Me & Myself

14 4 0
                                    

"Dia enak sekali ya hidupnya. Selalu tertawa seolah tak punya beban."
"Dia menyenangkan ya. Aku senang berteman dengannya. Ia tak pernah terlihat susah. Pasti tidak akan menyusahkan."

"Hei, Rashya, ke kantin?" Aku mendongak ketika mendengar suara temanku memanggilku. Aku tertawa ceria menyambutnya seperti biasa. Aku Rashya. Aku bisa dibilang anak yang terlalu ceria di mata orang-orang di sekelilingku. Entah kenapa, aku tak pernah merasa sebahagia ini saat bisa keluar dari kekangan rumah.

Hari itu, seperti biasa kelas mendapatkan jam kosong. Aku tertawa bersama teman-temanku. Saat mataku bertatapan dengan seorang teman sekelasku, ia membentakku, "jangan teriak-teriak!" Oke. Aku bisa saja mengatakan aku bersalah. Tapi bukan hanya aku. Banyak sekali orang yang tertawa disini. Kenapa harus aku yang jadi sasarannya? Ini terjadi tidak hanya sekali. Berkali-kali. Entah apa yang ada di dipikirannya. Aku sedikit sakit hati mendengar itu. Bentakan itu membuat seluruh anak di kelas melayangkan pandangannya padaku. Seolah aku dikelilingi oleh orang-orang asing yang menuduhku. Aku tak bersalah. Terkadang mereka juga membuat keributan, tapi aku diam saja. Kurasa semua berhak begitu. Ada apa dengannya?

"Kau sudah pulang? Bagaimana di sekolah? Kau harus belajar yang benar" belum sempat aku melepaskan sepatuku, ibu sudah memberondongku dengan pertanyaan yang selalu menekanku. Sekali saja, tak bisakah ia menanyakan bagaimana aku di sekolah? Bagaimana sikap teman-teman padaku? Apa yang kurasakan? Sudahlah. Itu mustahil. "Baik. Aku belajar dengan benar." Aku memaksakan senyum sebelum akhirnya mengunci diri di kamar. Aku meringkuk di pojok kamar bercat putih. Hanya ada kasur dan barang berantakan milikku. Tak pernah ada yang kuizinkan masuk kamarku selain diriku sendiri dan kucing kesayanganku. Badanku mulai menggigil dan aku mulai menangis. Sebagai penderita depresi sedang, ini hal biasa bagiku. Menangis bahkan saat di alam bawah sadar menjadi rutinitasku. Aku tak bisa lagi mengontrolnya. Semua berjalan tanpa seizinku. Kepalaku mulai pening dan aku merasa harus segera tidur. Kuambil obat tidur yang kusembunyikan di dalam laci meja belajar. Dan perlahan pandanganku mengabur.

"Kau harus jadi juara di kelas. Jangan permalukan ibumu ini."
"Kau ini sudah dewasa! Selesaikan sendiri masalahmu. Jangan ganggu ibu."
"Ah, kasihan sekali dia, kemarin ia dimarahi ibunya. Mereka bertengkar sampai suaranya terdengar dari luar,"
"Bisakah kau diam? Berisik sekali kau ini !"
"Kenapa kau mendadak diam? Apa kau tak memikirkan perasaan teman-teman yang berusaha menghiburmu?"
"Dasar egois!"

"TIDAK!!!"
Sial! Suara-suara itu, selalu merasuki kepalaku saat aku tidur. Aku sampai tak tahu kapan terakhir kali tidur nyenyak. Semua berubah. Semua tak lagi sama sejak suara-suara itu muncul. Kumohon, diamlah dan biarkan aku tenang. Aku menangis di sudut kamar. Tenang Rashya, esok hari akan segera tiba. Semua akan baik-baik saja. Doaku dalam hati.

Kembali di sini. Di sekolah. Pelarianku dari segala masalah di rumah. Kupikir begitu. Namun aku salah. Tak ada tempat yang bisa menyelamatkanku. Kecuali kematian. Mungkin itu adalah tempat yang cocok untukku. Dunia ini neraka bagiku. Aku tak bisa merasakan keramahannya sedikitpun.

Kehidupan itu hanya lelucon di mataku. Kita bergerak, bersandiwara, dituduh atau menuduh, disakiti atau menyakiti, itu semua tak dapat kita boleh memilih. Tak ada kebahagiaan sejati yang kurasakan. Setiap hari hanyalah penderitaan. Tak ada yang bisa menyelamatkanku. Bahkan berharap pada manusia pun tak menjanjikan. Rasa peduli dan sabar ketika disakiti tak pernah diberi penghargaan. Untuk apa lagi hidup? Dengan begini justru aku hanya berusaha membunuh diriku secara perlahan. Bahkan diriku sendiri sudah lenyap. Aku tak dapat mengenali siapa diriku, bagaimana diriku, dan apa yang harus aku lakukan. Semuanya omong kosong. Aku tak lagi bisa membedakan mana benar mana buruk. Yang kukira benar selalu menikamku dari belakang. Yang kukira buruk, justru itu yang menopangku saat aku tumbang.

Tak banyak yang tahu, aku adalah penyendiri yang menikmati kesendirianku. Aku bisa tertawa sendiri di duniaku. Menertawakan apapun. Namun sayang, tak ada yang mau sedikit memberi ruang. Mereka sangat terganggu dengan suara tawa bahagia orang lain. Bahkan orang yang kusebut 'teman' tak pernah bisa menerima keadaanku disaat aku terluka dan jadi pendiam. Mereka hanya mau aku menjadi peramai suasana tanpa memikirkan bagaimana lelahnya aku mencari cara membuat mereka bahagia. Aku lelah seperti itu. Aku lelah menjadi peduli. Kenapa aku tak boleh egois seperti yang lain? Aku ingin menjadi diriku sendiri.

"Kita akan buat banyak hiasan untuk lomba perpustakaan. Mari kita buat bersama." Nadya membuka percakapan untuk menyiapkan para anggota kelompok. Aku mengikuti saja instruksinya. Sesekali memberi saran. Aku tak pandai membuat kerajinan. Tanganku tak pernah mahir untuk itu. Akhirnya, aku hanya bercanda tawa dengan teman-temanku yang mengajakku bicara. Aku juga sesekali memikirkan hal lain untuk lomba perpustakaan ini.
"Rashya! Bisakah kau diam? Coba seperti Jean. Dia diam tapi berpikir. Tidak sepertimu yang hanya bisa tertawa tanpa bisa apa-apa." Aku membeku seketika mendengar ucapan yang tajam itu. Lagi-lagi orang ini. Bisakah dia tidak membanding-bandingkan aku? Aku sudah terlalu sering dibanding-bandingkan! Bisakah ia menjaga ucapannya? Apa mulutnya akan gatal jika belum membentakku? Aku memilih diam dan memberi tatapan tajam. Aku akan mengalah. Aku tak mau ada keributan. Aku memasang earphone dan menyetel musiknya keras-keras. Aku menjadi orang ber-aura seperti pembunuh. Tatapanku yang biasanya ramah menjadi dingin dan menusuk. Aku yang biasanya murah senyum, sekarang menjadi pendiam tanpa ekspresi. Aku tak peduli lagi.

Sepekan menjelang lomba, aku sibuk sendiri menyiapkan segalanya. Aku mencoba meminta bantuan tim. Tapi nyatanya tak ada respon apapun.
"Sialan semuanya!! Mati kalian," aku mengumpat-umpat. Tepat di hari libur aku bergegas ke sekolah untuk menyelesaikan semuanya. Mana dia yang kemarin berkata aku tak bisa apa-apa. Pada akhirnya, dia tak menghasilkan pekerjaan apa-apa. Aku yang handle semuanya. Sialan. Bahkan Jean yang ia banggakan juga tak punya apapun untuk membantu. Jean juga berisik. Bahkan lebih dariku. Tapi tak pernah ia memarahinya. Si sialan itu. Aku benar-benar membencinya. Aku tak tahu apa yang membuatnya begitu padaku. Aku ingin sekali membunuhnya.

Semuanya selesai dan aku sangat merasa lega. Seperti semua beban terlepas begitu saja. Tapi tidak dengan dendamku yang makin membara. Ia membuatku menangis semalaman. Sakit hati ini kian menganga berdarah tanpa mau berhenti. Kupikir 'teman' adalah orang yang bisa menarikku keluar dari penjaraku. Tapi ia makin menjerumuskanku kedalam kegelapan yang sudah menungguku sekian lama aku bertahan. Belum lagi ibu yang juga terus-terusan membandingkan dan menekanku. Aku benar-benar ingin mati. Aku ingin nyawaku diambil sekarang juga. Aku benar-benar tak sanggup. Lelah. Tak mengerti. Merasa terbodohi.

Kurasa karena sifatku yang terlalu ceria ini membuatnya berpikir bisa melakukan apapun padaku dan aku tak akan membalas. Ia tak tahu bahwa di dalam diriku, monster besar menaungiku. Ia siap kapan saja masuk dalam jiwaku untuk melakukan apapun. APAPUN. Sekalipun itu hal yang keji. Namun, kutahan sekuat mungkin. Aku bukan pembunuh. Aku bukan psikopat. Akan lebih mulia membunuh diriku sendiri daripada membunuh orang lain.

Selepas itu, kembali terjadi keributan. Aku tak lagi diam. Sorot mataku yang dingin adalah prolog. Ucapanku yang tajam adalah epilog.
"Kau menyebalkan! Kau berisik tanpa mengerti bahwa ada yang butuh ketenangan!" Aku masih diam mendengarkan. Mataku tak lepas dari tanganku yang terkepal menahan amarah. "Kau ini ekstrovert ya? Kau tampak tak bisa sendirian," PLAK. Tanganku mengayun bebas menampar mulutnya. Mataku menatap lurus dengan tenang. Ia membuka mulutnya lagi. Sebelum ia berkata apapun, kutampar untuk kedua kalinya hingga wajahnya berpaling ke samping. Tubuhnya gemetaran. Begitu juga tubuhku yang menahan emosi menggigil hebat. Aku menguatkan kaki menghampirinya. "Tolong jaga mulutmu, sebelum aku benar-benar membunuhmu." Bisikku di telinganya dengan suara lirih. Ia tersentak. Aku masih menatapnya dengan tatapan kosong. Aku benci sekali melihatnya. Sangat-sangat benci. Seperti ia benci padaku. "Kau tak tahu kehidupanku. Jangan pernah nilai aku dengan pikiranmu yang sempit itu. Dan jangan pernah coba untuk menilai seperti apa aku," aku berkata dengan suara datar. Aku melangkah pergi. Aku berlari ke gudang sekolah. Aku menangis sejadi-jadinya. Ini bukan aku. Aku tak pernah begini! Ini sama sekali bukan aku. Aku meringkuk dengan tubuh bergetar hebat. Aku tak percaya aku menjadi seperti ini. Aku yang lain berhasil merasukiku. Inikah bentuk pemberontakan yang kupendam? Inikah cara mereka menyelamatkanku dari dendam yang selalu berusaha kuredam. Ternyata benar. Yang paling mengerti aku. Yang selalu menyelamatkanku dari semua kesakitan ini hanyalah aku sendiri. Terima kasih Tuhan. Kau sadarkan aku. Benar, diriku sendiri yang paling tahu karena aku membentuk segalanya dengan caraku sendiri. Aku adalah penyendiri. Aku nyaman dengan itu. Berkawan dengan para monster yang menyiksaku adalah sebuah takdir. Aku tak bisa selalu menjadi orang lain untuk membahagiakan orang lain. Aku hanya akan jadi diri sendiri yang akan membahagiakan diriku sendiri.

The other side of life (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang