Dari bingkai jendelanya yang terbuka, Tristan diam mengamati. Yang ia ketahui, gadis cantik itu bernama Nikita. Seorang mahasiswi yang baru ia ketahui pindah ke rumah kontrakan yang sebulan ini kosong di sebelah rumah Tristan. Kontrakan itu milik Pak RT. Memang sering dikontrak oleh mahasiswa yang kuliah di kampus yang letaknya tak jauh dari sana.
Gadis itu, Nikita, adalah Nikita yang dikenalnya. Nikita mantan pacarnya sewaktu SMA. Gadis cantik yang selalu membuat Tristan berpikiran mesum. Tristan tidak tahu kalau selama ini Nikita berada di kota yang sama dengannya. Dan sekarang, gadis yang tak pernah mau diciumnya dulu itu tinggal di sebelah rumahnya. Tristan menyeringai, berpikir bahwa Tuhan memberinya kesempatan kedua.
Saat ini terlihat Nikita sedang menjemur pakaian. Seminggu belakangan, Tristan selalu mengamatinya dari tempatnya berdiri sekarang. Sangat tertarik dengan segala aktivitas kecil yang Nikita lakukan.
Tristan menghabiskan minuman dari soft drink yang dipegangnya. Kemudian ia melemparkan kaleng itu ke luar jendela, dengan sengaja mengincar kepala Nikita. Ia memang ingin melakukannya. Sengaja agar Nikita tahu bahwa dirinya ada di sana. Ia ingin tahu apakah Nikita masih ingat padanya atau tidak. Sedangkan Tristan selalu mengingatnya sepanjang waktu. Bahkan Tristan menggunakan kemampuannya di bidang teknologi informasi dan komunikasi untuk membobol akun milik Nikita. Tentu saja Nikita tak pernah tahu.
Nikita yang tengah menjemur pakaian dan tiba-tiba mendapat timpukan di kepala, segera saja mengaduh. Ia melihat benda yang beberapa saat lalu mendarat di kepalanya. Sebuah kaleng soft drink yang sudah diremukkan. Ia kemudian mendongak, ingin tahu siapa yang berbuat usil padanya. Matanya kemudian menyipit melihat sosok lelaki yang berdiri di balik jendela di lantai dua. Rumah lelaki itu berada tepat di sebelah kontrakannya. Lelaki itu bertelanjang dada. Mengetahuinya, Nikita langsung menunduk.
Tak mungkin lelaki itu yang menimpuk kepalanya kan?
Nikita segera menyelesaikan acara menjemurnya. Ia membuang sisa air di dalam ember lalu membawa ember itu masuk melalui pintu belakang dan meletakkannya di kamar mandi. Merasa penasaran, Nikita melongokkan kepalanya melalui pintu belakang yang sedikit ia buka. Ia mendongak, lelaki tadi sudah tak ada di tempatnya.
Tristan langsung berpikir bahwa Nikita melupakannya. Mau tak mau hal itu membuatnya kesal. Dulu, sewaktu pacaran, Nikita sangat disukainya. Baginya Nikita lucu dan imut. Sering membuatnya tak tahan untuk menggodanya. Tristan sering selali mencuri kecupan di pipinya, yang pada akhirnya akan membuat Nikita ngambek empat hari empat malam. Mereka putus pun bukan keinginannya. Tristan dulu memang sering meminta ciuman bibir dari Nikita. Gadis itu selalu saja menolak. Terakhir kali, Tristan mengancam akan menyudahi hubungan mereka kalau Nikita tak mau menciumnya. Perkiraan Tristan tentang Nikita yang pasti luluh kalau diancam seperti itu, meleset total. Gadis itu memilih putus darinya.
Sepanjang sisa masa SMA-nya saat itu, akhirnya Tristan habiskan untuk menjadi musuh Nikita. Putusnya mereka membuat Tristan tak berhenti menjahili dan mengganggu gadis itu. Tak terima mereka putus begitu saja namun gengsi mengajak Nikita balikan karena ia yang lebih dulu menjatuhkan ancaman.
Mengenang masa SMA-nya saat itu, di mana ia pertama kali berpacaran, membuat Tristan tertawa sendiri.
“Yang, temen aku masa nanya rasa bibir kamu kayak apa,” lapor Tristan ketika itu, tepat saat jam istirahat berlangsung. Ngapel di pojokan sekolah tempat bangku-bangku tak layak pakai diletakkan, adalah rutinitas sehari-hari yang tak pernah Tristan dan Nikita lewatkan. Bangku-bangku yang sudah patah sandarannya itulah yang menjadi tempat duduk mereka.
“Terus?” tanya Nikita tak paham.
“Ya terus aku gak bisa jawab. Orang aku gak tau rasanya kayak apa kan.” Tristan menggeser bangku rusak yang didudukinya mendekat. “Biar aku bisa jawab, aku rasain dulu bibir kamu. Boleh?”
Nikita langsung cemberut, “Nggak.”
“Kok nggak? Kata temen aku, ciuman itu rasanya ... enak, Yang. Masa nggak mau coba?”
Nikita melirik Tristan. “Kamu mau?”
Tentu saja Tristan mengangguk semangat.
“Cium aja temen kamu tuh!” sengit Nikita lantas kabur dari sana.
“Temen gue kan cowok, astaga,” kekeh Tristan geli. “Makin sayang sama pacar gue.”
Dan masih sayang sampai saat ini. Tristan menutup mulutnya sendiri menahan tawa yang hampir meledak. Memori bersama Nikita saat itu manis sekali. Maka dari itu Tristan susah move on. Bahkan setelah melihat Nikita lagi, ia tak mau move on. Ah, ia harus bagaimana? Jalan satu-satunya ya harus mendekati Nikita lagi. Jangan salahkan Tristan jika gadis itu kembali repot menghadapinya, salah Nikita yang muncul dengan sukarela di hadapan Tristan.
Seringai Tristan melebar untuk kemudian menjadi dengkusan tak kentara. Sepertinya Nikita sudah melupakannya. Gadis itu, saat ia timpuk tadi dan mendongak memandangnya tak nampak mengenalinya. Tristan harus muncul di depan hidung Nikita untuk memastikan Nikita mengingat dirinya atau tidak. Kalau tidak, Tristan tentunya akan mengingatkan Nikita kembali.
Kira-kira kapan waktu yang tepat bagi Tristan untuk menemui Nikita? Tristan merasa tak sabar. Dulu ia sudah telanjur penasaran dengan rasa bibir Nikita. Beberapa tahun tak bertemu, rasa penasaran itu terlupakan. Dan sekarang, ia penasaran lagi. Penasarannya yang sekarang harus terobati, Tristan tak mau tahu. Suka tak suka mantan pacarnya yang imut itu harus mau menciumnya.
***
Ciee yang jomblo baca cerita Tristan 😛😛
Gimana pesan dan kesannya untuk part ini, Mblo? Tinggalkan jejak ya, Mblo 🙊🙊
KAMU SEDANG MEMBACA
MISCHIEVOUS [REPOST]
Romance[16+] Cinta itu kerja sama antara dua orang. Kalau hanya satu orang, namanya kerja paksa. Bukan cinta. KAMU YANG MERASA SENSITIF, DIMOHON UNTUK MUNDUR TERATUR SAJA! ___________________________ 16 Mei 2018 Avicennav