Penjara Kebebasan

17 3 0
                                    

"Rapunzel tinggal berdua dengan ibunya di sebuah menara. Ibunya merawatnya hingga ia besar. Rapunzel tak pernah kemana-mana. Ia selalu menemani ibunya. Ibunya juga sangat menyayanginya. Ia tak mau Rapunzel terluka. Maka ia mengurung Rapunzel di dalam menara," suara ibu mulai terdengar samar. Tunggu, ibu masih muda sekali. Lalu, kenapa ibu membacakan dongeng kesukaanku sekarang? Aku sudah remaja. Sangat terlambat jika ibu ingin memanjakanku begini. Ini....


KRINGGG!! Suara telepon rumah yang berdering kencang berhasil membuatku bangun dengan jantung berdegup kencang. Aku berlari menghampiri benda berisik itu dan mengangkat telepon, mengajak orang di seberang sana berbicara.
"Halo?" Aku memulai dengan suara serak bangun tidur. "Astaga, Jeanny.. sudah jam berapa ini? Mau sampai kapan kau akan telat begitu? Jangan menyusahkan ibu!" Aku mendengarkan ucapan ibu yang bahkan tak menjawab sapaku. Mataku menatap kosong ke langit langit rumah dan melipat tanganku di depan dada, menunggu kocehan ibu berhenti. 15 menit berlalu, suara di seberang akhirnya terhenti. "Sudah?" Tanyaku. Karena ibu juga tak menjawab, aku langsung berkata, "sudahlah. Kelasku akan mulai pada siang hari. Ibu tak perlu khawatir. Aku akan belajar dengan baik." Kataku datar sebelum akhirnya menutup telepon. "Haaahhh.. sialan!" Aku mendesah keras dan kembali ke kamar.



"Oh, Inna. Kau datang cepat." Sapa guru penjaga perpustakaan menyapaku seperti biasa. "Apa aku pernah terlambat?" Aku tersenyum padanya. Ibu Windy, guru perpustakaan juga guru favoritku selama aku sekolah di sini. Ia guru pertama yang menyapaku dengan keramahan asli. Bukan keramahan palsu seperti yang lain. Yang hanya menebar senyum bisnis. Aku tak pernah menghabiskan waktu ku tanpa ke perpustakaan. Setidaknya berbincang ringan dengan bu Windy sedikit membuatku lebih rileks. "Kelas akselerasi masuk pukul 14.00 kan hari ini?" Ia berbasa-basi. "Euhm, ya. Makanya aku datang lebih cepat. Ada buku bimbingan 4 mapel? Aku sangat membutuhkannya untuk persiapan ujian." Aku berjalan di antara rak buku yang penuh dengan buku warna warni. Sesekali mataku melirik ke arah rak khusus novel. Disana warna-warna bukunya lebih menarik. Lebih cerah dan ah sudahlah. Sejak dulu aku memang lebih tertarik pada buku  pelajaran. Ibu tak pernah mengizinkan jika aku membaca buku selain buku pelajaran.




"Inna, kau benar-benar tak tertarik mengunjungi rak novel? Sepanjang hidup pengamatanku, rak novel adalah tempat paling sering dikunjungi anak perempuan sepertimu." Suara bu Windy yang beradu dengan suara keyboard mengalihkan perhatianku. "Tidak," jawabku tersenyum tipis sembari membuka perlahan satu buah buku tebal panduan ujian. "Aku pinjam ini." Kataku dan langsung mengisi kartu pinjaman. Setelah itu, aku pergi ke kelas. Sepanjang perjalanan, anak kelas reguler menatapku dengan bermacam pandangan. Takjub, iri, mencibir, memuji, entah apalagi. "Wah anak akselerasi tuh. Sombong ya," bahkan bisik bisik seperti ini pun juga terdengar jelas di telingaku.



Anak akselerasi memang istimewa. Dipuja-puja, dibela walaupun kami melakukan kesalahan, diperlakukan seperti raja ratu istana. Tapi kami tahu itu semua hanya upaya agar kami bisa selalu meninggikan rating sekolah. Namun, ini sama saja dengan mengurung kami di sebuah penjara berkedok kasih sayang. Kebebasan? Kami bahkan tak pernah sekedar nongkrong di kantin, bermain-main saat jamkos, dsb. Kami mengisi waktu dengan belajar, belajar, dan belajar. Benar-benar melelahkan. Apalagi ibuku juga ikut ambisius menjadikanku budak pendidikan. Aku tak tahu lagi bagaimana cara untuk lepas dari jeratan. Aku ingin jadi murid SMA biasa.




"Anak akselerasi sih pasti tidak pernah dimarahi orangtua mereka karena nilai mereka jelek ya? Ah iri sekali," celetukan seorang perempuan yang melewatiku bersama dua orang temannya membuatku berhenti. Aku memutar badan dan memegang pundaknya. "Buat apa kau merasa iri? Aku justru iri padamu yang menjadi murid SMA biasa," kataku dengan wajah datar dan santai. "Ah sialan, kaget aku. Apa-apaan anak ini. Mengejek, ya?" Dia menepis tanganku dan buru-buru berlari bersama temannya. Mengejek? Aku mengernyitkan dahi. Aku justru memuji bukan? Ah sudahlah.





"Ibu, aku pulang," aku melepas sepatuku dan masuk ke rumah. Ibu yang sudah menungguku di meja makan hanya tersenyum sedikit. Kurasa itu senyum palsu. "Kemari anakku. Kita makan bersama." Aku hanya menurut dan duduk di hadapannya. Uap nasi yang mengepul di depanku tak membuatku berselera. "Kau sebentar lagi ujian?" Tanya ibu kemudian. "Ya," aku menjawab singkat. "Kalau tidak ada ujian sepertinya menyenangkan," kataku tanpa sadar. TING. Suara denting sendok garpu yang beradu membuatku tersentak. Aku mendongak melihat ibu yang menatapku tajam. "Omong kosong macam apa itu? Siapa yang mengajarimu berkata begitu?" Ibu berkata dengan suara rendah. "Aku hanya ingin mencoba berpikir seperti anak SMA yang normal." Aku menjawab serius. "Apa-apaan?!" Ibu membentakku lalu ia memalingkan wajah seolah menahan diri. "Luapkan saja. Ibu tahu kan rasanya menahan diri itu tidak menyenangkan?" Sindirku sambil menyuapkan nasi ke mulut. "Kau ini kenapa sih?" Ibu bertanya padaku dengan suara yang sengaja dibuatnya pelan. Lucu sekali. Sedangkan aku sudah tahu permainan liciknya selama 17 tahun ini. "Aku mulai sadar. Sadar akan apa yang ibu lakukan selama ini padaku. Dan aku sadar apa yang selama ini aku lakukan pada pendidikanku." Jawabku serius.



"Apa yang ibu lakukan padamu?" Aku tertawa begitu mendengar pertanyaan ibu. "Ibu tahu, Rapunzel dirawat oleh seorang penyihir jahat yang memanfaatkan kelebihan Rapunzel. Dan untuk membuatnya tak curiga, maka ia menyayangi Rapunzel dengan sangat baik. Dan menara kebaikan yang ibu sebut-sebut itu, adalah penjara yang menjauhkan Rapunzel dari segala impiannya. Benar?" Aku menatap lurus ibuku. Ia tertegun sesaat. Membuka mulutnya, dan menutupnya kembali. Oh, selama ini dugaanku benar rupanya. "Jadi, ibu selama ini mengubah cerita agar tersimpan dalam mindset ku kalau cerita itu memang begitu. Iya kan?" Aku menerjang dengan pertanyaan lagi. "Kau mau melawan ibu yang susah payah meninggikan namamu? Dimanapun kau dibanggakan. Ini balasanmu?" Ibu melipat dua tangannya di depan dada. "Mengapa ibu ingin aku dibanggakan? Bukannya ibu yang memanfaatkan aku agar ibu di cap sebagai ibu yang berpendidikan hingga bisa membuat anaknya menjadi sebuah piala penghargaan? Benar. Aku ini ibarat piala kan untuk ibu? Selama ini, ibu ingin mendapat penghargaan. Ambisius terhadap pujian. Dengan mengorbankan aku?" Aku menunduk menatap sendokku. Sesikit kecea apabila dugaanku memang seperti itu. Aku beranjak dan memakai sepatuku lalu berlari ke luar rumah.




Sudah 5 tahun sejak kejadian di rumah ibu. Aku melihat ke luar jendela. Musim semi sebentar lagi. Aku kabur dari rumah. Dan menyewa sebuah flat kecil. Tinggal sendiri. Namun, aku tetap berkomunikasi dengan ibu. Walaupun saling dingin. Aku telah lepas dari menara itu. Menara indah yang selama ini membuatku terkurung dan tak pernah tahu impianku yang sesungguhnya. Sekarang aku bisa tidur di hamparan rumput. Memandang impianku yang bergelantungan di langit sana tanpa bisa dihitung jumlahnya. Kebebasan yang selama ini aku lupakan, kini kembali kurasakan.
"Kak, aku meminjam buku ini," suara di depanku membuyarkan lamunanku. "Ah, tentu. Tunggu sebentar." Senyumku ramah. Ya, aku disini sekarang. Di sebuah perpustakaan kota. Bekerja seperti yang dilakukan Bu Windy. Tentu saja sebagai pegawai perpustakaan. Dan aku lebih bahagia sekarang.

The other side of life (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang