Part 6: Dilema!
Oik melihat kamar kakaknya yang telah terbuka. Matanya semakin terbelalak ketika melihat lantai kamar dengan bercak darah yang tercecer. Oik mundur selangkah. Tubuhnya bergetar hebat. Jantungnya berpacu secepat aliran darahnya. Membentuk harmoni ketakutan yang menjalar disekujur tubuhnya. Perlahan Oik mulai melangkahkan kakinya masuk. Selangkah. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya ia dapat melihat tubuh kakaknya yang terduduk sambil memandang ke arah pintu dengan mata yang terbelalak.
"Oik .." panggilnya lirih.
"Kak .."
"Kejar dia !!"
"Tapi, kakak ?"
"KEJAR DIA, OIK !!" raung Gabriel.
Oik mengangguk paham. Kemudian ia berbalik dan berlari sekuat tenaga sehingga menabrak Obiet yang baru saja tiba dengan Sivia disampingnya.
"Kak Gabriel !!" jerit Sivia.
Obiet menoleh, menatap Gabriel yang tengah tertunduk sambil memegang lengan kirinya. Bersama Sivia, ia berlari menuju Gabriel.
"Kakak ! Lengan kakak ?!!" jerit Sivia ketika melihat lengan Gabriel yang bersimbah darah.
Gabriel tersenyum.
"Nggak sakit kok Siv .. Aku cuma ceroboh .."
"Nggak sakit gimana ?!! Berdarah gini .." ujar Sivia sambil meraih lengan Gabriel.
Hati Gabriel berbunga-bunga menutup rasa nyeri di lengan kirinya. Ia tersenyum. Rasanya, lengannya akan sembuh tanpa obat apapun. Asalkan Sivia ada disampingnya.
"Obiet ! Jangan bengong aja ! Cepet ambil kotak P3K !" perintah Sivia kepada Obiet yang bengong sejak melihat lengan Gabriel yang berlumuran darah.
Obiet mengangguk. Ia segera berlari keluar menuju ruang latihan. Tak peduli dengan decitan lantai kayu yang semakin keras ketika ia injak. Kini ia berada didepan ruang latihan. Menggeser pintu dengan sedikit tergesa-gesa. Namun ketika Obiet melangkahkan kakinya ke dalam, tiba-tiba ia berhenti. Ia menoleh ke arah halaman depan, merasa terpanggil. Obiet menyipitkan mata. Mencoba menangkap sosok yang tengah berdiri mematung di halaman depan.
"Oik ?"
Obiet berbalik, berlari, hendak menggampiri Oik.
PLAK !
Obiet memukul keningnya.
"Kak Gabriel ! Kotak P3K, Obiet !" ujar Obiet untuk menegur dirinya.
Ia kembali berbalik dan berlari menuju ruang latihan untuk mengambil kotak P3K.
***
Oik menatap kaca depan mobil kakaknya. Mematung lama memikirkan kata-kata itu. Kata-kata yang tertulis dengan darah. Oik yakin betul bahwa itu darah kakaknya. Kakaknya adalah orang terakhir yang mereka incar. Kalau mereka telah berani menuliskan pesan yang ditulis dengan darah orang yang mereka incar, itu berarti mereka telah memproklamirkan bendera pertarungan untuk musuhnya. Oik adalah musuh utama mereka, musuh yang menghalangi jalan mereka untuk membereskan Gabriel.
“OIK !!” panggil Obiet yan tengah berlari ke arahnya.
Oik menoleh sebentar lalu kembali menatap kaca depan mobil kakaknya.
“Orangnya mana ? Kabur ?” tanya Obiet.
Oik mengangguk pelan tanpa menatap Obiet. Obiet menatap kaca depan mobil Gabriel dan membaca guratan kotor yang tertera disana.
"Tulisan apa itu ?”
“Itu pesan dari mereka .. Mereka butuh darah orang yang diincar untuk menuliskannya ..” tutur Oik.
“Darah ??? Jadi itu darah Kak Gabriel ??”
Oik mengangguk lagi. Obiet kembali menatap tulisan itu dan membacanya.
“Bersiaplah untuk tercekik perlahan .."
Obiet mengalihkan pandangannya ke arah Oik yang tengah melangkahkan kakinya menuju ke dalam rumah.
"Oik !"
"Apa ?"
"Pesan ini buat siapa ?" tanya Obiet.
Cukup lama Oik diam dan tak mempedulikan Obiet yang menunggu jawabannya.
"Oik ?"
Oik menoleh, berbalik, lalu tersenyum untuk Obiet.
"Pesan itu buat gue .."
***
Mentari masih menyuguhkan senyum manisnya pagi ini. Senyum yang manis. Entah mengapa pagi ini ia selalu ingin tersenyum. Kembali ia rapikan kemeja lengan pendek berwarna putih yang ia pakai. Lalu mengibaskan tangannya pada t-shirt panjang berwarna hitam untuk menghilangkan debu yang sudah tidak ada. Ia melirik ke bawah. Celana jeans hitam dan sepatu sneakers warna putih.
"Oke .."
Ia kembali menatap kaca spion. Menatap pantulan dirinya. Lalu menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
"Oke .. Gue seperti anak kuliahan sekarang .."
Ia mulai melangkahkan kaki meninggalkan honda city berwarna hitam miliknya menuju gedung kampus. Mulanya hanya sepasang mata. Tetapi semakin lama hampir semua pasang mata anak kuliahan yang berpapasan dengannya menatapnya dengan bola mata yang hampir keluar. Terutama kaum hawa. Ia menghela nafas panjang. Lalu melempar senyuman tipis ke arah sekumpulan kaum hawa yang mengikutinya dari belakang. Dalam sekejap mereka jatuh terhuyung seolah-olah diterjang angin segar ditengah padang pasir. Ia tertawa pelan, lalu kembali berjalan.
'Kalau reaksi mereka seperti itu, apa reaksi Oik juga seperti mereka ?'
Ia kembali tersenyum. Jauh didalam lubuk hatinya, ia benar-benar mengharapkan hal itu. Cukup lama ia berjalan berkeliling kampus untuk mencari Oik dan cukup lama pula sekumpulan kaum hawa itu mengikutinya dari belakang. Matanya kembali berkeliling. Gotcha ! Ia melihat Ozy yang tengah duduk dengan Acha dan seorang temannya.
"Ozy !" panggilnya.
Ozy menoleh dan menatapnya dengan takjub.
"De .. Deva ?"
Deva tersenyum.
"Gue mau ketemu Oik .."
"Untuk apa ?!!" tanya pemuda disamping Ozy.
Deva menyipitkan mata. Mencoba meneliti sosok asing yang ada didepannya.
"Siapa lo ? Lo kenal gue ?"
Pemuda itu tersenyum.
"Aku Obiet .."
Deva tertawa.
"Jadi lo yang namanya Obiet ?"
"Iya .. Aku tak akan membiarkanmu bertemu dengan Oik .."
"Oh ya ? Atas perintah siapa ? Gabriel ? Mau aja lo diperintah sama orang itu .. Ckckck .."
Obiet menggeleng.
"Ini atas kemauanku sendiri .."
Deva tersenyum sinis.
"Hei, Obiet .. Lo nggak punya hak untuk melarang gue ketemu dia .."
Sekarang giliran Obiet yang tersenyum.
"Memang .. Tapi setidaknya aku berniat untuk melindungi gadis yang ku suka dari orang sepertimu .."
"APA ?!!" ujar Deva, Ozy, dan Acha kompak.
Deva menajamkan tatapannya.
"Jadi, lo berniat untuk jadi saingan gue ?"
Obiet mengangguk pasti.
"Tentu .. Kita akan lihat, siapa yang akan dipilih olehnya .."
Mereka saling berhadapan. Menatap satu sama lain dengan luapan emosi. Ozy dan Acha yang ada diantara mereka hanya bisa mematung. Tak tahu apa yang harus dilakukan.
CKLEK.
Pintu disamping mereka terbuka. Oik melangkah keluar sambil membawa beberapa map.
"Oik !" panggil Deva sembari berjalan ke arah Oik.
"Deva ? Lo ada disini ?"
Deva tersenyum manis.
"Ada yang ingin gue sampaikan .."
"Iyap .. Langsung aja .."
"Gue mau bicara empat mata sama Oik .." ucap Deva sambil melirik Obiet yang kini berada ditengah mereka untuk mengawasi.
"Biet, gue mau bicara sama Deva .. Lo bisa minggir sebentar ?"
Obiet memutar bola matanya menandakan bahwa ia tak setuju.
"Biet .."
"Nggak mau .." jawab Obiet.
Deva yang mulai geregetan pada sikap Obiet, langsung memegang pundak Obiet dan menggeser tubuh Obiet menjauh dari Oik.
"Lo diem disitu !! Ayo Ik .. Kita bicara di sana .."
Oik mengangguk, menoleh ke arah Obiet sebentar, lalu mengikuti Deva menuju taman kampus. Obiet mendengus kencang sambil berjalan menuju kursi kosong disamping Ozy dan duduk lemas disana.
"Biet ?"
"Apa Zy ?"
"Lo beneran suka sama Oik ?"
Obiet mengangguk.
"Tuh kan Cha .. Ini benar terjadi .." ujar Ozy sambil memandang Acha, meminta persetujuan.
Acha manggut-manggut setuju. Obiet bingung.
"Dari awal Ozy sudah memprediksi kalau diantara kalian akan tumbuh feel .." tutur Acha.
"Ooh .." respon Obiet tak bersemangat.
"Oik sudah tau kalau lo suka sama dia ?"
Obiet kembali mengangguk.
"Dari tadi malem Zy .. Aku langsung bilang ke dia .."
"Waah .. Kamu orangnya langsung to the point ya .. Hebat .." puji Acha.
Ozy manyun.
"Emangnya aa' Ozy nggak hebat ya ??"
Acha terkekeh geli. Kemudian ia mencubit pipi Ozy, gemas.
"Aa' Ozy itu paling hebat sedunianya Acha .."
Ozy tersenyum genit. Lalu ia membalas Acha dengan mencubit pipi chubby-nya. Dan akhirnya adegan berbalas cubitan mesra pun terjadi disebelah pemuda yang tengah menyusun beberapa bagian hatinya yang pecah. Ia menatap adegan itu dengan rasa iri yang mulai bergejolak. Ia menghirup nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Berusaha mengubur rasa iri yang semakin menjamur dihatinya.
"Biet, mau kemana ?" tanya Ozy.
Obiet menoleh dan menatap Ozy dengan wajah memelas.
"Ngumpulin puzzle hatiku .." jawabnya sambil kembali berjalan menyusuri koridor kampus.
***
Malam ini lebih tenang dari seminggu yang lalu. Setidaknya mereka masih bisa berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati kue kering buatan Sivia. Sivia memang jago dalam dunia memasak. Buktinya sekarang Obiet dan Gabriel tengah bertarung untuk memperebutkan kue kering terakhir.
"Kak Gabriel ngalah dong .. Dari tadi siang kan kakak yang makan kue ini .."
"Nggak bisa Biet .. Tadi tangan gue dulu yang pegang kue ini ! Yang muda ngalah dong .."
"Ye kakak .. Dimana-mana, yang tua itu yang ngalah .."
Gabriel dan Obiet saling menatap. Tak ada satu pun yang berniat untuk mengalah. Sivia hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika melihat tingkah laku mereka.
SRUT.
Mereka tercengang ketika kue kering itu menghilang dari pandangan.
KRAK KRES.
"Dari pada dibuat rebutan .. Mending gue yang makan kan ?"
"Oik !" teriak Obiet dan Gabriel bersamaan.
"Apa ?" tanya Oik tanpa terbesit rasa bersalah.
"Itu yang terakhir .." ucap Obiet memelas.
"Suruh aja Sivia bikin lagi .. Mau kan Siv ?"
Sivia mengangguk.
"Dengan senang hati .."
"Tuh kan .. Kalau gitu masalah ini beres .. Oh iya kak .. Gue mau pergi .."
"Kemana ?"
Oik menaikkan alisnya.
"Resto mungkin .. Abis acaranya makan malam .."
"Sama siapa ?"
Oik tersenyum.
"Deva .."
"DEVAA ?!!" teriak Gabriel dan Obiet bersamaan, membuat Sivia yang ada disamping mereka terkejut.
"Iya, Deva .. Kakak nggak beri ijin ya ?"
"Pasti itu ! Aku nggak beri ijin !" sahut Obiet.
Sivia menatap Obiet tajam. Mencoba menembus hati Obiet untuk menemukan jawaban. Jantungnya berdebar. Mengapa tiba-tiba perasaannya menjadi tak enak ?
"Biet, gue tanya sama kakak gue .. Bukan lo .."
"Kakak setuju sama Obiet .."
"Tapi kak .. Deva ngancam mau culik gue kalau kakak nggak beri ijin .."
"Apa ? Dasar gila .." maki Gabriel.
"Memangnya kamu mau diculik dia ?" tanya Obiet.
Oik tersenyum.
"Mau .. Dia terlihat lebih manusiawi sekarang .." jawab Oik sambil membayangkan sosok Deva yang berubah seminggu ini.
Gabriel melotot ketika mendengar jawaban Oik. Sedangkan Obiet menganga lebar, entah sampai berapa lama.
"Kakak tenang aja .. Gue pastikan kalo dia nggak akan macam-macam .."
Oik menatap kakaknya dengan wajah memelas.
"Please kak .. Deva sudah melakukan tugasnya dengan baik .. Biarkan gue membalas budinya .."
Gabriel tampak berpikir keras. Ia memijat keningnya.
"Oke .. Tapi jangan lebih dari jam 10 .. Kalau sampai lebih, kakak akan membereskan Deva .."
Obiet menganga tak percaya. Ingin rasanya ia protes. Tetapi apa daya. Dia tak punya hak untuk melarang Oik .
"Makasih kak .. Gue berangkat dulu ya .. Deva sudah nunggu didepan .." ujar Oik sebelum melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Suasana menjadi sunyi sepeninggal Oik. Obiet masih memandang ke arah pintu, berharap Oik kembali dan membatalkan acaranya dengan Deva. Tetapi itu semua hanya mimpi.
BRAK.
Gabriel berdiri sambil menggebrak meja dengan tangan kanannya.
"Gue nggak tahan !"
Obiet dan Sivia menoleh. Memandang Gabriel dengan heran.
"Kita ikuti mereka !"
***
AC mobil mulai mengeluarkan hawa dinginnya. Beruntung sekarang ia memakai jaket putih kesayangannya, sehingga tubuhnya merasa hangat. Ia mengalihkan pandangannya ke kursi pengemudi. Disana tengah duduk seorang pemuda dengan paras tampan yang sedang tersenyum manis untuknya.
"Dev, kita mau kemana ?"
"Sebentar lagi sampai Ik .. Itu tempatnya .. Yang ada lampu warna-warninya .."
Oik mencari tempat yang Deva sebut. Ya, memang ada satu tempat yang mencolok dengan lampu warna-warninya. Tetapi tempat itu..
"Dev, itu butik kan ? Bukannya kita mau makan ? Memang disana ada restonya ?"
Deva hanya tersenyum. Lalu kembali berkonsentrasi pada mobil untuk memarkirnya.
"Keluar yuk .." ajak Deva.
Oik mengangguk, lalu keluar mengikuti Deva yang menunggunya di depan pintu masuk butik.
"Dev, mau apa kita ke sini ?"
Deva kembali tersenyum. Ia berjalan ke arah Oik, lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Oik. Oik mundur sedikit. Agak kaget dengan tingkah Deva.
"Gue mau nunjukin ke semua orang bahwa gadis didepan gue adalah gadis tercantik di dunia .."
Oik nyengir kuda. Bingung harus berbuat apa.
"Yuk .."
Deva menggandeng Oik masuk ke dalam butik.
"Deva .." sambut seorang laki-laki dengan kemeja batik berwarna biru.
"Sion .. Apa kabar ?" tanya Deva sambil menjabat tangan laki-laki itu.
"Baik .. Lo gimana ?"
"Baik juga .. Oh iya, pesanan gue udah lo siapin ?"
Sion mengacungkan ibu jarinya.
"Beres .. Dev, siapa cewek disebelah lo itu ?"
"Oh iya .. Dia Oik .. Ik, kenalin dia Sion .. Teman SMA gue .. Sekarang dia yang ngelola butik nyokapnya ini .."
Oik tersenyum, lalu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Sion.
"Oik .."
"Gue Sion .. Deva sering cerita tentang lo .. Baru sekarang gue bisa tatap muka dengan lo .. Ternyata lo jauh lebih cantik dari pada di foto ya .." tutur Sion panjang lebar.
"Makasih .."
"Buruan yok .. Gue cuma punya waktu sampai jam 10 buat bareng sama dia .." celetuk Deva sambil melirik arlojinya yang tengah menunjuk pukul 18.53.
Sion mengangguk paham. Kemudian ia memberi isyarat pada Deva dan Oik untuk mengikutinya. Mereka berjalan ke belakang butik menuju sebuah bangunan yang terpisah dari butik. Sion membuka pintunya.
"Silahkan masuk nona .." ujar Sion sambil membungkuk sedikit.
Oik menoleh ke arah Deva. Deva tersenyum.
"Masuk aja .. Turuti apa kata Kak Angel, kakaknya Sion .. Okeh ?"
"Tapi Dev .."
"Ssstthh .. Lo sudah janji sama gue .."
Oik mengangguk. Ia memang berjanji bahwa ia akan menuruti kemauan Deva. Ia melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu. Sion bergegas menutup pintu. Lalu tersenyum lebar kepada Deva.
"Tenang Dev .. Lo nggak perlu meragukan kemampuan kakak gue dalam hal ini .."
"Gue percaya kok .."
"Kalau gitu, kita tunggu di ruangan gue .. Gue pingin ngobrol banyak sama lo .."
"Okeh .. Yuk .."
Mereka berjalan dan masuk ke ruang sebelah. Duduk santai di sofa yang empuk sambil menikmati teh hangat. Suasana yang nyaman untuk berbincang-bincang dengan teman lama. Hingga tak terasa 30 menit telah berlalu.
TOK TOK.
"Masuk .." ujar Sion.
CKLEK.
Pintu itu terbuka. Seseorang melangkah masuk. Ia tersenyum.
"Kakak ? Sudah selesai ?"
"Sudah kok .. Dia benar-benar cantik .." ujar Angel sambil tersenyum penuh rahasia.
"Mana Oik kak ? Gue jadi penasaran .." ucap Sion.
Ia menoleh ke arah Deva sambil tersenyum menggoda.
"Lo pasti dag dig dug kan Dev ?" tanyanya.
Deva meringis. Ya, sejak awal jantungnya memang berdegup tak karuan. Tetapi ia selalu berusaha untuk menutupinya dengan berlagak cool didepan gadis itu.
"Ayo masuk Ik .. Jangan malu .." bujuk Angel.
Sion dan Deva menunggu dengan was-was. Mata mereka tertuju pada pintu masuk. Menanti seorang gadis cantik yang akan melewati pintu itu.
Siulet pink mulai nampak. Perlahan namun pasti, gadis itu berjalan. Rambut panjangnya sedikit digulung di sebelah kiri dan ditambah accesories bunga pink dengan akar-akaran yang menjalar. Make up natural membuat wajahnya semakin mempesona. Dress putih selutut dengan degradasi pink membuat kulit putihnya nampak lebih cerah. High heels berwarna baby pink menghiasi kaki yang ia langkahkan dengan agak canggung.
Dua pemuda didepannya mematung. Memandang indahnya ciptaan Tuhan didepannya. Sion yang segera sadar langsung menepuk pundak Deva untuk membangunkannya.
"Sono Dev .. Jemput bidadari lo .. Katanya waktu lo terbatas ?" tegur Sion.
Deva tersenyum, lalu bangkit dan berjalan ke arah Oik yang tengah menunduk sambil memainkan pita kecil yang ada di dress-nya.
"Hei cantik .. Mau pergi denganku ?" goda Deva.
Refleks Oik mencubit lengan Deva. Menatap Deva dengan pipi chubby-nya yang memanas. Blush on semakin membuat pipinya memerah. Deva mematung. Tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Pipi Oik memerah ? Dan itu semua akibat dia ?
"Apaan sih Dev .."
Deva tersenyum.
"Lo cantik banget Ik .."
Oik menunduk. Pipinya kembali memanas. Deva memperlebar senyumnya. Sungguh bahagia.
"Ayo .. Gue cuma punya sedikit waktu .. Ntar kakak lo bisa bunuh gue .." ucap Deva sambil menggenggam tangan Oik.
"Sion, Kak Angel .. Makasih ya .. Kita pergi dulu .." pamit Deva.
"Sama-sama Dev .. Good luck ya .." ujar Sion.
Deva mengangguk.
"Oik, ini .." ucap Angel sembari memberikan kantong putih kepada Oik.
"Makasih kak .."
"Sama-sama, cantik .." ucap Angel sambil tersenyum.
"Kita berangkat dulu .. Sekali lagi, terima kasih .."
Sion dan Angel mengangguk. Lalu melambaikan tangan kepada dua insan muda yang sedang mencoba untuk memainkan sebuah permainan yang disebut cinta.
***
"Kak, kenapa mereka lama ?" tanya Obiet yang berada di kursi pengemudi.
"Gue nggak tau Biet .. Tadi Oik bilang kalau mereka mau makan, bukan ?" Gabriel berbalik tanya.
Obiet mengangguk.
"Iya kak .. Eh, itu Deva ! Tapi kok ?"
Gabriel menajamkan pengelihatannya. Ya, itu Deva. Tetapi dengan siapa ? Siapa gadis disampingnya itu ?
"Itu Oik .." celetuk Sivia dari jok belakang.
"Oik ??"
Gabriel dan Obiet menoleh ke belakang. Menatap Sivia dengan tatapan tak percaya.
"Kelihatan dari postur tubuhnya .." tutur Sivia.
Gabriel dan Obiet kembali menatap gadis yang ada di samping Deva. Memang dari postur tubuh, gadis itu terlihat seperti Oik. Tetapi satu hal yang pasti. Oik tak mungkin berdandan ala gadis yang ada didekat Deva.
"Pasti Deva yang merencanakan semua itu .. Ia menginginkan Oik tampil cantik di acara kencan mereka .." jelas Sivia.
"Kencan ? Bukannya ini cuma acara makan malam ?" tanya Obiet.
"Itu sama aja, Obiet !"
Obiet kembali memperhatikan dua insan muda disana. Tubuhnya lemas seketika. Semua energinya seperti tersedot habis. Sekarang ia hanya bisa berdoa agar Oik tak merubah haluan hatinya ke arah Deva.
"Biet ! Mereka pergi tuh ! Lo bengong aja ! Cepet ikutin !" perintah Gabriel sambil sedikit mengguncang tubuh Obiet.
Obiet mengangguk cepat dan segera menjalankan honda civic silver milik ayah Gabriel untuk mengikuti mobil Deva. Sekarang jarak di antara mereka sekitar satu mobil. Sebenarnya Obiet ingin sekali menghadang honda city didepannya itu. Tetapi Gabriel selalu menghalanginya.
"Kita cuma mengawasi, Biet .. Bukan untuk merusak acara mereka .. Paham ?" kata Gabriel berulang kali.
Obiet hanya dapat mendengus sekencang mungkin.
"Biet, mereka belok ke resto yang ada didepan .." tutur Gabriel.
"Iya kak .. Aku juga tau kok .." jawab Obiet.
Perlahan ia memarkirkan mobil agak jauh dari mobil Deva. Obiet segera melepas sabuk pengamannya dan bergegas keluar. Tetapi Gabriel berhasil menahannya.
"Obiet ! Lo udah gila ?! Kita bisa ketahuan !!" bentak Gabriel.
Obiet kembali duduk dengan enggan. Gabriel masih mencengkram tangan Obiet, takut Obiet bertindak bodoh lagi. Setelah melihat Deva dan Oik masuk ke dalam, Gabriel melepaskan Obiet.
"Kita keluar .. Ayo Siv .."
Mereka keluar dari mobil, lalu berjalan memasuki restoran. Ketiganya melempar pandangan ke segala sudut restoran, mencari sosok Oik dan Deva. Mata Obiet tertuju pada seorang gadis yang tengah duduk berhadapan dengan seorang pemuda di meja makan dekat gazebo. Obiet melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Gabriel yang ada dibelakangnya sedang mencoba untuk menariknya kembali.
HAP. DUK.
Obiet didudukkan dengan paksa oleh Gabriel.
"Kita pantau dari sini ! Dan berhenti melakukan tindakan bodoh !" tegur Gabriel.
Obiet tak menggubrisnya. Ia kembali menatap Oik yang tengah menyantap makanannya dengan agak menunduk. Deva yang ada dihadapannya belum menyentuh makanannya, ia malah asyik menatap gadis didepannya. Hal itu sukses membuat emosi Obiet tersulut. Ia mencengkram taplak meja makan hingga kusut. Sivia menatap Obiet lekat. Ia memang tergolong gadis yang polos. Tetapi dengan melihat perubahan sikap Obiet malam ini, ia tahu. Ada sesuatu yang sedang bergejolak di hati Obiet. Obiet sedang marah. Obiet sedang tak sabaran. Dan yang terpenting. Obiet cemburu. Ya, Sivia tahu itu. Ia bukan orang buta yang tak bisa melihat perbedaan ekspresi maupun sikap seseorang. Bukan. Oleh karena itu hatinya sakit. Sakit yang menyiksanya. Membuatnya sesak. Ingin rasanya ia berteriak. Tidak. Ia tak dapat melakukannya. Ini tempat umum. Ingin rasanya ia menangis. Tetapi ia juga tak dapat melakukannya. Terutama didepan Obiet. Lambat laun ia menunduk. Tak berani lagi menatap tingkah Obiet yang semakin menjadi-jadi karena tersulut rasa cemburu. Sivia ingin lari. Ya, ia dapat berlari. Setidaknya ia tidak dapat melihat Obiet.
"Sivia !" panggil Gabriel sambil berlari mengejar Sivia dan meninggalkan Obiet yang masih menatap Oik, tak peduli dengan keadaan di sekitarnya.
Gabriel berhasil menggenggam tangan Sivia dan menghentikannya tepat di ambang pintu restoran. Sivia memberontak. Ia meraung sambil terisak. Masih mencoba melepaskan genggaman Gabriel. Namun semuanya sia-sia, Gabriel terlalu kuat. Akhirnya Sivia hanya dapat menangis sekencang mungkin.
"Biar aku pergi kak ! Aku mau pergi !" jerit Sivia.
"Tapi Siv .."
"Aku mau pergi kak ! AKU MAU JAUH DARI SINI !" raung Sivia dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
Raungan Sivia menyita perhatian puluhan pasang mata. Gabriel semakin bingung. Akhirnya ia melepaskan genggamannya.
"Oke, kamu tunggu di mobil .. Kakak mau ambil kunci dari Obiet .."
Sivia mengangguk, lalu ia berjalan menuju honda civic yang ada di tempat parkir sebelah barat. Sedangkan Gabriel segera berlari ke dalam restoran.
"Biet, mana kunci mobilnya ?" tanya Gabriel setibanya di meja mereka.
"Ini kuncinya .. Memangnya Kakak mau kemana ?" tanya Obiet.
"Urusan mendadak .. Lo awasi mereka .. Okeh ?"
Obiet mengangguk. Kemudian ia celingukan.
"Via mana kak ?"
Gabriel tersenyum.
"Dia sama gue .. Lo pulang naik taxi aja ya .."
Obiet mengacungkan jempolnya sebelum Gabriel melangkah pergi keluar. Gabriel melihat Sivia yang masih terisak di samping mobil ayahnya.
"Siv ?"
"Mm .. Maaf kak .."
Gabriel mengelus rambut panjang Sivia. Mencoba menenangkannya.
"Nggak apa-apa Siv .. Ayo masuk .."
Sivia mengangguk pelan, kemudian masuk ke dalam mobil. Gabriel mengikutinya.
"Kakak, maaf .. Aku selalu merepotkan .. Tangan kakak kan masih sakit .."
Gabriel tersenyum.
"Jangan khawatir .. Tiga jahitan itu nggak sakit kok Siv .."
Sivia kembali menunduk. Ia merasa tak berguna disini dan selalu membuat repot Kak Gabriel. Ia menyesali keputusannya untuk menyusul Obiet ke Jakarta. Kalau saja waktu itu ia tidak menuruti pemikirannya yang dangkal. Pasti sekarang ia masih bisa tertawa untuk menghibur Bibi Irva.
"Siv, kita mau kemana ?" tanya Gabriel sembari menyalakan mesin mobil.
"Terserah kakak .." jawab Sivia lirih.
Gabriel mengangguk. Ia mulai menjalankan mobilnya menjauh dari restoran menuju ke suatu tempat yang belum ia tentukan.
***
Obiet berusaha menyembunyikan wajahnya ketika kedua orang itu lewat. Berpura-pura mengaduk lemon tea-nya sambil sedikit menunduk. Setelah kedua orang itu melewati meja makannya, ia segera melesat pergi membuntuti mereka. Mengendap-endap seperti cheetah yang mengintai mangsa. Tak lama setelah honda city hitam itu pergi, ia menghentikan taxi yang lewat.
"Pak, ikuti mobil hitam itu !" perintah Obiet.
"Baik mas .." jawab supir taxi.
Taxi segera melesat pergi. Menguntit mobil hitam itu dari belakang.
'Mau kemana mereka ? Ini bukan jalan pulang ..'
"Pak bisa lebih cepat ? Jangan sampai kehilangan jejak mobil itu .."
"Iya mas .."
Sopir taxi itu menambah kecepatan taxi-nya. Mereka semakin dekat dengan honda city.
3
2
1
CCIIIITTT !
DUK.
Kepala Obiet terbentur jok depan mobil. Obiet meringis sambil memijat kepalanya. Ia melihat sekelilingnya. Semua kendaraan berhenti. Termasuk taxi yang ia tumpangi.
"Kenapa berhenti Pak ?"
"Maaf mas .. Lampu merah .. Saya nggak berani nerobos .."
"Lalu mobil itu ??"
Obiet celingukan mencari honda city hitam yang seharusnya ada didepannya.
"Maaf mas .. Mobilnya sudah jauh didepan .. Percuma kalau dikejar .." ujar sopir taxi.
Obiet mengumpat pelan. Kepalanya pening.
"Sekarang mas mau kemana ?"
Obiet mengacak-acak rambutnya. Tak ada yang dapat ia lakukan sekarang. Ia telah kehilangan jejak. Ia gagal mengawasi mereka. Ya, ia gagal.
"Ke kompleks perumahan HIMAWARI .."
***
Senyum malu-malu masih terukir di bibirnya. Entah mengapa malam ini, rasa percaya dirinya raib. Walaupun pemuda disampingnya selalu mengatakan bahwa dirinya tak kalah dengan artis papan atas yang pada umumnya sangat cantik. Dan itulah yang ia lakukan sekarang. Dasar gombal !
"Dev .. Please berhenti .."
Pemuda itu tertawa.
"Nggak mau .. Asal lo tau aja Ik .. Lo tuh cantik banget .. Apa lagi kalau pipi lo semerah tomat .. Hehe .."
Oik menggembungkan pipinya. Agak kesal dengan sebutan tomat yang dilontarkan Deva.
"Deva !"
"Haha .. Kalau lo minta gue berhenti, maaf .. Untuk kali ini gue nggak akan berhenti .. Karena gue suka pipi tomat lo itu .. Hehe .."
Oik makin menggembungkan pipinya.
"Kalau aja gue melakukan semua ini dari awal kita bertemu, pasti dari dulu gue bisa lihat pipi tomat lo itu .."
"Udah ah .. Berhenti mengolok-olok gue !"
Deva tersenyum. Kemudian ia mencubit pipi Oik sambil mengerling genit.
"Iya deh .."
Oik memanyunkan bibirnya.
"Dasar genit !"
Deva tertawa lepas. Tak mempedulikan Oik yang makin memanyunkan bibirnya.
"Sebenarnya kita mau kemana sih ?" tanya Oik.
"Ke taman .. Itu .. Lo ingat ?" Deva berbalik tanya.
Oik mengembangkan senyum manisnya. Ia ingat taman ini. Taman didekat rumahnya dulu. Taman tempatnya bersembunyi.
"Mau turun ?" tanya Deva.
"Tentu .."
Mereka turun dari mobil bersamaan. Melangkah memasuki taman yang penuh dengan kenangan masa kecil mereka. Tempat pertama kali mereka bertemu. Atau lebih tepatnya lagi, tempat Deva menemukan Oik yang sedang bersembunyi.
"Dulu, lo pernah sembunyi disini .. Dibawah pohon itu .."
Oik mengangguk.
"Dan lo .. Orang pertama yang berhasil menemukan gue .."
Deva tersenyum.
"Iya .. Waktu itu, untuk pertama dan terakhir kalinya gue lihat lo menangis .."
Oik tertawa kecil.
"Waktu itu, gue berjanji bahwa Itu tangisan terakhir gue .. Jadi gue menangis sepuasnya .."
"Ya, gue tau itu .."
Hening. Tak satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara. Mereka sedang sibuk membuka berlembar-lembar scene yang terkait dengan taman itu. Mencoba merasakan kembali semua hal yang terjadi di masa lalu. Semua tawa Oik kecil yang timbul akibat tingkah konyol Ozy dan Deva. Semua jeritan Oik kecil yang kesal karena Deva selalu menemukan tempat ia bersembunyi.
"Ik, selama ini gue selalu berhasil menemukan lo .. Ap .. Kalau misalnya gue sembunyi, apa lo bisa temukan gue ?" tanya Deva sambil mengingat riwayat insting pencarian Oik yang begitu rendah ketika mencarinya.
Oik mengangguk.
"Gue akan berusaha .. Salah satu usaha gue adalah .." Oik menggantungkan kalimatnya.
Deva mengerutkan keningnya.
"Taraaa .." ucap Oik setelah melepas bros kecil berwarna hitam dari dres-nya.
"Apa itu ?" tanya Deva.
"Ini GPS sekaligus alat deteksi detak jantung .. Tinggal dipasang disini .." ujar Oik sambil memasangkan bros itu ke kantung kemeja putih Deva.
Deva menelan ludah. Jantungnya kembali melompat tak karuan. Saat ini Oik begitu dekat dengan dirinya. Bukan karena ia yang memaksa gadis itu. Bukan. Oleh karena itu ia merasa di atas awan. Ia kembali tertawa kecil. Mengapa hanya dengan jarak yang tak kurang dari 15 cm gadis itu bisa membuatnya melayang ?
Deva terus menatap Oik yang masih sibuk memasang bros. Menatap paras cantik dari satu-satunya gadis yang membuat jantungnya berdebar hebat. Ia tak ingin kehilangannya, satu-satunya orang yang berharga baginya. Ia tak akan membiarkan pamannya bertindak lebih jauh lagi atau membiarkan bocah ingusan itu mengubah haluan hati Oik. Ya, ia tak boleh kalah dengan dia. Tetapi bagaimana caranya ? Ia sudah berkali-kali mengungkapkan perasaannya kepada Oik, walaupun tidak secara gamblang. Apa ia harus mencobanya lagi ? Ya, ia akan mencoba. Ia tak boleh kalah dari bocah itu !
"Nah, selesai .. Kalau begini, gue bisa temukan lo .." ucap Oik riang.
Ia menatap Deva yang juga menatapnya tajam. Ia memperhatikan posisinya. Apa ia terlalu dekat pada Deva ? Oik mundur selangkah, tetapi dengan cepat Deva memegang pundaknya.
"Mau tau cara menemukan gue tanpa memakai GPS ?" tanya Deva tiba-tiba.
Oik bingung harus menjawab apa. Deva bertindak lebih cepat. Ia meraih tangan kanan Oik dan meletakkannya di dadanya, tepat di jantungnya.
"Lo bisa merasakannya ? Detak jantung gue .." ujar Deva sambil menatap Oik tajam.
Oik menunduk. Ia dapat merasakan detak jantung Deva dengan jelas. Sangat jelas. Jantung Deva berdetak sangat cepat seperti irama musik rock.
DEG.
Hampir sama. Seperti bersahut-sahutan. Mengapa detak jantungnya seperti ini ? Jantungnya berdetak hampir seirama dengan jantung Deva. Mengapa begini ?
"Terasakan ? Ini selalu terjadi disaat lo ada didekat gue .. Itu cara gue menemukan lo .. Gue harap, suatu hari nanti lo bisa temukan gue dengan cara yang gue lakukan untuk menemukan lo .."
Oik tetap mematung. Terus menunduk. Tak tahu harus mengiyakan atau yang lainnya. Oik tak yakin dengan dirinya. Apa ia dapat melakukan seperti apa yang Deva lakukan untuknya ?
CUP.
Oik menelan ludah. Tercengang dengan apa yang Deva perbuat.
"Terlalu lama berpikir .. Bilang aja iya .. Nggak repot kan ?" bisik Deva tepat di telinga Oik.
Oik semakin menunduk.
"Ayo pulang .. Hampir jam 10 .."
Deva menggenggam tangan Oik. Mengajaknya menuju mobil. Namun Oik tetap pada posisinya. Masih mematung.
"Lo kenapa Ik ?" tanya Deva.
Oik menatap Deva tak percaya.
"Kenapa ?!! Tadi lo .. Pipi gue .. Ee .. Seumur hidup nggak ada yang pernah .." jawab Oik terbata-bata.
Deva tersenyum.
"Jadi gue, cowok pertama yang cium pipi lo ?"
Oik melangkah pergi dengan pipi yang merona merah. Lebih dari 10 kali pipinya merona malam ini. Dan itu semua karena pemuda yang sedang mengejarnya.
"Jangan marah dong Ik .. Maaf deh .."
"Gue mau pulang .."
"Iya .. Tapi lo maafin gue ya ?"
Oik mengangguk. Deva tersenyum. Kemudian ia membukakan pintu mobil untuk Oik. Oik masuk. Deva menuju posisinya. Menyalakan mesin, lalu menjalankan mobil menuju kediaman Oik.
***
Honda civic berhenti di tengah jembatan yang agak sepi. Gabriel mematikan mesin mobilnya, lalu menoleh ke bangku disampingnya. Gadis itu telah berhenti terisak. Mungkin terlalu lelah untuk melakukannya kembali.
"Ayo turun .." ajak Gabriel.
Gadis itu mengangguk. Mereka turun dari mobil. Melihat sekilas siulet lampu mobil yang berlalu-lalang, lalu kembali berjalan menuju pinggir jembatan. Gabriel menggenggam tangan gadis itu. Membimbingnya menuju pinggir jembatan.
"Udah baikan ?"
Gadis itu menggeleng.
"Kakak tau masalah kamu .."
Gabriel menggenggam tangan gadis itu lebih erat. Gadis itu menatap Gabriel. Matanya kembali memanas. Tiba-tiba ia ingin menangis lagi.
"Sahabat dan cinta itu beda tipis .. Sekali saja mereka bersatu, akan sangat sulit untuk dipisahkan .."
Gadis itu mulai terisak.
"Itu tak masalah .. Tapi pasti akan menjadi masalah ketika orang itu mengetahui bahwa sahabatnya mencintai orang lain .. Pasti patah hati .."
Gadis itu mulai mengeluarkan air matanya.
"Anehnya, patah hati yang disebabkan oleh sahabat terasa lebih menyakitkan .. Seperti ditolak berkali-kali .."
Pipi gadis itu telah basah karena air matanya yang mengalir deras.
"Tetapi, patah hati itu akan semakin parah bila orang itu tak pernah menyatakan perasaannya kepada sahabatnya .. Ia pasti tersiksa .."
Gadis itu menangis semakin kencang. Merasa tersindir oleh perkataan Gabriel.
"Seperti itulah dirimu yang sekarang, Siv .."
Gabriel menatap Sivia yang menangis histeris. Sebenarnya ia tak tega saat mengucapkan beberapa pendapatnya tentang sahabat jadi cinta. Tetapi mau bagaimana lagi ? Sivia harus sembuh. Malam ini juga. Itu targetnya.
"Keluarkan semua Siv .. Menangislah sepuasmu .."
Gabriel menarik Sivia ke dalam pelukannya. Sivia menangis sekencang-kencangnya. Tak peduli dengan beberapa pasang mata yang melihatnya. Hatinya sudah terlalu sakit.
Hampir 20 menit Sivia menangis dipelukan Gabriel. Alhasil kemeja Gabriel basah terkena air mata Sivia. Sivia mulai berhenti menangis. Karena merasa tak enak dengan Gabriel.
"Sudah selesai ?" tanya Gabriel.
Sivia mengangguk.
"Wow, bagaimana bisa kau tahan menangis dalam 19 menit 57 detik tanpa jeda ?"
"Kakak .." jawab Sivia sambil menunduk malu.
Gabriel tertawa.
"Sudah baikan ?"
"Sedikit .."
Gabriel kembali memutar otaknya. Mencari cara untuk mengembalikan mood Sivia.
"Kau tau apa yang kau butuhkan saat ini ?"
Sivia menggeleng.
"Apa kak ?"
Gabriel tersenyum.
"Selotip .."
Sivia bingung.
"Selotip ? Kakak bercanda ?"
"Kakak serius .. Kau harus segera menemukan orang yang bisa menambal hatimu .. Itu yang kakak maksud dengan selotip .."
"Harus sekarang ?"
"Malam ini juga .."
"Mana ada yang mau sama aku .."
"Ada kok .."
Sivia menatap Gabriel yang tengah menaikkan alisnya berkali-kali sambil tersenyum aneh.
"Alis kakak kenapa naik-naik gitu sih ?"
Gabriel menghentikan tingkahnya.
'Eh, nih anak kagak paham maksud gue ..'
"Maksudnya kakak .." jawab Gabriel sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Apa ? Aku bingung kak .. Kakak lagi ngomongin apa sih ?"
"Selotip, Sivia .. Se .. Lo .. Tip .."
"Ah, kakak nggak nyambung deh .."
Gabriel menggaruk kepalanya. Ia tak suka saat sifat Sivia yang satu sini kambuh.
"Sivia, dengar baik-baik .." Gabriel memegang kedua pundak Sivia.
"Kakak ingin jadi selotipmu .."
Sivia mengedipkan matanya berkali-kali.
"Kakak mau jadi selotip ?"
Gabriel memegang kepalanya yang pening. Ia menyerah. Cukup sudah.
"Jangan dipikirin .. Kita pulang yuk .."
Gabriel melangkah pergi meninggalkan Sivia yang masih berpikir keras tentang selotip.
"Selotip ? Kak Gabriel ? Selotipku ? Apa maksudnya .."
Senyum Sivia mengembang. Kemudian ia berlari menuju Gabriel.
"Kakak ! Kakak mau jadi selotipku ??"
"Iya .."
Gabriel membukakan pintu mobil untuk Sivia.
"Kakak suka sama aku ?"
Gabriel memaksakan senyumnya.
"Apa masih perlu ditanyakan ? Masuk gih .."
Sivia kembali tersenyum dengan wajah polosnya.
"Kakak serius ?"
"Kakak serius .. Dan jangan tanya lagi .." ucap Gabriel mengakhiri percakapan mereka karena arlojinya telah menunjuk pukul 09.38 malam.
Sepanjang perjalanan pulang, Sivia tersenyum senang. Dalam satu hari, ia dapat patah hati sekaligus mendapatkan selotipnya. Selotip yang kini duduk dengan tenang. Selotip yang mungkin akan menyatukan hatinya kembali.
"Kakak Selotip, mohon bantuannya ya .."
***
Cinta itu seperti tempo lagu yang sulit untuk dipahami. Ketika terlalu cepat, kita akan kesulitan untuk menggapainya. Tetapi ketika terlalu lambat, kita akan bingung dalam menentukan sikap walaupun cinta berada dalam jangkauan kita. Saat ini ia sedang terjebak dalam tempo yang terlampau cepat. Sekeras apapun ia berlari, tetap saja ia tak dapat menjangkau gadis itu. Belum lagi saingannya. Pemuda itu telah mengambil langkah lebih awal untuk mendahuluinya. Dan sekarang ia tak tahu dimana posisinya. Apakah ia berada didepan pemuda itu atau mereka dalam posisi yang sama. Kemungkinan terburuknya adalah pemuda itu telah berlari jauh didepannya. Satu-satunya yang dapat menjawab pertanyaannya adalah gadis disampingnya ini. Gadis yang selalu ia temani ketika insomnianya kambuh.
"Ik .. Aku boleh tanya ?"
Oik menatapnya dengan mata pandanya.
"Tanya apa ?" jawabnya lirih, ia terlalu lelah untuk berbicara.
"Kemarin malam, apa saja yang kamu lakukan ?"
"Maksud lo waktu jalan sama Deva ?"
Obiet mengangguk.
"Cuma makan, lalu pergi ke taman .. Itu aja .."
Obiet menatap Oik cukup lama. Mencoba mencari kebohongan yang mungkin terpeta diwajah cantiknya. Sayangnya ia tak menemukannya. Oik jujur. Obiet menghirup nafas dalam, kembali mencoba untuk menenangkan jantungnya.
"Oik ?"
"Hmm ?"
"Deva .. Apa dia .. Apa dia berarti bagimu ?" tanya Obiet sambil menggeser posisi duduknya lebih dekat dengan Oik agar dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas.
Oik berhenti menatap langit dan beralih ke bumi. Kedua tangannya yang mengepal mendadak menjadi lemas. Setiap otot yang ada di otaknya berkontraksi cepat. Membuat kepalanya pening.
"Deva .. Dia orang penting dalam hidup gue .. Tanpa dia, mungkin gue sudah dilumat habis oleh mereka .. Terlalu banyak yang dia perbuat untuk gue .. Tapi gue cuma bisa nyakitin dia .. Dia orang penting yang selalu gue sakiti .."
Obiet menelan ludah ketika mendengar jawaban Oik. Tatapannya melemah tetapi jantungnya tetap berdegup kencang. Bahkan semakin kencang sehingga membuat dadanya sesak.
"Gue berusaha keras agar gue berhenti menyakitinya .. Gue berusaha jauh dari dia .. Tapi dia selalu tau dimana gue berada .. Dia selalu temukan gue, Biet .. Dia selalu mencari orang yang sering menyakitinya .. Mencari gue .."
Obiet memejamkan matanya. Mencoba melupakan ekspresi Oik ketika menjawab pertanyaan darinya.
"Gue nggak pantas buat dia, Biet .."
Oik menunduk semakin dalam. Terlalu banyak nyawa orang-orang baik yang melayang karena masalah ini. Deva. Bisa dibilang ia telah menggadaikan nyawanya. Demi Oik. Gadis yang telah mati rasa karena terlalu muak dengan rasa kehilangan yang selalu dialaminya.
"Jadi dia berarti untukmu ?"
Oik mengangguk pelan.
"Ada satu lagi yang ingin ku tanyakan .."
"Apa lagi ?"
"Apa aku mempunyai arti untukmu ?"
Perlahan Oik mengangkat wajahnya, lalu menoleh dan menatap Obiet. Ia tersenyum.
"Lo itu orang yang gue tunggu .. Lo itu kunci dari semua masalah gue .. Terima kasih karena lo mau datang ke sini .. Tapi .."
"Tapi apa ?"
"Gue nggak bisa biarkan lo masuk terlalu dalam di hidup gue .."
Obiet menatap Oik semakin dalam.
"Kenapa ? Apa yang kurang dari ku ?"
Oik mengalihkan pandangannya untuk menghindari tatapan tajam Obiet.
"Lo itu terlalu baik .. Gue nggak mau buat lo terjebak pada gue .. Gue nggak mau lo berkorban terlalu banyak buat gue .."
"Oik, aku pernah bilang kalau aku tak akan pernah biarkan kamu berjuang sendiri .. Dan itu tetap berlaku sampai sekarang .. Aku ingin berbuat sesuatu untukmu .."
Oik menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan dirinya, lalu berdiri dan mulai melangkah masuk ke dalam.
"OIK !!"
Obiet menggenggam tangan Oik, lalu menarik Oik ke dalam pelukannya. Memeluk Oik sangat erat.
"Oik tolong, aku ingin berbuat sesuatu untukmu .."
Oik menelan ludah. Ingin rasanya membalas pelukan Obiet. Tetapi ia tak bisa. Hal itu akan membuat Obiet semakin masuk ke dalam hidupnya.
"Obiet lepasin gue .."
Obiet tak peduli. Ia makin mempererat pelukannya.
"Katakan apa yang harus ku lakukan sebelum aku melepaskanmu .."
"Obiet, please .. LEPASIN GUE !!" Oik berteriak sambil mendorong tubuh Obiet menjauh darinya.
Oik terhuyung ke belakang. Hampir saja ia menabrak pintu geser, kalau Obiet tak segera menarik tangannya.
"Oik, badanmu panas ?! Kamu sakit ?" tanya Obiet sambil memindahkan tangannya ke kening Oik.
"Panas .." ujar Obiet lirih.
'Kenapa dari tadi aku nggak menyadarinya ?'
"Gue nggak sakit kok .." sangkal Oik.
"Nggak .. Kamu sakit .. Ayo masuk ke dalam !"
"Lepasin gue ! Gue bisa masuk sendiri !" Oik menyingkirkan tangan Obiet dari pundaknya, lalu mulai berjalan ke dalam sebelum ia kembali berhenti karena BB-nya berdering.
"Iya Zy .. Gue belum tidur kok .. Ada apa ?"
Obiet menajamkan telinganya. Berharap mendapatkan informasi sekecil apapun.
DUK.
BB Oik terlepas dari genggamannya. Tetapi tangan kanannya tetap diam, seolah-olah masih memegang BB-nya. Obiet mengulurkan tangannya, ingin menepuk pundak Oik. Tetapi belum sempat ia menyentuhnya, Oik sudah berlari masuk ke dalam rumah. Refleks Obiet ikut berlari dibelakang Oik. Ruang permainan. Tempat itulah yang mereka tuju. Obiet tetap menatap Oik yang duduk jongkok di depan sebuah papan permainan. Igo. Ya, itu papan Igo. Obiet menyatukan kedua alisnya. Banyak pertanyaan yang siap ia lontarkan pada Oik.
"Huruf kanji Ni ?"
Untuk apa Oik menyusun bidak Igo sehingga membentuk kanji Ni ?
TRAK. BLAM.
Obiet tersentak kaget. Ada sesuatu yang bergerak sekitar 1 meter dari papan igo itu. Obiet menajamkan pengelihatannya. Tak salah lagi. Lantai itu terbuka dan memunculkan sebuah kotak hitam yang cukup besar. Oik berjalan menuju kotak itu dengan tergesa-gesa, lalu mulai membukanya agak kasar. Obiet mulai mendekat dengan rasa penasaran yang tinggi. Ia menjulurkan lehernya, melihat isi kotak hitam itu. Obiet terguncang ketika tahu apa isi kotak besar itu.
"P .. Pi .. Pistol ?"
Oik menoleh sebentar ke arah Obiet, lalu kembali memilah revolver yang ingin ia gunakan. Ada beberapa revolver yang ia miliki. Bukan. Lebih tepatnya, itu semua milik Lex.
"Jangan pernah cerita masalah ini pada kakak .. Paham ?" perintah Oik tanpa menatap Obiet dan langsung pergi.
"Oik !" Obiet kembali mengejar Oik keluar rumah.
Oik masuk ke dalam honda jazz kakaknya dan mulai menyalakan mesin ketika Obiet menyusulnya masuk ke dalam honda jazz. Oik tampak tak peduli. Ia segera memacu mobil, seperti dikejar waktu.
"Oik, mau kemana ?"
"Cari Deva .."
***
Selama 25 menit mereka berada di mobil dan sampai 25 menit ini Obiet tak tahu kemana arah Oik memacu mobilnya. Yang jelas, Oik sedang mencari Deva. Tetapi untuk apa revolver itu ? Apa akan terjadi adu tembak antara mereka ?
CKIITT !
Honda jazz berhenti mendadak. Oik turun dengan memegang salah satu revolver yang ia bawa. Obiet berniat mengikutinya. Tetapi Oik mendorongnya kembali ke tempat duduk.
"Jangan kemana-mana ! DAN JANGAN IKUTI GUE .."
Obiet mengangguk. Sepertinya memang ada sesuatu yang terjadi di taman ini. Mungkin itu yang menyebabkan tatapan Oik tak seperti biasanya. Antara cemas dan marah. Oik mencari Deva. Apa dia menjadi begini karena Deva ?
"Oik, jangan berikan hatimu padanya .."
Obiet mengacak-acak rambutnya. Rasa cemburu kembali menguntit dirinya. Hatinya menginginkan Oik. Sebegitu inginnya sehingga ia ingin memberantas semua hati yang juga menginginkan gadis itu. Ia akan membereskannya, terutama Deva. Obiet turun dari mobil dan berjalan memasuki taman. Matanya berkeliling. Taman ini cukup tua dan kurang terawat. Sesungguhnya tak masuk akal bila Oik mencari Deva kemari. Taman ini terlalu sepi dan memiliki pencahayaan yang kurang.
"Oik ?"
Obiet berlari menghampiri Oik yang tengah berdiri didepan sebuah pohon yang cukup besar. Ia mengguncang tubuh Oik yang terlihat membeku. Tatapan Oik kosong. Mungkin ia tak mengetahui bahwa sekarang Obiet berada didepannya.
"Oik ? Ada apa ?"
Oik tetap diam. Tubuhnya bergetar.
"Kamu sakit ?"
Oik menggerakkan tangan kirinya. Memberikan buntalan kertas kepada Obiet sebelum melangkah gontai menuju mobil Gabriel. Obiet masih menatap Oik. Memfokuskan pandangannya kepada tengkuk Oik. Ada semacam sinar merah. Tetapi hanya setitik. Jantung Obiet berpacu. Refleks kakinya mengambil langkah sepanjang-panjangnya untuk menggapai Oik.
DOR !
Obiet meringis menahan sakit. Ia harus membawa Oik yang berada di pelukannya ke tempat yang sekiranya dapat melindungi mereka, walaupun untuk sementara. Obiet berlari menuju sebuah pohon yang cukup besar sambil menahan sakit pada lengannya. Oik yang berada dipelukannya tetap mengunci mulutnya, pandangannya masih kosong. Bahkan mungkin ia tak menyadari bahwa dirinya hampir tertembak.
"Oik !!"
Oik menatap mata Obiet yang baru saja melepaskan pelukannya.
"Kau tau ?! Kau hampir saja tertembak !! Apa yang kau pikirkan ?!"
Oik memejamkan matanya sebentar, lalu kembali menatap Obiet.
DOR. DOR. DOR.
Obiet menutup kedua telinganya. Bertubi-tubi tembakan mengenai beberapa pohon di sekitar mereka. Oik segera tersadar. Ia langsung menarik Obiet ke belakang punggungnya.
"Dalam hitungan ke tiga, lari ke mobil .. Tapi tetap disamping gue .. Gue akan coba lindungi lo .. Paham ?"
Obiet mengangguk. Oik mengeluarkan dua revolver dari saku celananya, menggenggamnya di kedua tangannya.
"Siap ?" tanya Oik.
Obiet menelan ludah sebelum mengangguk pasrah. Oik menarik pelatuk kedua revolvernya. Lalu mencoba mengintip keadaan.
DOR. DOR.
Oik kembali ke posisinya. Hampir saja tembakan itu mengenai dirinya.
"Mereka mengirim yang lebih hebat kali ini .. Lo siap ? Satu .. Dua .."
Oik bersiap untuk keluar dari persembunyian mereka. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri sejenak.
"Tiga !"
Oik keluar dari persembunyiannya. Mengacungkan kedua revolvernya ke sasaran yang ia incar.
DOR. DOR. DOR.
Bubuk misiu mulai berterbangan dihembus angin malam. Oik terus menembak sambil sedikit berlari.
"Obiet ! LARI !" teriak Oik pada Obiet yang masih berada di balik pohon.
Obiet mengangguk, kemudian ia berlari sambil menutup kedua telinganya.
Baku tembak masih terjadi, bahkan ketika mereka telah berada didekat mobil.
"Obiet, cepat masuk !" perintah Oik.
Obiet bergegas masuk ke dalam mobil. Oik tetap berada diluar, mencoba mem-back up Obiet. Beberapa peluru telah menembus badan honda jazz Gabriel, sehingga menyebabkan lubang-lubang di badannya. Perlahan Oik melangkah menuju pintu kemudi, lalu masuk dan memacu honda jazz sekencang mungkin.
***
Selama perjalanan, Obiet meringis menahan sakit. Lengan kiri atasnya mengalirkan cukup banyak darah. Oik yang menyadari hal itu langsung menghentikan mobil. Ia menarik lengan kiri Obiet, agak kasar.
"Aaww !!"
"Lo kena tembak waktu lari ?"
Obiet menggeleng.
"Bukan, aku kena tembak sebelum itu .. Waktu pikiranmu kosong .."
Oik menatap Obiet.
"Maaf .. Gue nggak tau .. Pikiran gue lagi kacau .. Deva .. Dia .."
Oik menunduk sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya, lalu mengaca-acak rambutnya. Tubuhnya kembali bergetar.
"Mereka menangkapnya .. Dia ditangkap, Biet .."
***
Dia hafal betul ruangan ini. Ruangan yang kekurangan cahaya. Begitulah ia menyebutnya. Ruangan ini tak cukup bila dikatakan remang. Disini gelap. Atau jangan-jangan pandangannya mulai kabur ?
TAP TAP TAP.
Beberapa orang melangkahkan kaki mendekatinya. Sayangnya ia terlalu lemah untuk menyapa mereka. Jangankan berbicara, untuk bernapas pun terasa sangat sulit baginya.
"Apa kabar keponakanku ?"
Sesosok pria muncul dihadapannya. Wajahnya tak jauh berubah. Masih sama seperti 5 tahun yang lalu. Wajah dingin dengan tatapan tegas itu, tak akan pernah ia lupakan.
"Belakangan ini kau selalu membuat paman repot .. Apa kau tahu betapa repotnya paman ketika membereskan semua masalah yang kau timbulkan ? Jawab paman, Deva !"
Tak ada jawaban. Pria itu menatapnya tajam.
"Apa maksudmu dengan menyebarkan isu bahwa pamanmu ini pembunuh semua pemilik saham perusahaan Takeshi ?!"
Deva berniat untuk tertawa, tetapi yang muncul malah cengiran aneh. Ia terlalu sakit untuk tertawa.
"Itu fakta .." jawab Deva lirih.
"Jangan pernah bicara seperti itu di hadapan tuan besar !!" bentak salah seorang entah dimana ia berada, yang jelas ia ada didekat pamannya.
"Rio, cukup ! Jangan ikut campur !"
"Maaf tuan besar .." suara Rio menciut.
Mata pamannya kembali pada sosok Deva yang tertunduk lemas dengan luka lebam disekujur tubuhnya. Pamannya tersenyum. Tangan Deva yang terikat rantai ke atas, malah memperlebar senyuman pamannya.
"Kau menyebarkannya agar semua orang yang bekerja untuk perusahaan ini menjadi tak mempercayaiku ? Atau kau ingin polisi membuka kembali kasus pembunuhan itu dengan alasan bahwa pembunuh mereka bukanlah Lex, melainkan aku ? Siapa yang memerintahkanmu ? Apa gadis itu yang menyuruhmu melakukannya ? Kenapa, Deva ?"
Deva diam. Ia tak ingin semua sisa energinya terkuras habis untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya telah diketahui pamannya.
"Gadis itu yang membuat komando, bukan ? Gadis cantik tetapi sangat mengerikan itu ? Apa cinta yang membuatmu melakukannya ? Sungguh ironi .."
Deva mati-matian menahan amarahnya.
"Deva .. Deva .. Kau pemuda pintar yang mudah dibodohi oleh cinta .. Paman ingin kau tahu satu hal .. Hidupmu, takdirmu ada ditangan paman .. Begitu juga dengan gadis itu .. Paman telah bersumpah untuk membunuhnya .."
Deva mengangkat wajahnya, menatap pamannya dengan tatapan tak percaya.
"KAU TAK AKAN BISA MELAKUKANNYA !!!" raung Deva sambil mencoba menendang pamannya.
Dalam sekejap sepuluh pucuk senjata laras panjang menghadap dirinya. Mencoba mengancam dengan peluru tajam yang siap ditembakkan.
"Turunkan senjata kalian !" perintah pamannya.
Secara serempak mereka menurunkan senjatanya.
"Deva, apa menurutmu kau bisa melindunginya sekali lagi ? Maaf Deva .. Kau tak akan bisa berbuat apa-apa .."
Pria itu berjalan mendekat.
"Kau tahu kenapa ? Karena ini adalah akhirmu .." bisiknya.
Deva menelan ludah. Ini akhirnya ? Apa ia juga akan terbunuh ditangan orang yang telah membunuh kedua orang tuanya ?
"Rio, bawa kemari pistolku !"
Rio mengangguk, lalu berangkat pergi mengambil pistol itu. Tak lama kemudian Rio kembali dengan sebuah kotak berwarna emas ditangannya. Pria itu membuka kotak, lalu mengambil sebuah pistol silver dengan ukiran ular emas yang menjalar.
"Ini pistol yang istimewa .. Pistol ini hanya paman gunakan untuk membunuh orang-orang yang istimewa .. Seharusnya kau bangga karena kau termasuk salah satu diantara mereka .. Jadi .. Apa ada kata-kata terakhir ? Paman akan beri waktu tiga menit untuk memikirkannya .. Dimulai dari sekarang .."
Deva memejamkan matanya. Menarik nafas lebih dalam untuk menenangkan dirinya. Dalam waktu kurang dari 3 menit mungkin nyawanya telah melayang. Satu-satunya hal yang ia takutkan adalah tak akan pernah melihat Oik untuk selamanya. Ia sangat takut. Semua scene tentang Oik kembali berputar di otaknya. Isakan tangis ketika ia menemukan Oik dibalik pohon besar ditaman. Wajah Oik yang polos saat bermain petak umpet. Tawa renyah Oik ketika mendengar lelucon dari Ozy. Tatapan tegas yang selalu Oik perlihatkan. Senyum manis Oik ketika berada disisinya. Pipi chubby Oik yang mulai bersemu merah malam itu. Kalau memang ini adalah akhirnya. Maka ia akan sangat merindukannya. Deva tersenyum getir.
'Bahkan mungkin gue akan merindukan detak jantung gue saat ada di dekat lo ..' batinnya.
Perlahan Deva membuka matanya. Satu bayangan Oik yang ada di otaknya saat ini. Lekuk wajah Oik ketika memanggil namanya dengan nada riang.
"Ikuti kata hatimu .. Katakan padanya, ikuti kata hatimu .." ujar Deva lirih.
"Baik, akan paman sampaikan .. Sekarang bersiaplah .." perintah pamannya.
Deva memejamkan matanya. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa kematian itu tidak menyakitkan. Mencoba untuk menghibur dirinya dengan kembali mengingat Oik. Tetapi itu tak berhasil. Matanya memanas. Setetes air mata mulai mengalir. Ia menyesal tak dapat bertahan hidup lebih lama lagi. Ini akhir darinya.
'Oik, maaf .. Gue nggak sanggup untuk menjaga lo lagi .. Bahkan mungkin untuk bernafas, gue nggak akan sanggup .. Maafin gue, Oik ..'
CKLEK.
Bunyi pelatuk telah ditarik.
"Sayounara, Deva-kun .."
DOR !
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putihku
Teen FictionSore itu langit sangat merah. Tetapi tak semerah darah yang mengalir deras dari tubuh laki-laki paruh baya itu. Jerit histeris dari istrinya tak mampu menghentikan laju darah yang semakin deras. Sementara itu, terlihat seorang anak kecil yang sedang...