Seumur hidupku dan itu praktis dua puluh tujuh tahun, aku tidak pernah berpikir akan bertemu dengan Vampire. Tentu saja, karena aku bahkan tidak percaya kalau itu ada. Hingga aku bertemu dengan satu atau mungkin lebih tepatnya berlutut di depan satu. Bahkan saat itu pun aku masih tidak tahu kalau itu Vampire.
Itu pertengahan musim panas di Chicago dengan cahaya matahari yang membakar kulitku saat aku berlari di trotoar menuju mobilku bersama barang-barang sialan untuk sesi pemotretan siang itu. Aku tersandung batu dan lututku membentur semen trotoar yang keras dan kasar. Merobek kulitku dan darah mengalir dari sana. Kurasa aku mengumpat waktu itu. Dan di sanalah aku pertama kali melihatnya. Menjulang tinggi dengan kulit putih yang cantik, rambut pirang kecokelatan, bibir merah yang seksi, dan aku berlutut tepat di bawah kakinya.
"Astaga!" itu adalah kata pertama yang keluar dari mulutnya. Dia melompat mundur dariku dengan tangan yang secara refleks menutup mulut dan hidungnya.
Aku melotot dan sungguh saat itu aku berpikir kalau dia sangat tidak sopan. "Setidaknya bisakah kau membantuku berdiri?"
Pria itu masih berdiri, beku, melihatku dengan tatapan aneh. Tapi kemudian dia mendekat, membantuku berdiri dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain masih tinggal untuk menutupi mulut dan hidungnya. Detik itu aku mulai jengkel. Karena aku yakin keringatku tidak sebau itu!
"Kau berdarah," ucapnya. Suaranya serak dan dalam. Dan apa pun itu, itu membuat perutku terasa seperti dipelintir. Kesenangan itu mengaliri diriku.
Demi kasih Tuhan! Dia masih belum menurunkan tangannya dari hidungnya.
"Ya, aku berdarah! Dan sialan! Ini sakit!" aku membentaknya dan berjalan tertatih ke mobilku. Meninggalkan barangku berserakan di trotoar.
Persetan dengan pemotretan siang ini!
Aku membuka bagasiku dan menarik kotak pertolongan pertama. Terima kasih untuk adikku yang terus mengoceh agar aku menyimpan satu di mobil. Sekarang ini benar-benar bermanfaat. Aku mengambil obat merah dan plester, lalu duduk di tepi trotoar, dan aku mengutuk lagi. Aku benci darah! Aku selalu mual ketika melihat atau mencium aromanya. Itu hanya memuakkan.
"Kau meninggalkan barang-barangmu di trotoar."
Aku mendongak ketika mendengar suara itu lagi. Suara yang membuat perutku seperti dipenuhi kupu-kupu yang beterbangan. Oke, lupakan segerombolan kupu-kupu. Ini Pterodactyl yang beterbangan di perutku. Dan dia masih menutup mulut dan hidungnya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya menahan properti pemotretanku ke dadanya.
"Aku tahu," balasku sengit, masih belum berniat menjadi ramah dengannya. Dia tidak mengatakan apapun lagi, hanya meletakkan barang-barangku ke dalam bagasi.
Tapi Demi Tuhan, aku tidak bisa membersihkan lukaku tanpa melihat darahku. Ini buruk. Aku akan muntah jika nekad melakukan.
"Oke. Aku akan pergi," ucapnya. Aku meliriknya dan tangannya masih tetap tinggal di hidungnya. "Atau aku perlu menelepon rumah sakit?"
"Astaga! Tidak!" bentakku.
Itu akan menjadi lelucon besar. Aku hanya tersandung, kulitku hanya sedikit tergores, aku tidak mengalami patah tulang atau semacamnya hingga butuh dokter. Itu konyol.
"Sungguh? Kau terlihat pucat," ucapnya lagi. Aku mendesah, aku tidak bisa membersihkan lukaku.
"Yah, jika kau tidak keberatan, bisakah kau membantuku membersihkan lukaku? Aku takut dengan darah ... dan berhentilah menutup hidungmu!" ucapku dan aku langsung menyesal karena telah mengatakan itu. Karena sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi kaku.
"Kau menyuruhku membersihkan darahmu?" dia bertanya dengan nada tercekik seolah dia menelan cairan asam yang membakar tenggorokannya.
"Lupakan saja!" bentakku.
Dia hanya sialan, 'kan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Stumble [TELAH TERBIT]
Vampire[21+] STUMBLE #1 [END] Sadie Morgan telah menjalani hidup paling membosankan di dunia. Bekerja sebagai Fashion Asistent dan tinggal di rumah kecil yang dulu adalah milik ibunya. Semua waktu yang dia habiskan untuk pekerjaannya membuatnya tidak punya...