Empat

7.3K 654 57
                                    

Kalian keren, Gaes! Dalam waktu sehari, part kemaren udah 100+ votes! Tengkyuuu 😘

Dan ini hadiahnya 😉😉

Btw, ini cuma cerita ringan, yes! Udah gitu, rada nggak masuk akal pula! Jadi buat yang kurang berkenan, mohon maap 😅

***

Kejadian kejar-kejaran diakhiri dengan Tristan yang mengobati lukanya, menjadi inspirasi bagi Nikita untuk melanjutkan tulisan yang menggunakan namanya dan nama Tristan sebagai tokoh. Kalau sudah dituangkan dalam bentuk tulisan, ketika Nikita membacanya lagi, gadis itu tersenyum-senyum. Ternyata Tristan masih semanis dulu. Juga semesum dulu. Hanya saja sekarang Tristan lebih agresif.

Tak apa. Setidaknya Tristan banyak memberinya inspirasi. Mungkin Nikita harus membuatkan lelaki itu sesuatu sebagai ungkapan rasa terimakasihnya. Nikita mengangguk mantap. Jadi di sore hari sepulang dari kampus, Nikita membeli bahan-bahan untuk membuat brownies. Pada malam harinya setelah mandi, Nikita membawanya ke rumah Tristan.

Nikita mengetuk pintu dan menunggu. Ia mengetuk dan mengetuk lagi. Tristan tak juga membuka pintunya. Padahal tadi Nikita melihat lelaki itu sudah pulang. Lampu rumahnya juga sudah dihidupkan. Nikita mengetuk pintu lagi, kali ini sambil cemberut.

Ketika akhirnya pintu itu dibuka oleh Tristan, Nikita hanya bisa mendelik. Tristan sedang bertelanjang dada. Namun bukan itu yang membuat bola mata Nikita nyaris melompat ke luar. Namun sosok lain di ruang tamu, yang sedang memperbaiki letak bra-nya.

Tristan menoleh mengikuti arah pandang Nikita. Ketika kembali menatap gadis yang lebih pendek darinya itu, ia menatap horor. Wajah Nikita merah padam. Entah malu atau marah, Tristan tak tahu. Yang jelas, dirinya berada dalam bahaya sekarang.

“Niki, aku—”

Nikita mendengus kasar. Gadis itu balik badan dan berlari kembali ke kontrakannya. Nikita merasa marah bukan main. Dadanya terasa sesak. Entah ia cemburu atau tidak. Yang jelas ia tak suka melihat perempuan lain di rumah Tristan. Apalagi perempuan itu setengah telanjang. Nikita tak mau membayangkan apa yang sedang Tristan lakukan tadi sebelum ia mengetuk pintu rumah lelaki itu.

Sementara itu di rumahnya, Tristan mendeliki Fayla. Perempuan tak tahu diri yang berani-beraninya membuka seluruh pakaian di hadapannya. Baiklah, Fayla memang memiliki dada super. Tapi Tristan tetap menjadikan milik Nikita favoritnya. Tidak pernah tergantikan.

Fayla yang sudah membereskan pakaiannya pun berdiri. “Makasih ya, servis kamu hot banget.”

“Kalau lo ngelakuin itu lagi, gue cincang tuh dada!”

Fayla mendelik ngeri. “Gak mungkin.” ia tertawa tak enak.

Tristan melesat menuju dapur dan mengambil pisau daging lalu kembali ke ruang tamu.

“Gue paling gak suka sama dada melon. Favorit gue tuh cuma dada cewek gue. Jadi sini, biar gue buktiin ucapan gue sekarang.” Tristan melangkah dengan gaya psikopat.

Fayla memucat di tempat. “T-Tristan, aku janji....”

“Janji apa?!” Tristan menekan pisau dagingnya tepat di atas dada besar Fayla.

Fayla tercekat. “Nggak akan ngelakuin itu lagi.”  Bahkan tak akan muncul di depan hidung Tristan lagi. "Ja-jauhin itu dari aku. Biayanya gak murah, Tris.”

“Oke,” angguk Tristan dingin. “Tapi sekarang lo ikut gue. Lo harus jelasin semuanya ke cewek gue. Atau kalau nggak ....”

“Iya-iya!” sambar Fayla. “Mana? Mana cewek kamu?”

“Jalan di depan gue.” Tristan mengusapkan pisau ke tangannya.

Fayla yang ketakutan dada melonnya akan dicincang, menurut begitu saja. Gila aja! Batin perempuan itu. Dikira gak mahal apa bayar dokter buat gedein aset di dadanya? Tentu saja Fayla lebih memilih patuh dibanding kehilangan aset yang membuat para lelaki memandangnya dua kali. Hanya Tristan yang tidak. Mungkin Tristan tak normal.

“Ketuk pintu.”

Fayla langsung patuh dan mengetuk pintu kontrakan Nikita. “Permisi.”

Karena yang Nikita dengar adalah suara perempuan, maka gadis yang masih cemberut itu karena kesal kepada Tristan itu pun berdiri. Ia melangkah ke pintu dan membukanya. Dahinya lantas berkerut untuk kemudian tatapannya berubah kesal melihat dua orang tersangka yang membuat suasana hatinya buruk malam ini.

“Jelasin!” Tristan mengarahkan pisau dagingnya ke dada Fayla lagi.

Tak hanya Fayla, Nikita pun tercekat. Ia memandang pisau daging itu ngeri. Kenapa Tristan bermain pisau?

“Ha-hai, kamu pasti ceweknya Tristan.” Fayla terkekeh ketakutan. “Yang kamu lihat tadi itu salah paham. Sebenernya aku yang buka baju sendiri tadi. Tristan gak ngapa-ngapain aku kok.”

Nikita masih cemberut. Tristan mencolek dada besar Fayla dengan pisaunya.

“Sumpah!” jerit Fayla. “Dada kamu tetep jadi favorit Tristan, kok! Dia nggak suka dada aku! Sumpah! Sumpah!”

Nikita menganga sementara Tristan mengangguk puas. Dipandangnya Nikita lembut dengan senyum. “Denger kan, Yang?”

Drama macam apa ini?

“T-Tristan, aku boleh pergi ya?” cicit Fayla.

Tristan melirik tajam, ia mengambil tangan Fayla dan meletakkan pisau di sana. “Kenang-kenangan dari gue. Sana pergi. Jangan balik lagi.”

Fayla langsung kabur. Nikita yang masih berada di ambang pintu, menggaruk pelipisnya yang tak gatal.

“Kamu percaya aku kan, Yang?” tanya Tristan kemudian.

“Tristan, kamu ...,” Nikita memandang Tristan ngeri, “kamu nggak lagi mikir buat makan dada aku kan?”

“Boleh?” Raut wajah lelaki itu mendadak cerah. Tristan bahkan mendorong Nikita masuk dan mendesak gadis itu ke dinding. Berikutnya, bibirnya sudah mencari-cari di dada gadis itu.

“Tristan!” Nikita menjambak rambutnya tanpa ampun.

“S-sakit, Yang! Ampun!”

“Dasar mesum kamu. Sanaan!”

Tristan menyingkir dengan segera. Ia mengusap kepalanya meredakan bekas jambakan Nikita. Kalau jambakannya sejenis jambakan minta nambah sih Tristan tak masalah. Nah ini, jambakan yang berasal dari hati sekali.

“Tadi bawa apa, Yang?”

“Tuh,” ketus Nikita, menunjuk ke arah meja di mana brownies yang memang akan ia berikan kepada Tristan diletakkan.

Tristan menghampiri kue itu dengan senyum. “Buat aku?”

Nikita menggumam. Gadis itu telah duduk lebih dulu untuk memotongkan brownies berdiameter cukup panjang itu agar Tristan bisa memakannya. Tristan terkekeh, senang sekali punya pacar yang sangat pengertian. Ia menerima kue itu dengan sukacita lalu menggigit dan mengunyahnya khidmad.

“Enak?”

“Persis bibir kamu.” Tristan menjawab polos. “Lembut.”

Nikita mendengkus jengah. Tristan dan otak mesumnya tak pernah bisa dipisahkan. Namun yang tak Tristan ketahui, gadis imut itu diam-diam menyimpan senyum. Sedikit geli juga mengingat kelakuan Tristan dan pisaunya tadi. Lelaki itu persis psikopat.

***

Jumpa lagi di bagian Lima, yess!

02 Nov. 2018

MISCHIEVOUS [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang