Luangkan Waktu

7 2 0
                                    

"Ibu, lebaran tahun ini ayah dan ibu akan pulang ke Jakarta, kan?" Seorang gadis kecil yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu memegang gagang telepon sembari menatap kalendernya. Seminggu lagi lebaran tiba. Ia harap, lebaran yang ke 10 kali untuknya ini bisa ia lewati dengan keluarganya.

"Kamu bersikap dewasalah sedikit. Kan ada nenek. Sudah. Ibu sibuk," telepon terputus.


Gadis itu masih diam di tempatnya. Ia tak menaruh gagang teleponnya walaupun ia tahu panggilan sudah terputus dari seberang sana. Gadis itu mendongak menahan air matanya tumpah.






Hari ini malam takbiran. Ia menunggu pawai takbir di depan rumah bersama neneknya. Ia akhirnya berdiri riang saat melihat cahaya obor dari kejauhan. Itu dia. Salah satu yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh gadis kecil itu tiap malam takbiran. Ia tersenyum masam melihat para orangtua santri yang menyemangati dari belakang. Iri. Jelas itu yang dirasakan gadis itu saat melihatnya. Tapi ia juga tidak boleh mengeluh. Seperti kata ibunya, ia harus bersikap dewasa. Lebih kuat. Lebih mandiri. Tidak boleh cengeng. Lagipula Amerika ke Jakarta itu jauh. Kasihan orangtuanya jika harus menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi keegoisannya semata.







Tahun demi tahun berlalu, ayah ibu sang gadis hanya pulang sehari dua hari itupun saat sang anak pergi berkemah. Gadis itu kini mulai beranjak dewasa. Ia tak lagi berharap. Bahkan di hari ulang tahunnya, ia sama sekali tak menelepon orangtuanya sekedar meminta ucapan selamat. Ia sudah terlupakan. Sepanjang ia belum mati, orangtuanya belum akan pulang. Mereka lebih mencintai pekerjaannya.







Suatu hari sang gadis dibuat gelisah saat mendapati sang nenek yang selama ini merawatnya terkapar di dapur. Keluar banyak darah dari mulutnya. Si gadis segera menelepon ambulans dan ia sekarang duduk disamping neneknya yang terbaring koma dirumah sakit. Kanker yang dialami neneknya sudah sangat parah. Bahkan operasi pun sepertinya tak akan membantu. Gadis itu tak bisa menghentikan tangisnya. Ia takut. Ia tak punya siapapun lagi untuk merawatnya. Bagaimana jika nanti ia dibuang? Bagaimana jika nanti ia sendirian? Ia belum siap.

"Nenek, maafkan aku merepotkanmu," lirih suaranya dalam isak tangisnya.





Gadis itu berlari menuju meja telepon. Ia menelepon kantor ibunya. Ia tak peduli dengan jawaban ibunya.


"Ada apa lagi?" Suara di seberang membuat gadis itu mendecak kesal.

"Ibu, nenek koma dirumah sakit. Kankernya sudah parah!" Gadis itu berteriak marah dalam isaknya.

"Kau ini bagaimana? Jaga nenekmu. Bawa nenekmu ke rumah sakit yang profesional. Ibu akan setor uangnya. Ayah dan ibu masih banyak urusan."

"Kelewatan. Apa ibu bisa mati kalau meninggalkan pekerjaan? Bisakah ibu meluangkan waktu? Sekali ini saja, ibu. Aku tak butuh materimu. Aku butuh kehadiranmu!" Gadis itu menangis keras dan menekan dadanya. Sakit. Ia tak pernah semarah ini sebelumnya.







Gadis itu kini berumur 28 tahun. Ia berjalan menghampiri sebuah makam bersama suaminya. Ia membacakan doa dan menabur bunga segar di atas kubur itu. Setelahnya, ia segera pulang menuju rumah barunya yang ia bangun bersama suaminya.







Ditempat lain, ibu sang gadis duduk termenung di teras rumahnya. Ia kesepian. Setelah suaminya meninggal, ia kembali ke Indonesia. Usahanya bangkrut. Para investor kabur. Ia tak punya apapun sekarang. Putri satu-satunya yang ia temui terakhir kali saat pernikahannya, kini tinggal bersama suaminya. Jarang datang. Sebentar lagi lebaran, sang ibu masuk dan mengambil handphone-nya.






"Halo?" Suara gadisnya mulai terdengar. Suara ini mulai jarang mengajak bicara duluan. Semenjak pertengkaran lewat telepon saat nenek koma, ia tak pernah ditelepon lagi. Ia merasa bersalah.

"Nak, lebaran kali ini pulang?" Tanya sang ibu penuh harap.

"Maaf ibu. Suamiku ada tugas di luar kota." Jawab anaknya singkat.





Hari lebaran tiba, sang ibu menghabiskan waktunya mengikuti syawalan hingga selesai. Toh dirumah tidak ada siapa-siapa. Setelah selesai, akhirnya ia pulang kerumahnya yang kosong.

"Nenekkk!!!!" Sang ibu mengernyit melihat dua anak kecil bertubuh bagus berlari terseok-seok menghampirinya.

"Hati-hati!" Dengan sigap sang ibu menangkap seorang yang lebih kecil yang hampir jatuh. 'Anak siapa ini?' Pikirnya.

"Ibu," suara ini. Sang ibu langsung menoleh dan mematung melihat anak gadisnya berdiri di depannya bersama suaminya. Tanpa menunggu, sang ibu merentangkan tangannya dan memeluk anak gadis semata wayangnya itu. Tangis keduanya tak terbendung.

"Apa pekerjaan suamimu batal,nak?" Sang ibu bertanya.

"Tidak, ibu. Kami yang membatalkannya. Sesibuk apapun kami, kami akan selalu meluangkan waktu untuk orangtua kami." Jawaban putrinya menohok sang ibu dan membuat ibunya memeluk sang gadis lebih erat lagi.

"Lagipula, kami ingin, anak-anak kami juga belajar meluangkan waktu untuk kakek neneknya saat dewasa nanti." Sang gadis tersenyum hangat. Tak ada gurat dendam di wajahnya. Ini hanya sebuah pembelajaran. Selama kita masih diberi kesempatan, manfaatkan.




Sejauh apapun jarakmu dengan orangtuamu, tak ada alasan tak bisa saling bertemu kecuali alasan nyawamu dicabut dalam perjalanan.

The other side of life (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang