Part 5: Dia yang Datang, Dia yang Pergi.
"Gabriel ? Oik punya kakak ?"
"Bukan .. Salah satu diantara mereka adalah anak angkat Lex .. Dan sasaran kita adalah anak kandung Lex .."
"Jadi Gabriel itu .."
"Iya, mereka benar-benar pintar menutupi identitasnya .. Oh ya, ada satu lagi .. Anak yang tinggal di rumah mereka itu, bisa kita manfaatkan .."
"Maksud ayah, Obiet ?"
"Ayah sangat mengenalnya .."
"Ayah kenal Obiet ???"
"Kita tunggu ibumu pulang dari Inggris .. Biar ibumu yang menyelesaikan masalah anak perempuan itu dan anak laki-laki yang ada di rumah mereka .."
"Baik, ayah .."
"Masalah Deva, biar ayah yang tangani .. Kali ini dia tak akan bisa berkelit .. Lalu tugas untukmu, cari informasi tentang Gabriel .. Paham ?"
"Paham .."
***
Warnanya merah. Rasanya manis. Banyak air yang terkandung didalamnya. Dan ini buah kesukaannya. Apel. Apel yang ada digenggamannya. Apel yang ia gigit sambil menemaninya berjalan menuju ruang keluarga sebelum ia melihat pemandangan yang jarang atau bahkan tak pernah ia lihat.
"Oik ?"
Oik mendongak. Menatap Obiet yang memanggilnya dengan heran.
"Apa ?"
Obiet tetap menatap Oik dan ia tak ingin melepaskannya. Jantungnya berdegup tak karuan. Mulutnya terkunci rapat. Tak ada kata yang mampu ia jabarkan. Obiet mematung. Mungkin reaksinya terlalu berlebihan. Tetapi tidak. Ini tidak berlebihan.
"Cantik .."
"Apa Biet ?"
Obiet gelagapan. Ia langsung menggigit apelnya lagi.
"Nggak kok .." jawabnya tanpa menatap Oik.
"Oh .."
Oik menyisipkan sebagian rambutnya ke telinganya, lalu kembali berkutat dengan laptopnya. Obiet kembali menatap Oik. Oik yang duduk bersila dihadapan laptopnya. Oik yang mengenakan t-shirt putih dan celana jeans selutut. Oik yang menggerai rambut panjangnya. Baru kali ini Obiet melihatnya dan ia menyukainya. Sangat menyukainya. Obiet tersenyum. Seandainya ia dapat melihat Oik yang seperti ini setiap hari, pasti ia akan menjadi orang yang paling bahagia sedunia.
'Biet ! Sadar ! Dia anaknya Lex !!' ia menegur dirinya sendiri.
Meskipun ia telah menegur dirinya, matanya tetap tak bisa berpaling dari Oik yang kini sedang berniat menguncir rambutnya. Mungkin karena tak terbiasa.
"JANGAN DIKUNCIR !!"
Kata-kata itu keluar begitu saja dari bibirnya. Bukan asal-asalan. Tetapi Obiet benar-benar serius dengan perkataannya. Oik mematung. Keningnya mengkerut.
"Emangnya kenapa ?"
Obiet menatap buah apelnya yang tinggal setengah. Lalu kembali menatap Oik.
"Jangan dikuncir .. Lebih cantik begitu.."
"Ak .. Aku suka .." tambah Obiet tanpa menatap Oik.
Perlahan Oik menurunkan tangannya, melepas ikat rambut yang baru terikat setengah. Rambutnya kembali terurai. Oik memandang laptopnya. Mencoba mengalihkan pikirannya tentang perkataan Obiet. Tetapi tak bisa. Ia kembali menatap Obiet.
DUK.
Apel yang ada ditangan Obiet terjatuh. Obiet salah tingkah. Ia ketahuan sedang menatap Oik. Sedangkan Oik hanya diam. Ia tak tahu harus berkomentar apa ketika melihat Obiet yang jelas-jelas salah tinggah dihadapannya.
"Ehm, ak .. Aku ke .. Ke ruang latihan dulu .."
Obiet memungut apelnya, lalu berlari dengan canggung. Oik kembali menatap laptopnya. Tetapi pikirannya melayang jauh entah kemana. Satu hal yang tak ia mengerti. Mengapa ada perasaan senang didalam hatinya ? Oik menggeleng.
'Gue udah nggak waras ..'
***
Bunyi klakson ia terima berkali-kali. Tetapi ia tak peduli. Ia ingin menemui seseorang yang selama ini ada dihatinya.
'Rio nggak mungkin bohong .. Tapi apa benar Oik masih hidup ? Gue harus memastikannya ..'
Laju kecepatannya semakin naik. Ia harus segera sampai.
Kompleks perumahan HIMAWARI ada didepan mata. Tanpa mengurangi kecepatan mobilnya, Deva meluncur menuju rumah Oik. Ia sampai. Dilihatnya mobil Gabriel yang terparkir dihalaman.
'Kalau memang Oik masih hidup, gue akan bawa dia jauh dari lo ..'
Deva melangkah masuk, lalu membuka pintu tanpa permisi. Tak disangka, sekarang didepannya telah berdiri saingan abadinya. Deva tersenyum. Begitu juga dengan pemuda yang ada didepannya.
"Wah, sudah beberapa minggu sejak pertemuan terakhir kita .. Apa lo sudah berubah menjadi orang yang lebih egois ?"
"Mau apa lo ke rumah gue ?!!"
"Gabriel, ingat .. Gue ini tamu .. Bokap lo pasti negur lo, kalo ada tamu yang nggak disuruh masuk rumah .."
"Tutup mulut lo ! Sekarang apa mau lo ?"
"Yaah, kalau gitu gue langsung to the point .. Gue mau ketemu Oik .."
"Nggak gue ijinin .."
'Jadi yang Rio katakan memang benar ..'
"Gabriel, lo beri ijin atau nggak, gue akan tetap ketemu dia .."
"Deva, gue udah peringatkan lo .."
"Gue nggak peduli sama lo .. Gue akan tetap ketemu dia .. Gue akan bawa dia jauh dari lo !"
"Langkahi dulu mayat gue !"
"Gue nggak akan pernah kalah dari lo .."
"Tapi 5 tahun yang lalu, lo kalah dari gue .."
"Kali ini gue nggak akan kalah .. GUE AKAN REBUT OIK DARI LO !!"
"Dev, ingat ? Lo selalu kalah dari gue .."
"Oh ya ? Kali ini lo akan hadapi Deva yang berbeda .. Karena gue sudah nggak peduli sama ancaman paman gue .. Gue akan lakukan apa yang gue mau !"
"Gue memang nggak peduli sama lo .. Tapi gue tau, ancaman paman lo itu serius .. Lo bisa .."
"Dibunuh ? Haha .. Gue nggak peduli .. Sekarang tujuan gue cuma satu .. Gue akan bawa Oik jauh dari lo .. Jauh dari mantan kelompok gue .. Terutama paman gue .."
Gabriel terdiam.
"Sekarang lo sadar kan ? Betapa berbahayanya kalau Oik ada didekat lo .."
Deva benar. Oik akan terancam bahaya kalau terus berada disisinya. Tetapi, Deva sama berbahayanya dengan pamannya. Ia tak mempercayainya.
"Lo tau kalau gue benar, tapi apa lo mau nyangkal lagi ?"
Gabriel diam. Memang tak ada yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa melakukan apa yang terbaik untuk Oik. Tetapi apakah itu berarti ia harus menyerahkan Oik kepada Deva ?
"Lo kalah, Gabriel .. Lebih baik, lo serahkan Oik ke gue .. Biar gue yang jaga dia .."
Tidak. Ini tak boleh terjadi. Deva tak mungkin mampu menjaga Oik. Lalu apa yang harus ia perbuat ?
"Gue akan bawa Oik .." Deva melangkah melewati Gabriel.
"Tunggu .."
Deva berbalik. Menatap Gabriel.
"Ada orang lain yang lebih bisa gue andalkan dari pada lo .. Gue akan percayakan Oik ke dia .."
"Maksud lo, para pengawal lo itu ? Haha .. Lo bercanda sama gue ? Mana mungkin mereka bisa melindungi Oik ?"
"Bukan mereka .. Tapi Obiet .."
"Siapa Obiet ?"
"Orang yang lebih baik dari pada lo .."
Deva menatap Gabriel penuh amarah. Ingin rasanya mendaratkan pukulan ke wajah tenangnya.
"Deva ? Kakak ?"
Gabriel dan Deva mencari sumber suara.
"Oik ?" ucap mereka bersamaan.
"Ada apa ? Kok ribut ?"
"Nggak ada apa-apa kok, Ik .. Kakak cuma bicara sama Deva .."
Oik menatap Deva yang juga tak berhenti menatapnya.
"Dev, tumben lo ke sini ?"
"Rio bilang ke gue, kalau lo .. Kalau lo baik-baik aja .. Gue cuma mau pastikan itu .."
"Sekarang lo liat kalau Oik baik-baik aja kan ? Lo bisa angkat kaki saat ini juga .."
Deva menatap Gabriel tajam. Begitu pun sebaliknya. Oik yang menyadari bahwa suasana semakin memanas, langsung mengambil jalan tengah.
"Kak, jangan mulai lagi deh .. Mumpung Deva ada disini, gue mau ngobrol sama dia .."
Oik menatap kakaknya dengan tatapan memohon.
"Please kak .. Sebentar aja .."
Gabriel menghembuskan nafas panjang. Lalu menatap Deva yang menyunggingkan senyum kemenangan.
"Iya deh .."
Oik tersenyum. Ia langsung menarik lengan Deva menuju jembatan yang menghubungkan rumah utama dan ruang latihan. Mereka berhenti tepat ditengah jembatan. Oik melepaskan genggamannya. Lalu menatap Deva yang tersenyum manis untuknya.
"Makasih Dev .. Lo sudah bantu gue .. Makasih .."
"Sama-sama .. Gue senang lihat lo baik-baik aja .. Tapi, apa waktu itu lo minum grayanotoxin ?"
Oik tersenyum.
"Lo tau ?"
"Gue cuma nebak .. Gue akui, kalau lo memang gila, Ik .. Lo memang suka bikin orang khawatir .."
"Hehe .. Ozy juga bilang begitu .. Katanya, itu memang bakat gue .."
Angin berhembus perlahan. Menyibakkan rambut mereka berempat. Dua orang yang saling menatap ditengah jembatan. Seorang yang tengah berdiri mematung, mengawasi gerak-gerik laki-laki yang ada ditengah jembatan bersama adiknya. Seorang lagi yang tengah menatap punggung gadis yang membuatnya salah tingkah pagi ini.
"Oik ?"
"Hmm ?"
"Apa lo ingin melanjutkan rencana lo ?"
Oik tersenyum.
"Tentu .."
Deva menarik nafas panjang. Lalu menatap Oik lekat.
"Apa gue bisa buat lo berhenti dan jauh dari semua ini ?"
Oik menggeleng.
"Nggak ada yang bisa buat gue berhenti dari semua ini .. Meskipun ada ribuan orang seperti lo atau kakak .. Gue akan tetap lanjutkan semua yang gue mulai sampai selesai .."
Oik bersungguh-sungguh. Terlihat dari tatapan matanya yang mantap.
"Gue cuma bisa peringatkan lo .. Kalau paman gue, bukan orang yang gampang ditebak .."
"Gue tau .. Lo nggak perlu khawatir .. Gue pasti akan ba .."
BLUK.
Deva menarik Oik masuk kedalam pelukannya. Dua pasang mata yang melihat dari kejauhan seketika terbelalak. Tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Segala luapan emosi tergabung menjadi satu dan siap untuk meledak.
'Lancang lo, Dev !' batin Gabriel.
Tak seperti Gabriel, Obiet hanya diam walaupun sebenarnya ia juga ingin meledak. Hanya saja ia tak tahu mengapa ia tak suka bahkan sangat benci ketika melihat adegan itu. Jantungnya berdebar menyakitkan. Sesak. Mengapa ia jadi seperti ini ?!!
Gabriel melangkah menuju Deva. Ia telah mempersiapkan tenaganya untuk menghadapi Deva. Tetapi sedetik kemudian kepalan tangannya melemah. Otot-ototnya berelaksasi. Gabriel mengalihkan pandangannya. Lebih baik ia pergi dari pada terus disini dan melihatnya.
"Dev, lo nggak perlu khawatir .. Gue pasti bisa selesaikan semua ini .." Oik melingkarkan tangannya ke tubuh Deva.
"Gue percaya sama lo, Ik .. Tapi gue nggak bisa lihat lo seperti waktu itu .. Lo terlalu banyak berkorban .."
"Gue janji .. Ini yang terakhir .."
Deva diam. Ia semakin mempererat pelukannya.
"Gue nggak mau kehilangan lo .."
***
Langit malam yang berbintang. Saling mengedipkan cahaya, seperti mengucap salam kepada yang lainnya. Bulan pun turut menyumbangkan senyumnya. Sangat indah. Harmoni malam yang cantik. Oh, betapa bahagianya mereka. Bisa berkumpul bersama. Berkumpul bersama untuk memeriahkan langit malam. Menerangi bumi dengan cahayanya. Cahaya semu.
Sama seperti dirinya. Semakin lama, cahaya semunya akan terobek. Menampakkan cahaya aslinya yang kian lama, kian meredup. Kalau saja Oik tak ada disisinya, pasti sudah sejak lama ia akan menjadi bintang mati. Bintang yang kehilangan sinarnya. Bintang yang meredup. Ya, itulah yang akan terjadi. Tetapi belum. Selama Oik ada disisinya ia akan kuat. Ia akan terus bersinar. Oleh karena itu ia tak akan membiarkan Deva mengambilnya. Tak akan pernah.
"Kakak ? Belum tidur ?"
"Oik ? Belum, kakak nggak bisa tidur .."
Oik duduk disamping kakaknya, lalu menatapnya.
"Kakak ada masalah ? Tentang Deva ?"
Gabriel diam. Ia tetap menatap langit.
"Oik ?"
"Iya ?"
"Kalau ada orang yang minta lo untuk menjauh dari kakak, apa lo setuju ?"
Oik tersenyum. Kemudian ia menyandarkan kepalanya ke pundak Gabriel. Ini adalah kebiasaannya sejak kecil.
"Nggak akan ada yang bisa pisahin kita, kak .."
'Lagi pula gue sudah janji sama ayah kakak ..' batin Oik.
Gabriel tersenyum tipis.
"Tapi kalau kakak yang minta lo pergi gimana ?" ucap Gabriel sambil menatap mata bulat milik Oik.
"Buat apa kakak minta gue pergi ?"
"Sebentar lagi mereka datang .. Sepintar apapun papa berkelit, secerdik apapun lo sembunyikan kakak, mereka akan tau .." jawab Gabriel sambil menatap senyum rembulan.
Oik terdiam. Kakaknya telah menyadari bahwa dirinya terancam lagi.
"Itu semua percuma, Ik .. Yang mereka cari adalah kakak .. Jadi biarkan kakak yang hadapi mereka .."
Gabriel kembali menatap Oik.
"Oik, tolong berhenti melindungi kakak .."
"Nggak .. Gue sudah janji ke ayah kaka .. Maksudnya papa .."
Oik menunduk sebentar. Tetapi ia kembali menatap mata tajam kakaknya.
"Lagi pula, gue punya bukti kak .. Kali ini kakak harus percaya ke gue, Ozy, dan juga Deva .. Ini yang terakhir kak .. Gue janji .."
Gabriel diam. Ia tak suka nama Deva disebut-sebut. Ditambah lagi, ia harus percaya kepada Deva ? Tidak. Itu tak akan pernah terjadi.
"Kakak ? Tolong, percaya pada Deva sekali ini .."
Gabriel menggeleng.
"Nggak, Ik .. Kakak nggak bisa .. Lebih baik kakak yang menghadapi mereka sendirian dari pada kakak harus percaya pada 'dia' .."
Oik menghela nafas panjang.
"Cuma Deva yang mampu menjalankan perannya dengan baik .. Selama ini Deva berpura-pura masuk ke dalam organisasi mereka hanya untuk membantu gue, kak .. Dan serangan terakhir yang akan gue berikan, pasti dapat membuat semuanya lebih baik .. Tetapi gue butuh bantuan Deva .."
Oik menatap kakaknya penuh harap.
"Tapi, semuanya tak akan kembali sebelum bukti itu memiliki bukti yang lain .."
Oik tersenyum.
"Kakak memang bawel ya ? Sudah berapa kali gue bilang .. Kalau gue sudah dapat bukti itu .."
"Apa ??"
"Kakak terlalu sibuk mikirin Deva .."
"Oik, serius !"
"Sekarang bukti itu ada digenggaman gue .. Tinggal menunggu hasil dari pekerjaan Deva .. Semuanya akan menjadi lebih baik .. Bahkan akan kembali seperti semula .. Jadi, kalau kakak nggak bisa percaya pada Deva .. Apa kakak bisa percaya pada gue ?"
Gabriel kembali menatap langit.
"Kakak percaya .. Tapi kakak ragu kalau Deva bisa melakukan tugasnya dengan baik .. Pamannya pasti sudah mencium bau penghianatan dari Deva .."
"Kakak memang benar .. Lambat laun orang itu pasti akan menghabisi Deva .. Hanya saja orang itu selalu memakai trik yang sama .. Menghabisi dengan cara perlahan dan pada titik tertentu, ia akan mencabut nyawa dengan paksa .. Cara yang sama seperti yang dia lakukan pada kita, Ozy, dan juga .."
"Obiet .." potong Gabriel.
"Kakak sudah tau ?!!"
Gabriel mengangguk.
"Bahkan sebelum papa menghilang 7 tahun yang lalu .."
"Selama itu ?!!" Oik terbelalak tak percaya.
Gabriel mengangguk pasti.
"Ingat, kalau setiap tahun kakak selalu pergi ke Surabaya ?"
Oik mengangguk.
"Itu karena kakak mencari Obiet .."
"Untuk apa ?"
"Papa yang minta kakak mencari Obiet dan juga untuk .."
Gabriel diam. Ia menunduk.
"Untuk melepas kangen kakak pada .. Pada mama .."
Oik ikut menunduk. Ia ingat kejadian 9 tahun yang lalu. Dimana hari itu adalah hari terakhir ia melihat ibu angkatnya.
"Kakak ?"
Gabriel tak menggubrisnya. Ia tetap menunduk. Oik menatap kakaknya. Ia tahu bahwa kakaknya selalu sedih jika mengingat tentang ibunya. Oik menghela nafas panjang. Kemudian ia meraih kepala Gabriel dan meletakkannya di pundaknya dengan lembut.
"Kakak nggak boleh lupa kalau disini masih ada gue .. Kakak harus kuat .. OK ?"
Gabriel tersenyum lebar.
"Makasih, Ik .. Lo memang sumber tenaga kakak .."
Senyum keduanya mengembang. Saling menguatkan. Saling meyakinkan. Senyum tulus yang memiliki kekuatan melebihi ketakutan yang mereka miliki. Hanya saja senyuman itu tak dimiliki pemuda yang tengah berdiri mematung didepan pintu kamarnya sambil menatap sepasang kakak beradik palsu. Ya, kakak beradik palsu. Itu anggapannya selama ini. Setiap melihat mereka bersama, ia merasakan ada suatu luapan emosi yang ingin melompat keluar dari tubuhnya. Sama seperti saat ini. Perasaan itu mulai bergejolak meminta keluar. Membuat dadanya sesak.
'Ada apa denganku ?'
Scene demi scene terputar kembali di otaknya. Oik dan Gabriel. Oik dan Deva. Oik dan Gabriel lagi. Membuatnya semakin tersiksa.
'Apa aku cemburu ?'
Ia tertawa kecil.
'Tapi untuk apa ? Toh aku nggak suk ..'
Jantungnya berdebar makin hebat.
'Nggak .. Mana mungkin aku .. Aku .. Mana mungkin aku suk ..'
Ia mengacak-acak rambutnya. Berusaha meminta otaknya kembali berpikir jernih.
'Nggak mungkin aku suka sama dia .. Nggak mungkin .. Ini nggak boleh terjadi ..'
Ia menatap kakak beradik palsu itu dengan tatapan nanar. Sesuatu dalam dirinya bergejolak semakin kuat. Membuatnya takluk tanpa perlawanan.
"NGGAK MUNGKIN !!" jeritnya frustasi.
Ia berlari memasuki kamarnya dan menyebabkan sepasang kakak beradik itu menoleh, menatap lorong yang kini telah kosong.
***
Obiet bergidik ketakutan. Ia memegang sabuk pengamannya dengan erat. Sesekali ia melirik ke arah kursi pengemudi untuk melihat wajah gadis itu. Tampaknya ia tak sehat. Berkali-kali ia memegang kepalanya. Mungkin karena pusing.
CIITT.
BUKK.
Kepala Obiet teratuk dasbor. Sedikit sakit. Tetapi ia tak apa. Sambil menggosok keningnya, ia menatap gadis disebelahnya. Kaget. Gadis itu tertunduk di atas stang setir. Kedua tangannya masih memegang stang setir. Rasa khawatir mulai menyelimuti Obiet. Tangannya terulur. Mencoba menggapai tubuh gadis itu.
"Oik ?"
Ia memegang pundak Oik dan sedikit menggoyangnya.
"Oik ? Oik ?" panggilnya lagi.
Tubuh Oik mulai bergerak. Ia memegang kepalanya. Lalu menghempaskan tubuhnya ke kursi pengemudi.
"Oik, kamu nggak apa-apa ?"
Obiet mengulurkan tangannya, hendak memegang kening Oik.
PLAK.
Oik menampik tangan Obiet.
"Jangan bantu gue .."
Obiet menarik tangannya kembali.
"Kamu sakit ?"
Oik menggeleng.
"Seminggu ini gue insomnia .. Bahkan kemarin gue nggak tidur semalaman .."
Oik kembali memijat keningnya. Tak mempedulikan Obiet yang menatapnya penuh kekhawatiran.
"Biar aku yang bawa mobilnya .."
"Apa ? Lo bisa ?"
Obiet mengangguk pasti. Dan akhirnya mereka berpindah posisi. Sekarang Obiet yang menyetir.
45 menit kemudian. Mereka sampai di parkiran mobil dengan raga yang selamat. Tetapi tidak dengan jiwa mereka. Jiwa mereka terguncang. Terutama Oik.
"Lain kali gue nggak akan pernah biarkan lo nyetir !! Dan jangan pernah sok bisa nyetir !! Lo bisa bunuh orang tau !!"
Obiet malah cengengesan. Sebenarnya ia bisa menyetir. Hanya saja ia menjadi merinding disko saat menyetir tadi. Mungkin karena ada Oik disampingnya.
"Ayo keluar .."
Obiet mengangguk. Lalu ia mengikuti Oik keluar dan berjalan disamping Oik.
"Gue mau ke Pak Dave sebentar .. Ada tugas yang harus gue kumpulkan .. Lo langsung masuk aja .."
Seperti biasa, tanpa mempedulikan tanggapan Obiet, ia masuk ke ruang dosen. Obiet mendengus kencang. Kemudian ia mulai melangkah sebentar tetapi kembali berhenti. Ia memutuskan untuk menunggu Oik. Ada ide yang tiba-tiba muncul di otaknya. Mungkin ide gila. Tetapi ia suka idenya.
Lama ia menunggu. Sekitar setengah jam. Ia duduk jongkok sambil menunggu Oik.
KLIK.
Obiet segera berdiri. Ditatapnya Oik yang tengah berdiri dengan tatapan heran. Obiet tersenyum.
"Lo masih disin .."
Obiet meraih tangan Oik. Menggenggamnya dengan erat. Sehingga Oik tak bisa melepaskannya. Obiet menyeret Oik. Mengajaknya menyusuri koridor kampus menuju ruang auditorium yang sepi. Obiet membuka pintu auditorium yang tak terkunci dan masuk ke dalam. Ia melepaskan gengamannya, melemparkan senyum tipis untuk Oik, lalu melangkah menuju panggung auditorium. Oik menatap Obiet yang kini sedang mencoba menyingkap kain putih dari suatu benda besar di atas panggung. Piano. Oik makin heran ketika Obiet menaikkan sebuah sofa tunggal ke atas panggung dan meletakkannya didekat piano itu. Obiet melambaikan tangan kepada Oik.
"Oik, sini !!" panggilnya.
Entah apa yang Obiet rencanakan. Sekarang Oik melangkahkan kakinya ke atas panggung.
"Mau apa ?"
Obiet tersenyum.
"Duduk .." jawab Obiet sambil menunjuk sofa yang ia bawa tadi.
Oik menurutinya. Kini ia duduk manis diatas sofa empuk yang biasa digunakan para dosen ketika ada seminar di auditorium. Obiet tersenyum lebar. Kemudian ia duduk dibangku kecil yang ia seret dari bawah piano.
"Mau dengar lagu yang bisa buat insomnia hilang ?" tanya Obiet.
Oik mengangguk pelan. Sedikit tidak yakin pada kata hatinya.
'Obiet mau nyanyi ? Buat gue ??'
Obiet masih dengan senyumnya. Ia mulai memainkan jari-jarinya diatas tuts. Begitu lincah. Oik menatap Obiet yang tengah memejamkan matanya, mencoba menghayati lagu yang akan ia bawakan.
"If you are not the one then why does my soul feel glad today .. If you are not the one then why does my hand fit yours this way .. If you are not mine then why does your heart return my call .. If you are not mine would I have the strength to stand at all .. I never know what the future brings, but I know you are here with me now .. We'll make it trough and I hope you are the one I share my life with .."
Oik ikut memejamkan matanya. Menikmati setiap alunan nada yang dibawakan Obiet.
"I don't wanna run away, but I can't take it, I don't understand .. If I'm not made for you, then why does my heart tell me that I'm .. Is there anyway that I can stay in your arm .."
Obiet membuka matanya. Tinggal sentuhan terakhir untuk lagunya. Ia melirik ke arah Oik. Obiet mematung mendadak. Oik tak ada di tempat duduknya.
'Kemana dia ?'
Apa ia terlalu asyik menghayati lagunya sehingga ia tak menyadari kalau Oik pergi ?
"Biet, kok berhenti ?"
TEEENGG.
Jari-jarinya menghentak tuts piano bersamaan karena kaget. Obiet menoleh, mencari sumber suara. Ia melihat Oik yang tengah duduk dipinggir bangkunya.
"Oik ? Kamu nggak tidur ?"
Oik menatap Obiet.
"Gimana gue bisa tidur kalau suara lo .. Eee, kalau suara lo .."
"Suaraku kenapa ?"
Oik mengalihkan pandangannya ke piano hitam yang ada didepannya.
"Kalau suara lo itu sayang untuk dilewatkan .."
"Maksud kamu, suaraku bagus ?" tanya Obiet sambil menyunggingkan senyumnya.
Oik bingung sendiri.
"Eee, gimana ya ?? Ehm, mendingan lo main instrumen aja deh .."
Obiet manyun seketika.
'OK ! Aku akan tunjukkan kalau hanya dengan instrumen ini kamu akan tertidur ..'
Jari-jari Obiet mulai menari diatas tuts piano. Memainkan instrumen andalannya. Heaven. Obiet memejamkan matanya. Mencoba berkonsentrasi kembali dan mulai menghayati.
Oik ikut memejamkan matanya. Damai. Itu yang ia rasakan. Sedikit demi sedikit otot-ototnya kembali relaks. Mungkin instrumen 'Heaven' ini yang akan membawanya masuk ke dalam alam mimpi.
Heaven tiba di klimaksnya. Obiet semakin berkonsentrasi. Oik semakin relaks, ia seperti terhipnotis.
BLUK.
'Nyaman ..' batin Oik.
Obiet berhenti bermain. Ia mematung lagi. Jantungnya kembali berpacu seperti saat itu. Obiet menatap Oik yang tengah terlelap dipundaknya. Sangat lama. Degup jantungnya kembali mengingatkan akan pertanyaannya. Pertanyaan tentang hatinya.
'Apa aku suka sama kamu ?'
Obiet menatap Oik lekat-lekat dan berusaha meyakinkan hatinya tentang perasaannya belakangan ini.
"Aku .. Aku bernar-benar suka .. Atau mungkin .. Cinta .."
Obiet mengelus rambut Oik dengan lembut. Ia menghela nafas panjang.
'Kamu itu anak Lex .. Tapi ..'
"Doushite, kimi wo suki ni natte shimattan darou ?" ujar Obiet sambil memukul keningnya.
***
Home sweat home. Disinilah ia. Duduk santai sambil menikmati tehnya. Ia tertawa kecil. Menertawakan dirinya yang bolos ke kantor hanya karena ia memiliki firasat yang kuat bahwa siang ini akan ada sesuatu yang
terjadi di rumah ini. Entah apa itu. Yang jelas sekarang ia sedang menunggu hal itu terjadi. Baru beberapa detik ia menyeruput tehnya, terdengar suara langkah kaki di luar rumah, sedang menaiki tangga. Ia berdiri, melangkah menuju pintu. Ia mempersiapkan tenaganya. Tangannya mengepal kuat. Ia membuka pintu.
SREEK.
Ia mematung. Perlahan kepalan tangannya melemah. Sedikit demi sedikit badannya lemas tanpa sebab. Ia menatap gadis yang ada didepannya dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Gadis itu tersenyum manis.
"Permisi .. Maaf, saya mengganggu ya ?"
Gabriel menggeleng. Gadis itu tersenyum lagi. Kemudian ia langsung meraih tangan kanan Gabriel untuk menjabatnya.
"Perkenalkan, saya Sivia .. Saya dari Surabaya .." ujar gadis itu sambil menggoyangkan tangan Gabriel.
"Ga .. Gabr .. Gabriel .."
Sivia tersenyum lebar.
"Ehm, saya mau tanya .. Apa Obiet tinggal disini ?"
Gabriel mengangguk lagi.
"Yes, berarti aku nggak nyasar !!" ucap Sivia sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
Gabriel tersenyum melihat tingkah laku Sivia.
"Ehm, jadi begini .. Sebenarnya saya ini temannya Obiet .." jelas Sivia kepada Gabriel.
"Jadi kamu datang ke Jakarta, cuma untuk ketemu Obiet ?"
Sivia mengangguk pasti. Lalu ia mengangkat kopernya.
"Boleh saya bertemu Obiet sekarang ?"
"Dia kuliah .. Belum pulang .."
Sivia berubah menjadi lesu. Gabriel tak tega melihatnya.
"Tunggu didalam aja .."
Wajah Sivia kembali cerah.
"Boleh ?"
Gabriel mengangguk. Sivia kembali mengangkat kopernya dengan semangat. Gabiel mempersilahkan Sivia masuk. Sama seperti Obiet saat masuk ke dalam rumah pertama kali, Sivia pun berbengong ria.
"Ayo masuk .. Lepas sepatunya ya .. Lalu pakai sandal itu .."
Sivia mengangguk paham. Ia melepas sepatunya dan memakai sandal rumah. Kemudian ia mulai mengikuti Gabriel masuk ke ruang keluarga.
"Silahkan duduk .."
Sivia melempar senyum manisnya sebelum duduk bersila diatas bantal tipis. Gabriel mati-matian menahan tawa melihat tingkah laku Sivia. Kemudian ia duduk bersebrangan dengan Sivia. Tentu saja dengan cara duduk yang benar.
"Kenapa tertawa ?" tanya Sivia.
"Ehm, maaf .. Nggak ada apa-apa kok .."
Sivia memperhatikan dirinya. Tak ada yang salah dengan bajunya. Apa rambutnya ? Sivia menatap Gabriel. Meminta jawaban.
"Nggak ada apa-apa kok, Siv .. Anggap aja rumah sendiri .." jawab Gabriel sambil tersenyum.
Sivia tersenyum malu-malu.
"Ehm, kalau begitu .. Boleh aku minta milkshake ? Yang rasa strawberry ya .."
***
Oik mendengus sekencang-kencangnya. Lalu menekan tombol remot televisi sekeras mungkin. Mengganti saluran demi saluran, tak sabaran.
"Oik, matikan televisinya .."
Oik berhenti menekan tombol, menatap kakaknya sebentar, lalu mematikan televisinya.
"Sivia, kamu bisa tidur sekamar dengan Oik .."
Oik melotot.
"Bolehkah ?" tanya Sivia dengan nada riang dan membuat Oik semakin melebarkan kelopak matanya.
Gabriel melempar senyum tipis kepada Oik sebelum ia mengangguk pasti dihadapan Sivia. Sivia tersenyum manis. Tetapi bagi Oik, senyum itu seperti senyum kemenangan yang menyindir dirinya. Oik mendengus kencang. Kesal dengan kakaknya.
'Emang ini tempat penampungan ?? Sial banget gue hari ini !!'
Oik melempar pandangan ke semua orang yang duduk di ruang keluarga. Matanya tertuju kepada Obiet yang kini sedang menyunggingkan senyum untuknya. Oik menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kembali teringat tentang kejadian 2 jam yang lalu. Dimana Obiet membopongnya menuju mobil karena ia tertidur. Tetapi ia terbangun ketika mereka menyusuri koridor. Mungkin tak akan ada masalah jika koridor kampus sepi. Namun kenyatanya koridor kampus tak pernah sepi. Hingga rusaklah citra yang selama ini ia bangun. Citra sebagai mahasiswi paling dingin seantero kampus. Oik kembali mendengus kencang.
'Kenapa gue bisa ketiduran ?!! Jangan-jangan si Obiet pasang obat bius ?!'
"Oik ?? Oik ?" panggil Gabriel.
"Apaa ?!"
"Antar Sivia ke kamarnya ya ?"
"Kamar gue kali kak !"
Gabriel meringis.
"Iya, kamar lo .."
Kakaknya memang keterlaluan.
'Gue tau kalo tipe cewek kakak itu seperti Sivia .. Tapi bukan berarti kakak bisa lupa sama adiknya sendiri kan ??!'
Oik memanyunkan bibirnya. Lucu, hingga Obiet terkikik melihatnya. Oik bangkit, lalu membawa koper Sivia menuju kamarnya.
"Eh, Oik .. Ndak usah .. Kamu nggak perlu repot-repot .. Aku bisa bawa sendiri .."
"Nggak apa-apa kok .." jawab Oik dengan senyum yang dipaksakan.
Anehnya Sivia tak menyadari hal itu. Ia malah tersenyum semakin lebar.
"Makasih Oik .. Kamu baik deh .."
Oik tersenyum kecut. Gabriel menahan tawa. Sedangkan Obiet, tertawa tanpa mengeluarkan suara.
'Lama-lama gue bisa gila kalau sekamar sama dia !!'
***
Kepulan asap rokok membumbung disekitar wanita itu. Ia berkacak pinggang didepan rumah targetnya. Ini tugas mudah baginya. Sudah ribuan kali ia melakukan tugas ini. Bahkan mungkin ia adalah spesialis membakar hati. Ia tersenyum sinis. Kemudian ia mulai menaiki anak tangga sambil menghisap rokoknya lagi.
SREEK.
Ia membuka pintu dan mulai melangkah masuk tanpa melepas sepatu hak tingginya. Matanya berkeliling. Sepertinya tak ada yang berubah dari rumah ini. Rumah ini masih sama seperti 11 tahun yang lalu, saat pertama kali masuk ke rumah ini.
'Dimana kamar anak itu ?'
TAP TAP.
Ia melangkah ke lorong kanan, lalu membuka salah satu dari dua pintu.
SREEK.
"Akhirnya anda datang juga .."
Wanita itu menyipitkan mata. Menatap sosok gadis yang tengah memunggunginya. Ya, ia kenal gadis ini. Gadis yang hampir saja ia bunuh, 11 tahun yang lalu.
"Kamu pasti Oik ?"
Gadis itu membalikkan badannya. Menatap lekat wanita yang ada dihadapannya.
"Iya, saya Oik .."
"Lama tak jumpa .. Apa kabar ?"
"Baik .. Sudah sebelas tahun sejak kejadian itu .."
Wanita itu menghisap rokoknya.
"Ya, saat itu saya berniat untuk membunuhmu .."
"Tetapi urung anda lakukan .. Mengapa anda tak menghabisi saya seperti yang dilakukan suami anda terhadap orang tua saya ?"
"Ternyata kau sudah tau siapa pembunuh ayahmu .. Kau memang lebih pintar dari dugaan awal .. Yaah, waktu itu kau masih kecil dan sangat lucu .. Rasanya sayang jika membunuhmu saat itu .. Jadi saya menitipkanmu ke panti asuhan .."
"Oh ya ?"
Wanita itu tersenyum.
"Ya, setelah itu suami saya marah besar dan menyuruh saya kembali ke panti asuhan untuk mengambilmu .. Sayangnya kau sudah diadopsi oleh Lex .."
"Benar .. Oleh karena itu saya sangat berterima kasih karena anda tidak membunuh saya .."
Wanita itu kembali menghisap rokoknya yang tinggal seperempat.
"Tetapi belakangan ini saya menyesal karena tidak membunuhmu saat itu .. Ternyata kau lebih merepotkan dari yang kami kira .."
"Jadi anda datang untuk menuntaskan misi anda ?"
Wanita itu menjatuhkan putung rokoknya ke lantai, lalu menginjaknya.
"Mungkin .. Walaupun sebenarnya masalah kami tidak ada hubungannya denganmu .."
"TIDAK ADA HUBUNGAN ??!! Anda pikir saya juga tidak tau apa yang anda lakukan terhadap semua saham milik alm. ayah saya ?"
Wanita itu kembali tersenyum.
"Well done .. Ternyata memang benar apa yang dikatakan suami dan anak saya, Rio .. Saya memang tak bisa berlagak bodoh didepanmu .. Tetapi saya sarankan kepadamu nak .. Ketika kau mulai berurusan dengan kami, itu berarti kau sedang mempertaruhkan nyawamu sendiri .."
Oik tertawa kecil.
"Saya telah memutuskannya sejak berumur 10 tahun .. Dan saya telah berucap sumpah dihadapan makam kedua orang tua saya bahwa saya akan menuntaskan semua ini .."
"Lalu Lex yang melatihmu ? Melatihmu untuk melindungi anaknya yang pengecut ?"
"KAKAK BUKAN ORANG YANG PENGECUT ! Lagi pula itulah satu-satunya cara agar dapat mengalahkan kalian .. Setidaknya pewaris saham tertinggi, masih hidup hingga sekarang .."
Wanita itu tertawa. Sangat melengking.
"Begitukah ? Namun sayangnya kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi .. Kami tidak akan kalah dari bocah kecil seperti kamu dan temanmu yang imut itu, Ozy .."
TAP TAP.
Terdengar langkah kaki menuju kamar Oik. Satu orang. Bukan. Dua orang.
"Oik ?" kepala Obiet muncul diambang pintu. Diikuti dengan kepala Sivia.
Oik memalingkan wajahnya. Obiet menatapnya sebentar, lalu menatap wanita yang memakai pakaian serba hitam dihadapan Oik dengan dahi yang mengkerut. Wanita itu juga menatapnya. Kemudian ia melangkah mendekati Obiet.
"Wah, sekarang kamu sudah besar ya ?"
Obiet bingung.
"Kamu Obiet, bukan ?"
Obiet mengangguk pelan.
"Anda siapa ?"
Wanita itu hanya tersenyum, lalu menyibakkan beberapa rambut Obiet yang menutupi kening Obiet dengan jemari lentik miliknya. Obiet sedikit berjingkat, kaget.
"Mata dan alismu mirip dengan ayahmu .."
"Anda kenal ayah saya ?"
Wanita itu kembali tersenyum. Lalu melepaskan jemarinya dari kening Obiet.
"Ya, kami adalah sahabat baik .. Saya, ayahmu, ibu Ozy, ayah Oik, dan juga Lex .."
Kening Obiet mengkerut.
"Ayah Oik ? Lex ? Maksudnya ?"
Wanita itu menampakkan ekspresi terkejut. Menyebabkan Oik melotot ketika melihatnya.
'Hah, menjijikkan !' batin Oik.
"Ayah Oik, ya ayah Oik .. Lex, ya Lex .. Mereka dua orang yang berbeda .."
"Dua orang yang berbeda ??"
Wanita itu mengangguk pasti.
"Setelah ayah Oik meninggal, Lex yang mengadopsi Oik .."
Obiet mematung. Jantungnya berdegup tak karuan. Emosinya meluap-luap. Tangannya mengepal kuat untuk menahan emosinya. Ia menatap Oik tajam.
"Jja .. Jadi .. Yang anak angkat itu .."
"Oik .. Ya, Oik memang anak angkat Lex dan Gabriel adalah anak tunggal Lex .."
Obiet menatap Oik semakin tajam. Sedangkan Oik hanya membalasnya dengan tatapan datar. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi. Tetapi ia telah memperhitungkan segala hal. Termasuk yang satu ini.
Wanita itu tersenyum penuh kemenangan.
"Hmm, sebenarnya saya tidak ingin membicarakan hal ini .. Mungkin sudah terlambat karena pada saat itu saya pergi ke Inggris, tetapi setidaknya saya telah mengucapkannya .."
Obiet kembali menatap wanita didepannya.
"Obiet, saya turut berbela sungkawa atas kematian kedua orang tuamu .."
Wanita itu memeluk Obiet. Agak lama. Oik tahu bahwa wanita itu membisikkan sesuatu kepada Obiet. Karena terlihat jelas perubahan ekspresi Obiet setelah wanita itu melepaskan pelukannya.
"Yaah, saya tak bisa berlama-lama disini .. Karena saya ada urusan lain .. Kalau begitu saya permisi .."
Wanita itu pergi meninggalkan kamar Oik sambil tersenyum penuh kemenangan kepada Oik. Oik mendengus kencang. Kemudian ia menatap Obiet yang dari tadi tak merubah ekspresi maupun posisinya.
'Mungkin bisikan iblis tadi sedang bereaksi didalam otaknya ..' batin Oik.
Oik melirik ke arah Sivia yang mematung disamping Obiet. Oik yakin bahwa Sivia bingung dengan percakapan yang baru saja berakhir. Oik menghela nafas panjang sambil menutup matanya.
'Akhirnya saat ini datang juga ..'
Oik membuka matanya. Agak kaget ketika Obiet berada didepannya dengan ekspresi yang tak terbaca.
"Ikut aku !"
Obiet mencengkram tangan Oik lalu menyeretnya. Mereka menuju jembatan. Tetapi Oik berhasil melepaskan tangannya dari cengkraman Obiet sebelum menginjak jembatan.
"Lo pikir gue kambing ?!! Main seret aja !!"
Obiet tak menggubrisnya. Ia tetap menatap Oik tajam.
"Apa semua itu benar ? Apa yang dikatakan wanita itu benar ?!!"
"Iya .. Memang benar .. Lalu ?"
Nafas Obiet naik turun. Jantungnya tak berhenti berpacu.
"Kamu .. Jadi kamu berbohong saat kita membuat perjanjian ??"
"Iya .."
"Untuk melindungi kakak kamu itu ?? Supaya ketika suatu hari nanti aku mengetahui segalanya, aku tetap tak bisa menyentuh dia ?!!"
"Bingo ! Ada perjanjian atau tidak, gue akan tetap buat lo jauh dari kakak .."
Obiet tertawa.
"Oik, jangan munafik ! Bukannya kamu juga ingin balas dendam kepada Lex, karena dia telah membunuh ayahmu ?!!"
Oik tersenyum.
"Jadi ini yang dia bisikkan ke lo ? Hah ! Murahan banget ! Lo percaya pada iblis dengan lidah bercabang itu ?!! Memangnya lo tau siapa dia ?"
Obiet diam.
"Nyokapnya Rio !!"
"Apa ?!!"
"Hei, Obiet Panggrahito .. Gue ingin berbagi kisah sedih dengan lo .. 13 tahun yang lalu orang tua Ozy kecelakaan dan mereka meninggal .. 11 tahun yang lalu, giliran ayah gue yang terbunuh .. 9 tahun yang lalu, orang tua lo juga terbunuh .. Apa lo tau siapa dalangnya ??"
"Lex .."
"Bukan .. Tetapi wanita yang baru saja lo temui beserta suaminya .."
"Nggak mungkin !! Lex itu pembunuhnya !!"
"Mereka memfitnah Lex .. Lex ada di Jakarta untuk melatih gue saat orang tua lo terbunuh .. Dan seharusnya 7 tahun yang lalu adalah giliran Lex .. Tetapi ternyata mereka gagal dan Lex menghilang .. 5 tahun yang lalu, orang tua Deva juga mereka bunuh .. Tapi sampai sekarang gue belum tau pasti, apa penyebabnya .."
Obiet terdiam.
'Ini seperti rentetan pembunuhan berencana !!'
"Obiet, apa lo nggak merasa familier dengan suara wanita tadi ?"
Obiet berpikir keras. Ia mengingat semua suara yang sekiranya mirip dengan suara wanita itu. Tiba-tiba matanya terbelalak. Nafasnya kembali tak beraturan.
"Sekarang lo ingat dia ? Suara wanita yang mendampingi orang yang mengaku bernama Lex saat pembunuhan kedua orang tua lo .. Benar ?"
Obiet jatuh tertunduk. Mengapa disaat ia begitu dekat dengan pembunuh orang tuanya, ia malah lengah ! Oik menatap Obiet dengan iba.
"Awalnya gue ingin lo tau semua itu .. Tapi karena gue belum punya bukti yang cukup dan gue nggak percaya pada mental lo, jadi urung gue lakukan .."
Obiet mulai memukul lantai kayu dengan kepalan tangannya. Ia sedang mengutuk dirinya sendiri.
"Jangan siksa diri lo .. Biet, bangun ! Gue janji, gue akan menyelesaikan semua ini secepat mungkin .."
Obiet bangkit. Ia masih menunduk.
"Kali ini gue nggak bohong .. Mungkin minggu-minggu ini mereka akan menyerang kita bertubi-tubi .. Jadi lo juga harus siap .."
“Kalau lo masih belum bisa percaya pada gue .. Ikuti kata hati lo ..”
Oik melangkah menjauh menuju ruang latihan. Walau agak berat, ia tahu Obiet harus lebih kuat. Minggu ini adalah minggu pertaruhan nyawa. Siapa pun yang tak dapat menguasai permainan, dialah yang kalah. Dan Oik tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.
Dari kejauhan Sivia menatap Obiet dan Oik bergantian. Ia bingung dengan semua hal yang terjadi disini dan mengapa Obiet tak bercerita kepadanya ? Sivia memilin t-shirtnya. Ia tak tahu apa yang harus ia perbuat.
"Sivia ? Kok disini ?" tegur Gabriel.
"Eh, kakak .. Aku cuma .. Cuma lihat mereka aja .." jawab Sivia sambil menunjuk ke arah Obiet dan Oik.
Gabriel menyipitkan mata untuk menangkap ekspresi keduanya.
"Ada yang datang selama kakak keluar beli makanan ?"
Sivia mengangguk.
"Ada, wanita berambut panjang dan berpakaian serba hitam .."
Gabriel kembali menatap Obiet yang masih berdiri menunduk, lalu berganti menatap Oik yang tengah berdiri mematung diambang pintu ruang latihan.
'Apa ini sudah dimulai ?'
***
Langit malam masih berhiaskan senyum rembulan. Bintang tetap berkelap-kelip seperti biasanya. Angin malam tetap berhembus semilir. Seorang gadis terduduk lesu sambil menatap lukisan langit malam. Insomnianya belum sembuh betul. Sehingga lebih baik ia keluar dan menikmati indahnya langit malam.
"Jadi insomniamu belum sembuh juga ?" tanya pemuda yang tiba-tiba duduk disampingnya.
Gadis itu mengangguk.
"Apa perlu aku bernyanyi lagi ?" tanya pemuda itu.
Gadis itu menggeleng.
"Gue nggak akan pernah bisa tidur kalau dengar suara lo .."
Pemuda itu tertawa kecil ketika mendengar jawaban gadis itu.
Hening. Tak satupun dari mereka yang berniat membuka percakapan. Hingga akhirnya pemuda itu mengalah.
"Ik, aku minta maaf soal tadi .."
"Bukan salah lo, Biet .."
Obiet menatap gadis disebelahnya.
"Aku percaya, kalau kamu bisa menuntaskan segalanya .."
"Lalu ?"
"Selama berjam-jam aku merenung .. Dan aku memutuskan untuk membantumu menuntaskan segalanya .."
"Nggak Biet .. Gue nggak butuh bantuan lo .. Cukup gue, Ozy, dan Deva yang mengurus mereka .."
"Mereka itu pembunuh orang tuaku .. Jadi mengapa aku tidak boleh ikut membantu ?!"
"Yang lo rasakan sekarang adalah dendam, bukan rasa ingin menuntaskan semua ini .."
Obiet menunduk. Oik memang benar, tetapi ada satu alasan lagi yang membuatnya ingin ikut campur.
"Aku ingin melindungi orang yang aku sayang .."
"Maksud kamu, Sivia ?"
"Via juga termasuk .. Tetapi ada seorang lagi yang tak bisa ku biarkan bergerak sendiri .."
"Meskipun begitu, gue nggak akan pernah biarkan lo ikut campur dalam urusan ini .. Cukup gue, Ozy, dan Deva yang .."
Obiet menutup mulut Oik dengan telapak tangannya.
"Berhenti berkata kau akan melakukan semua ini sendiri !"
Obiet menurunkan telapak tangannya dan menatap Oik tajam.
"Kau pikir, aku akan membiarkanmu bergerak sendiri ?! Kau pikir, aku akan diam saja melihatmu berjuang sendiri ?! Terlebih lagi kalau sampai kau terluka seperti waktu itu !!"
Oik memalingkan wajahnya. Tak berani menatap Obiet.
"Sudah banyak nyawa yang hilang karena masalah ini .. Gue nggak mau melihat nyawa lain yang melayang .. Jadi cukup gu .."
Obiet memegang dagu Oik, lalu mengarahkan wajah Oik untuk menghadapnya.
"Apa kamu mau tau, siapa orang yang ingin aku lindungi ?! Apa kamu mau tau, siapa orang yang ku sayang ?!"
Oik diam. Entah harus berkata apa. Perlakuan Obiet kepadanya memang agak aneh belakangan ini. Tetapi sekaranglah puncaknya.
"Kamu .. Kamu .. Kamu .." Obiet mengucapkannya dengan lantang dan mantap.
Oik menunduk. Ada perasaan seperti tersayat di hatinya. Sesak. Mengapa perasaan seperti ini yang ia terima ketika jelas-jelas Obiet menyatakan perasaannya ?
"Stop, Biet ! Stop ! Lo pasti bercanda !!"
Obiet menggeleng.
"Inilah kata hatiku .. Bukankah kamu sendiri yang menyarankan agar aku mengikuti kata hatiku ??"
Oik merasa semakin sesak. Jantungnya berdegup tak karuan. Tidak. Perasaan bersalah ini tidak boleh bersemayam dihatinya. Benar-benar tidak boleh.
'Nggak boleh .. Gue nggak bisa .. Kalau terus seperti ini, gue akan semakin lemah !!!'
"Cukup !! Perasaan lo itu, bisa buat gue semakin lemah !! Cukup Deva yang punya perasaan itu ke gue !!"
"Kalau Deva boleh, kenapa aku nggak ?!!"
"KARENA GUE NGGAK PERNAH BISA BALAS APA-APA !!"
Oik kembali tertunduk.
"Itu semua cukup menyiksa gue .. Gue selalu terkesan memanfaatkan dia .."
Obiet tetap menatap Oik dengan lembut.
"Apa kamu takut, kalau kamu juga terlihat memanfaatkan aku ?"
Oik tetap diam. Mimik wajahnya terlihat seperti orang yang sedang frustasi. Obiet tersenyum melihatnya.
"Orang yang mencintai dengan tulus, tak mungkin meminta imbalan yang berlebih .. Apalagi membuat orang yang dicintainya tersiksa karena perasaannya .. Itu yang akan aku lakukan .. Kenapa ? Karena aku suka dengan perasaan ini .. Aku yakin Deva juga memiliki pemikiran yang sama .."
"Justru karena itu gue semakin tersiksa ! Kalian selalu meminta jawaban dari gue ! Dan gue selalu bingung menentukan jawaban !"
Obiet kembali menampakkan senyum manisnya.
"Memang, kami akan meminta jawaban .. Karena sakit rasanya kalau tak pernah diberi kepastian .."
Oik menatap Obiet dengan pipi yang menggembung.
"Tuh kan ?!!"
Obiet tertawa pelan melihat ekspresi Oik.
"Kamu pasti akan menemukan jawabannya .. Ikuti saja kata hatimu .. Aku akan menunggu sampai saat itu tiba .. Tapi ingat ! Jangan pernah datang dan pergi tanpa pamit dari hatiku !!"
Obiet mengacak-acak rambut Oik yang kembali tertunduk setelah mendengar penjelasan Obiet.
"Biet, gue masuk dulu .. Insomnia gue udah hilang .."
Oik berdiri, berbalik, lalu mulai melangkah masuk ke rumah.
"Oik, tunggu !"
Obiet menggenggam tangan Oik.
"Bisa temani aku disini ? Sepertinya aku kena insomnia .."
Oik mendengus kencang. Lalu ia kembali duduk disamping Obiet.
"Tapi jangan salahin gue kalau misalnya .."
BLUK.
".. gue tidur .." Oik melanjutkan kalimatnya dengan pelan.
Oik menatap Obiet yang terlelap di pundaknya.
'KATANYA INSOMNIA !! KENAPA SEKARANG JADI LO YANG TIDUR !!'
"Dasar cowok !"
Susah payah Oik memindahkan kepala Obiet dari pundaknya. Oik berhasil menahan kepala Obiet diudara dengan kedua tangannya. Perlahan ia meletakkan kepala Obiet ke lantai.
"AAAAAARRRRRGGGGHHHH !!!" jeritan kakaknya menggema hingga keluar rumah.
"Kakak !!"
DUK !
"Aduh !!"
Obiet menggosok bagian kepalanya yang terbentur lantai karena dilepas Oik begitu saja.
Oik berdiri dan segera berlari ke dalam rumah.
"Oik ! Ada apa ?!!"
Oik berhenti, menatap Obiet sekilas.
"Kakak !!"
Oik kembali berlari, lalu masuk ke dalam kamar Gabriel.
"Kak Gabriel ?? Jangan-jangan mereka lagi .."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putihku
Novela JuvenilSore itu langit sangat merah. Tetapi tak semerah darah yang mengalir deras dari tubuh laki-laki paruh baya itu. Jerit histeris dari istrinya tak mampu menghentikan laju darah yang semakin deras. Sementara itu, terlihat seorang anak kecil yang sedang...