Ayah(?)

25 3 0
                                    

Aku ingin bertanya pada kalian. Apa kalian punya seorang ayah? Tentu punya. Jika tidak, tak mungkin kalian bisa ada di dunia. Apa ayah kalian ada disamping kalian? Jika ya, peluk mereka. Jika tidak, hubungi dan katakan kalian merindukannya. Apa ayah kalian baik? Mungkin iya. Aku ingin tahu sosok ayah seperti apa. Banyak yang bilang seorang ayah seperti pahlawan, motivator, sosok yang menginspirasi, dan sebagainya. Aku tak tahu. Jadi, sekali lagi aku bertanya, bagaimana seorang ayah di mata kalian? Bisa berikan jawaban?


"Ibu, ayah itu apa?" Aku yang masih kecil saat itu dengan polosnya bertanya begitu pada ibu. Haha, bodoh sekali. Aku masih ingat ibu dulu menjawabnya hanya dengan tersenyum. Ia hanya balik bertanya, "memang ada apa?" Dan aku menceritakan semuanya dengan ciri khas bicara anak-anak. Di hari itu, masih teringat dengan jelas, hari pertamaku masuk sekolah. Aku memang tak pernah merasakan rasanya diantar jemput orangtua. Ibu tak pernah memanjakanku dengan fasilitas yang ada. Ibu bilang, selama itu masih bisa kamu tempuh, tempuh dengan kakimu. Jika kau bergantung pada roda kendaraan, kakimu akan lumpuh. Tentu saja, aku menurut. Sekolah yang memang hanya dekat tak menyulitkanku sama sekali. Hanya saja, di masa rawan begitu, sudah berkali-kali aku diculik dan hilang. Tapi tidak apa-apa. Nyatanya, aku masih hidup sampai sekarang. Baik, kembali ke kejadian di sekolah. Singkat cerita bu guru menanyakan siapa nama ayahku, apa pekerjaannya, dan berapa umurnya. Saat itu di otakku hanya ada kata "AYAH" dengan tanda tanya besar. Apa itu? Siapa itu?semua pertanyaan langsung menyerangku. Aku hanya menggeleng bingung saat itu. Ah, memalukan haha. Bu guru sepertinya mengetahui sesuatu dan tersenyum mengusap kepalaku. Setelah kuceritakan kejadian di sekolah itu, ibu hanya kembali tersenyum dan berkata, "kau pasti akan mengetahui siapa Ayah itu suatu saat kau sudah dewasa." Saat itu aku hanya diam.



Seiring waktu berlalu, tak perlu menunggu aku dewasa, aku sudah tahu siapa itu yang dipanggil ayah. Teman-temanku selalu diantar jemput dengan seorang pria seumuran ibu dan mereka memanggilnya ayah, bapak, papa, papi, dan macam panggilan lainnya. Dari situlah aku mengerti. Dan tentu saja, pertanyaan segera menyergapku. Mengapa aku tak punya? Mengapa di rumah tak ada orang yang bisa kupanggil ayah? Apa hanya aku?



Aku memendam segala rasa penasaran dan hanya menganggap itu hanya keadaan yang berbeda. Yang memang sudah ditakdirkan. Namun, seperti kata orang, semakin dewasa kita, semakin waktu terbuang untuk memikirkan hal-hal yang terlupakan.


Aku terlahir tanpa ayah. Tapi aku lahir dari hubungan pernikahan yang sah. Hanya saja, orangtuaku memang ditakdirkan berpisah. Aku memang anak broken home, dan mungkin itu yang menyebabkan aku sensitif tentang kehidupan kekeluargaan. Bertahun-tahun aku menyembunyikan luka batin, memendam pertanyaan yang sebenarnya semakin hari semakin bercabang, menahan air mata kebingungan bagaimana harus bertindak. Aku memang membenci ayah. Membencinya yang meninggalkan tanggung jawabnya. Membencinya yang bahkan tak mau melihatku saat pertama kali muncul di dunia. Membencinya membiarkan ibuku melahirkan sendirian hanya ditemani dokter bedah dan pihak rumah sakit lainnya, saat ibu lain melahirkan dengan didampingi suaminya, membenci semua sifat kasarnya, membencinya yang mewariskan wajahnya padaku hingga mirip dengannya. Aku membenci semuanya. Namun, aku tak ingin durhaka.


Aku belum pernah melihat wajah ayah hingga saat ini. Aku takut jika suatu saat bertemu. Aku takut jika ia kembali dalam kehidupan ibu yang sekarang sudah sangat baik-baik saja. Namun dibalik rasa takut itu, aku tak dapat memungkiri keinginan untuk dipertemukan. Setidaknya untuk mencaci- makinya. Aku ingin ia tahu aku tumbuh besar tanpa kasih sayangnya. Aku masih bisa hidup walau tak pernah diasuh olehnya. Aku ingin bertanya padanya, mengapa menyakiti ibu? Mengapa ia tak menginginkanku? Mengapa ia tak ingin melihatku barang sekalipun seumur hidupku, Setidaknya jika aku masih hidup hari ini? Mengapa ia tak pantas untuk dipanggil ayah? Kenapa ia berbeda dengan ayah teman-temanku yang seperti pahlawan? Dan mengapa lainnya, ingin kulemparkan padanya. Aku ingin berteriak dan membentaknya, memukulnya, melampiaskan segalanya, melampiaskan rasa sakit, malu, tertekan, dicemooh orang, dituduh anak haram, disindir, dicaci, dan masih banyak lagi. Namun, kurasa aku tak bisa. Membayangkannya saja sudah membuatku gemetaran hebat. Bibirku hanya bisa terkunci. Aku hanya bisa membayangkannya. Menyakiti diri sendiri dengan memikirkannya.


Ayah, jika kau memang pantas kupanggil begitu, buktikan padaku. Hampiri aku. Karena sebesar apapun dosa ayah padaku, aku bahkan tak pantas mengatakan itu dosa. Tak ada agama yang mengatakan adanya orangtua yang durhaka. Maka dari itu, aku ingin tahu apa yang bisa kau lakukan untukku. Apa yang bisa kau ajarkan padaku. Seandainya kau tahu, aku bermain hujan sendirian saat anak lain bermain air bersama ayahnya. Aku belajar main sepakbola bersama teman disaat mereka sudah diajari oleh ayah mereka. Aku berjalan menyusuri pinggir sungai sendirian disaat anak lain digandeng tangannya oleh ayah mereka. Jadi, bisakah kau berikan secuil kasih sayangmu padaku? Setidaknya menikmati indahnya langit senja di teras bertiga? Sebagai keluarga yang "utuh"? Bisakah kita begitu? Kurasa tidak. Namun, semuanya kembali pada keputusan Tuhan. Aku tahu yang terbaik akan segera ditunjukkan padaku.




Begitu saja. Dan kalian yang melihat ini, cobalah berpikir. Jika kalian masih punya keluarga lengkap, coba dekap mereka. Singkirkan gengsi kalian. Kalian akan tahu pelukan terhangat adalah pelukan orangtua sejak kita lahir di dunia. Ingatlah, saat kita keluar dalam keadaan bingung ketika dilahirkan, tangan siapa yang langsung meraih kita, mendekap erat tubuh lemah kita untuk memberi kehangatan. Jika keluargamu sedang bermasalah, ingatlah cerita ini. Ingatlah bahwa masih ada yang lebih malang dari kalian. Menjadi broken home bukan hambatan untuk bahagia. Jika keluarga bermasalah, maka kita harus bisa menjadi alat perbaikan di dalamnya. Jika kau tak puas ketika ayahmu mengecewakanmu, bersyukurlah setidaknya ayahmu telah melakukan yang terbaik untukmu. Jika ayahmu tak baik untukmu, tuntunlah ia seperti ia menuntunmu dulu. Memang segalanya tak ada yang mudah. Namun, kita butuh tantangan untuk bertahan hidup, kan? Jika kita terbiasa tanpa masalah, kita tidak akan tahu seberapa dewasa kita mencari solusi memecahkan masalah. Asah kedewasaanmu. Hadapi masalah, bukan mencari masalah. Jika kau punya masalah keluarga seperti ini, selesaikan juga dengan kekeluargaan. Kalian terlalu hebat untuk sekadar jadi korban broken home. Kalian harus bisa jadi relawan untuk membangkitkan lagi semangat, kepercayaan diri orang-orang broken home lainnya. Dan teruntuk kalian yang mempunyai ayah, berterimakasihlah saat dia berbuat benar, tuntun ia jika salah. Bagaimanapun, tanpa tangan kekarnya, kalian tak akan bisa hidup dalam keamanan. Love your daddy, and keep your family always happy:))

The other side of life (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang