Kanvas & Ojek Online

30 5 0
                                    

"Apa-apaan ini!!" Aku memekik ketika melihat nyala api di belakang rumah. Ibu menatap api itu dengan tatapan kosong. Pandangannya beralih padaku dengan sorot kecewa. Aku menatap nanar sesuatu yang dilalap api itu. 5 buah kanvas yang susah payah kusembunyikan dari ibu dan 3 kotak cat warna itu sekarang sudah tak terlihat. Menjadi abu dan arang. Aku terduduk lemas demi melihat barang kesayanganku dibakar seperti itu. "Ibu, apa-apaan ini?!" Aku bertanya kalap pada ibu yang hanya mendengus kesal padaku.

"Kau itu maunya apa?" Suara ayah yang berat dari belakang membuatku mengalihkan pandangan dari ibu yang hanya membisu. "Ayah, kenapa ibu membakar semua peralatan lukisku?" Aku beralih menodong ayah untuk memberi penjelasan. Ayah hanya menegakkan kepala dan meminta aku dan ibu masuk. Aku menurut walaupun masih ingin bertanya.

"Sudah berapa kali ayah bilang, kamu itu anak perempuan. Lupakan keinginanmu jadi seniman! Kamu itu satu-satunya anak dari ayah dan ibu. Jadilah penerus yang baik!" Ayah dan ibu menyidangku di ruang tamu. Aku tertunduk. Tanganku mengepal menahan amarah. Masih terbayang kobaran api di belakang rumah tadi. "Lalu, aku harus bagaimana? Apa aku harus terus jadi boneka hidup yang terus menuruti perintah kalian? Kalian mau aku begitu?" Suaraku bergetar menahan emosi yang memuncak. Berapa hari yang lalu, pertengkaran tentang hal ini memang sudah terjadi. Dari penolakan hari itu, aku sudah bersabar. Namun sekarang, semuanya sudah kelewatan. "Nak, kapan kamu mengerti? Ini semua demi kebaikanmu." Ibu mencoba meluluhkan aku yang mematung di sofa.
"Apakah baik memupuskan cita-cita seorang anak?" Tanyaku lirih. Bagus. Semua hanya bisa diam. Kenapa? Kenapa mereka tak bisa jelaskan apapun jika disinggung tentang ini. Mereka hanya selalu menuntut. Tapi tak bisa berikan alasan yang patut. Aku tersenyum sinis dan melangkah keluar. Tak kuhiraukan panggilan ibu yang mencegahku.

Aku berjalan masuk ke sebuah gang yang berisi para seniman jalanan yang bekerja menjadi tukang lukis. Aku rajin kemari. Disini aku dapat banyak pengetahuan. Aku diajari banyak hal. Sejak kecil aku selalu tertarik dengan dunia senirupa. Lukis abstrak adalah favoritku. Terkadang disini ada juga seniman musik yang memainkan beberapa lagu dengan alat musik seadanya. Sangat menyenangkan. Aku suka keadaan disini. Walau terbilang kumuh, tapi tak pernah jadi masalah buatku. Aku kadang melepas stress dengan menari bersama mereka. Rasanya bebanku lepas. Menyanyi keras-keras pun tak jadi masalah. "Hai, paman. Aku datang!" Teriakku di depan salah satu selasar jasa lukis. Paman Barata adalah seniman termuda disini. Ia yang memperkenalkan aku dengan dunia lukis lebih luas dari yang aku tahu. "Hei, Ayu. Kau mau ikut membuat sketch hari ini? Aku sedang dapat banyak orderan. Jadi kurasa aku butuh bantuan." Paman Barata tersenyum ramah menyambut. Aku menerima tawarannya dengan senang hati. Langsung kusanggupi.

Tak terasa, hari mulai gelap dan aku harus segera pulang. Aku berhasil menyelesaikan 3 sketch. Aku segera pamit dan memesan ojek online. Sekitar 5 menit, aku sudah ada di atas motor ojek online. "Habis pesan jasa lukis ya, mbak?" Bapak ojek online separuh baya itu mengajakku ngobrol di jalan. "Ah, tidak. Saya hanya sering kesana. Senang disana," aku menjawab pertanyaannya. "Oh, begitu. Mbak nya sekolah jurusan apa?" Tanyanya lagi. "Saya baru cari smk perkantoran pak." Jawabku dengan sedikit tidak semangat. Mengingat itu bukan jurusan
Yang kuinginkan. "Kenapa tidak di sekolah senirupa, mbak?" Aku terdiam. "Itu karena orangtua tidak setuju, pak. Saya sudah mengincar sebuah sekolah senirupa namun ditolak keras. Bahkan, hasil saya menabung untuk membeli peralatan lukis sia-sia. Semua sudah dibakar habis," jawabku panjang lebar. "Saya heran kenapa orangtua saya tega melakukan itu." Keluhku tanpa sadar pada bapak itu. Bapak itu menatap lurus ke arah jalan sambil menjawab, "maaf mbak. Saya sependapat dengan orangtua mbak. Hidup ini keras mbak. Haha. Semua butuh uang. Dan seniman itu hanya beberapa saja yang bisa sampai jadi jutawan. Dalam realita kita sekarang, banyak orang beralih menjadi PNS. Mungkin mbak bisa jadikan bakat mbak hanya sebatas penyalur hobi saja dahulu. Sekali lagi, hidup ini keras. Kadang banyak impian harus dikorbankan." Aku tertegun mendengar penjelasan itu. Aku merasa terbuka pikirannya. Benar juga. Bapak ini jadi driver pun pasti karena keadaan hidup yang dinilainya keras. Pikiranku yang tadinya terasa sempit, sekarang terasa lebih lapang.
"Mbak masih sakit hati ya dengan peralatan mbak yang dibakar? Sepertinya wajahnya sedih sekali," bapak itu melihatku dari spion. "Tentu saja, pak. Saya benar-benar ingin belajar tentang seni lukis lebih dalam lagi." Aku tertawa hambar. "Bukankah tempat mbak tadi berdiri adalah tempat mbak belajar seni juga secara tidak langsung?" Skakmat. Aku tertegun untuk kedua kalinya. Ucapannya tepat sasaran. Benar. Tanpa kusadari aku juga sudah dapat banyak ilmu bahkan pengalaman. Tapi aku masih saja merasa belum puas. Mungkin ini hanya ambisi semata. Aku menatap takjub si bapak dari spion. "Ya balas dendam aja mbak kalo mbak sudah sukses nanti. Kalau mbak nanti punya gaji besar, belilah ratusan alat lukis semau mbak. Buat karya yang bikin orangtua mbak kagum dan percaya. Dan buatlah pameran sekalian jika perlu untuk melampiaskan impian mbak yang sempat harus dikubur." Bapak itu tersenyum lebar dan tertawa ringan. Tanpa sadar aku ikut tertawa. Hari ini banyak sekali pelajaran yang kudapat. Aku bersyukur sekali.

"Terimakasih, ya pak." Aku menyerahkan uang dan helm. "  Mbak, ini terlalu banyak uangnya," katanya sambil mengulurkan kembali uang dariku. "Tak apa. Itu balas budi saya untuk nasehat bapak yang mahal." kataku sambil tersenyum lebar. "Ah, nasehat saya bukan apa-apa. Tolong ambil kembaliannya, mbak. Saya harus profesional dengan ko pekerjaan saya." Ia tersenyum merendah. Aku akhirnya mengambil uang yang disodorkannya. Aku benar-benar kagum.

10 tahun sudah berlalu. Sejak aku jadi sekretaris di perusahaan ternama. Sekarang aku berdiri disini. Di sebuah gedung megah penuh dengan lukisan yang menempel di dinding. Di bawah sana, banyak sekali orang berkeliling menikmati lukisan yang tersaji. "Nak, sekarang kamu puas, bukan?" Usapan lembut di kedua bahuku membuatku menoleh dan tersenyum hangat. "Iya. Maaf ayah, ibu. Aku dulu egois pada kalian," aku memeluk mereka. "Tentu, nak. Kami tak ingin putri kami terjatuh di kerasnya hidup." Kata-kata itu membuatku teringat driver ojek online yang menasehatiku hingga aku menjadi sesukses ini sesuai dengan apa yang ia katakan.seandainya bisa bertemu lagi, aku ingin mengundangnya kemari. Membuktikan bahwa aku sudah membalas dendam. Dengan sebuah pameran di gedung megah ini.

The other side of life (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang