis. Ia menulis sejak kelas 2 SMP. Tidak ada yang tahu novel seperti apa yang Nikita tulis. Ayah dan Ibu, hanya tahu sebatas ia penulis saja. Sebenarnya Nikita enggan mengaku bahwa ia adalah seorang penulis novel dewasa. Ia berani menulis novel itu ketika usianya sudah lebih dari tujuhbelas tahun. Sementara sebelum-sebelumnya ia menulis novel remaja. Sayangnya, novel-novel remaja yang ia selesaikan tak pernah tembus ketika diajukan ke penerbit. Ketika Nikita mengajukan naskah novel dewasa kedua yang ditulisnya, dua bulan kemudian pihak penerbit mengiriminya surel bahwa naskahnya diterima. Sampai sekarang, Nikita masih menulis novel dengan rating dewasa tersebut.

Sebenarnya sejak masuk SMA, pikiran Nikita sudah mulai liar. Mungkin karena ia banyak bergaul dengan teman yang kehidupannya kurang dikontrol oleh orang tua. Nikita selalu menuangkan apa yang ada di pikirannya dalam bentuk tulisan. Hanya saja saat itu ia tahu, imajinasi liar yang saat itu menaungi benaknya tak bisa serta-merta ditulis. Sebab Nikita juga takut karena ia belum memegang KTP, usianya belum cukup. Hingga akhirnya ketika berusia di atas tujuh belas, Nikita berani menuangkan semua imajinasi liarnya dalam bentuk novel yang ia unggah di sebuah blog. Saat ini, followers blog-nya sudah sampai jutaan orang.

Jemari Nikita menari lincah di atas keyboard laptop berwarna putih miliknya. Hasil dari memenangkan kompetisi membuat cerpen bertema Pendidikan dan Perempuan yang diikutinya saat kelas 3 SMA. Kening gadis berusia belum genap dua puluh dua tahun itu berkerut samar ketika ide yang semula mengalir dalam benak, mendadak hilang. Ia membaca ulang paragraf yang sebelumnya ia tulis.

Tanpa melepas tautan bibir mereka, Lucas menggiring Fey ke dalam kamar. Fey tak sempat menyadari segala sesuatunya hingga ketika membuka mata, pakaiannya sudah raib entah ke mana ....

Nikita menggigit bibir bawahnya sendiri. Akhir-akhir ini otaknya memang sering stuck setiap kali menuliskan adegan dewasa tanpa memunculkan kevulgaran yang menggelikan. Padahal sebelum-sebelumnya Nikita tak pernah stuck begitu parah hingga terpaksa melompati narasi adegan tersebut.

Seorang penulis harus banyak melakukan riset. Nikita tahu itu. Ia mengambil resiko terlalu parah dengan berani menjadi penulis novel rating dewasa. Pengalaman yang dimilikinya saja minim. Nikita hanya pernah berpacaran satu kali dengan kakak kelas yang ternyata mesum bukan main. Kakak kelasnya itu sering meminta ciuman darinya yang tak pernah ia berikan karena dulu pikirannya masih dihantui oleh rasa takut tak berkesudahan.

Jangankan berciuman seperti yang sering tokoh-tokoh dalam novelnya lakukan, bergandengan tangan dengan seorang lelaki saja tak pernah Nikita lakukan selepas putus dengan pacar pertamanya saat kelas 2 SMA dulu. Mungkin Nikita harus banyak-banyak riset kali ini. Membaca saja rupanya sangat tak cukup. Om gugel juga tak menyediakan apa yang ia inginkan. Bahasa om gugel ketika Nikita melakukan pencarian bagaimana cara menggoda perempuan dengan baik, terlalu berat untuk Nikita pahami.

Tapi bagaimana cara Nikita untuk melakukan riset sedang yang dibutuhkannya adalah hal-hal intim nan dewasa? Tak mungkin juga Nikita bertanya pada teman-temannya yang berpengalaman. Menonton film dewasa besutan novel bestseller luar negeri juga sudah pernah Nikita coba namun tak berhasil. Justru Nikita kalang-kabut sendiri melihat dua pemaiannya melakukan hubungan intim meski tak disorot dengan detail. Apa Nikita harus mencari pacar yang bisa diajaknya untuk ... Nikita langsung menggeleng kuat. Tak mungkin ia mengorbankan dirinya sendiri.

“Ah! Kesel!” gadis itu mengacak rambutnya dan menghempaskan punggung ke tempat tidur. “Gimana ya?”

***

Selamat berpuasa bagi semua yang menjalankan 😊😊

Ini cuma cerita ringan sebagai selingan saja yaa. Karena sepertinya, selama ramadhan ini aku jarang buka watty kecuali mau update cerita ini

16  Mei  2018

MISCHIEVOUS [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang