Balas Dendam

17 0 0
                                    

Part 1: Balas Dendam



Sore itu langit sangat merah. Tetapi tak semerah darah yang mengalir deras dari tubuh laki-laki paruh baya itu. Jerit histeris dari istrinya tak mampu menghentikan laju darah yang semakin deras. Sementara itu, terlihat seorang anak kecil yang sedang meringkuk ketakutan dibawah meja. Giginya saling bertauan, sehingga menyebabkan bunyi keletuk. Tubuhnya gemetar hebat. Matanya terpejam. Bukan hal seperti ini yang ingin ia lihat. Bukan. Ini terlalu mengerikan. Terlalu mengerikan untuk seorang anak yang baru saja menginjak 10 tahun. Tangisnya pecah. Untuk saat ini ia tak peduli perkataan ayahnya, bahwa seorang laki-laki tak boleh menangis. Ia benar-benar tak peduli. Yang ia inginkan sekarang hanyalah ayahnya. Ayah yang tidak mengeluarkan suatu cairan kental berwarna merah. Ayah yang tidak meraung kesakitan. Ayah yang tidak tergeletak pasrah, tidak melawan sama sekali. Ia ingin ayahnya kembali seperti ayah yang ia kenal. Tubuhnya semakin gemetar ketika ibunya menjerit semakin keras.



DOR !



Dengan terdengarnya suara itu, berakhirnya jeritan ibunya. Tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia makin menutup rapat matanya. Tak berani melihat lagi. Ia takut. Takut akan sesuatu yang ia lihat.



TAP TAP TAP.



Didengarnya suara langkah kaki yang semakin dekat dan terus mendekat. Ia makin takut.



"Jangan mendekat ! Pergi ! Jangan mendekat !! PERGI !!" anak itu menjerit menjadi-jadi.



Sekeras apapun ia menjerit, langkah kaki itu tak pernah berhenti.



"Lex, kita apakan anak ini ?" celetuk seorang perempuan disana.



Orang yang bernama Lex itu hanya diam.



"Hmm, biarkan saja. Biar dia rasakan apa yang telah Roise rasakan.. Biar dia merasakan kesepian ! Biar dia melihat dengan mata Roise. Melihat bagaimana orang tuanya meninggal ! Biarkan dia sengsara karenanya !! Hahaha .." Lex tertawa nyaring dan kemudian berlalu.



Anak itu mulai berani membuka matanya. Dengan isak tangis yang belum reda, ia merangkak keluar dari bawah meja. Perlahan ia menuju ruang tamu. Tempat dimana ayahnya tergeletak tak berdaya. Anak itu menatap kedua orang tuanya dengan tatapan nanar. Cairan merah tercecer disekitar tubuh orang tuanya. Disentuhnya cairan merah itu dengan jemari kecilnya. Ia tertunduk. Tangisnya mulai pecah. Perlahan diguncangnya tubuh kedua orang tuanya secara bergantian.



"Ayah bangun .. Ibu, bangunkan Ayah .. Ayah jangan tidur .. Ibu .." suaranya bergetar.



Tangisnya makin tak terkendali.



"Ayaaah .. Ibu, ayo bangunkan ayah .." ia tertunduk.



"AYAAAAH !!!"



Matanya terbelalak. Nafasnya tak terkendali. Jantungnya berdebar hebat. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya. Kepalanya pening.



BRAK !



Pintu terbuka. Seorang wanita menyeruak masuk ke dalam dan kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Dibelainya kening anak itu dengan lembut.



"Obiet ? Kau tak apa nak ?"



Obiet mengusap keningnya. Kepalanya terasa sangat pusing.



"Biet, coba cerita ke Bibi .."



Obiet menggeleng.



"Nggak ada apa-apa kok Bi .. Cuma mimpi buruk .. Bibi jangan khawatir .." Obiet memaksakan senyumnya.



"Obiet, tolong .. Bibi tahu apa yang terjadi 9 tahun yang lalu .. Jadi tolong, biarkan Bibi membantumu .. Bibi akan berusaha membantu nak .."

Hitam PutihkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang