6- Pretty Boy? Kamu Pasti Bercanda

12.2K 761 2
                                    

Sudah dua minggu sejak aku membenturkan lututku ke trotoar dan sudah dua minggu aku bertemu lebih sering dengan Neil. Kami makan malam di tempatnya atau mungkin hanya aku yang makan. Neil tidak pernah menyentuh makanannya, dan Neil juga tidak pernah menyentuhku lagi sejak ciuman itu. Aku berasumsi kami dalam hubungan meski Neil tidak pernah mengatakan itu dengan jelas dan malam ini kami akan pergi keluar, coba tebak! Kami akan menonton film, sungguh itu sangat klise tapi lebih buruk lagi, dia mengajak saudaranya. Maksudku, siapa sih yang mengajak saudara laki-laki saat kencan? Itu sangat tidak keren.

"Aku tidak percaya kau mengkhianati malam akhir pekan kita yang suci," ucap Abby dramatis dari ambang pintu kamarku. Aku memutar tubuhku dari cermin dan mendengus.

"Seakan kau pernah merindukan malam akhir pekan kita." Aku mengoleskan lip gloss warna merah muda ke bibirku, tidak berniat untuk tampil menggoda malam ini. "Kita berdua tahu, kau lebih suka menghabiskan malam akhir pekanmu dengan Stive."

"Tidak sepenuhnya benar. Aku suka dengan pizza dan es krim-nya, Stive benci aku memakan itu, dia bilang itu merubahku menjadi monster." Aku memutar bola mataku. Pria dan aturan menjengkelkan mereka.

"Yah jika dia hanya peduli dengan tubuhmu, maka sudah waktunya kamu pindah." Adikku sudah bersama Stive lebih dari tiga tahun dan aku tidak mengerti bagaimana dia bisa bertahan.

"Aku mencintai Stive dan kau tahu itu Sadie, jadi jangan mengatakan hal-hal tentang pindah." Aku mengangkat tanganku dalam kekalahan.

"Oke, selama kamu bahagia, Baby doll."

Dia menghentakkan kakinya dengan jengkel. "Jangan panggil aku itu! Aku bukan adik kecilmu lagi!"

"Kamu selalu menjadi adik kecilku, Abigail." 

"Terserah, aku pergi! Semoga kencanmu menyenangkan." Aku melambai mengusirnya mendengar langkah kakinya menjauh dan mendengar dia membuka dan menutup pintu depan sebelum suara mesin mobilnya menyala hingga lenyap di kejauhan.

Sekarang aku sendirian. Tapi itu tidak bertahan lama karena tiba-tiba aku mendengar suara dari balik punggungku. "Sadie?"

Aku hampir melompat keluar dari kulitku, suara itu dingin, hampir seperti es di tulangku. Aku berputar dramatis dan aku masih menggenggam lip glossku di tanganku. Bukan senjata yang bagus jika penyusup ini adalah pembunuh bayaran.

Aku membeku untuk beberapa detik yang bodoh saat aku melihat wajah penyusupku. Dia murni indah, wajah yang keras tapi cantik dengan mata murni merah darah, aku pikir itu lensa kontak. Tapi pria mana sih yang mau memakai lensa kontak warna merah?

"Jangan mendekat! Aku tahu cara menjatuhkan pria!" Dia tertawa, terdengar seperti dentingan yang lembut tapi di saat yang sama itu keras dan brutal. "Bagaimana kamu masuk?"

Abby selalu kembali mengunci pintuku ketika dia pergi. Jadi bagaimana pria ini bisa berada di sini?

"Aku tahu beberapa trik," jawabnya geli. Dia tidak mencoba masuk ke kamarku atau apa pun tapi tetap saja, dia pria asing.

"Pergilah, aku tidak ingin berurusan denganmu, Pretty boy!" Dia melesat hampir sekedipan mata, pertama dia di ambang pintuku dan detik berikutnya dia berdiri hanya satu inci dari wajahku. Masih aku membeku di dalam kebodohanku saat dia menyentuh leherku, mengikuti alur nadiku dengan jari telunjuknya.

"Kamu orang yang tepat."

Aku menggigil meski aku tidak tahu maksud dari kata-katanya. Dia pasti gila atau jika tidak aku yakin dia punya sedikit gangguan di otaknya. Rambut hitamnya jatuh ke matanya saat dia membungkuk, dia bergerak seolah akan menciumku. Aku membiarkan kelopak mataku jatuh tertutup, jantungku berdegum kencang seolah aku akan mati sebentar lagi meski aku tidak mengerti mengapa. Rasa putus asa membunuhku saat bibirnya yang dingin menyentuh lekuk leherku. Mati aku akan mati. Pikiran itu menyerang otakku meski itu konyol. Kita tidak bisa mati karena ciuman tapi itulah yang terus otakku pikirkan. Lidahnya menggores kulit leherku dan aku mengerang dalam sensasi dingin yang memabukkan, lengannya memelukku dan aku memiringkan kepalaku untuk memberinya akses yang lebih mudah. Sial! Aku memberinya akses? Aku tidak membiarkan pria asing menjilat leherku!

Dengan pikiran itu, aku mengangkat lututku, membenturkannya tepat ke bolanya. Dia mengerang kesakitan, membungkuk untuk mungkin ...meredakan rasa sakitnya? Aku tidak tahu dan aku tidak peduli. Aku menendang lututnya sekali lagi untuk membuatnya jatuh ke lantai. "Sudah kubilang! Aku tahu cara menjatuhkan pria!"

Aku berteriak dan mundur darinya kalau-kalau dia mencoba membalasku yang sangat mungkin dia lakukan. Dia menatapku dengan mata merah darah yang dipenuhi lebih banyak minat, dia membuka mulutnya untuk bicara tapi sebelum kata-kata keluar darinya aku mendengar langkah kaki cepat di ruang depan dan Neil muncul di pintu kamarku. Pria itu berdiri begitu cepat, dan dia lari, mendorong Neil dari ambang pintu. Dia bergerak begitu cepat seperti angin, aku yakin dia akan memenangkan olimpiade jika dia mendaftar.

"Neil!" panggilku sebelum dia melesat untuk mengejar penyusupku. Dia menoleh padaku dan wajahnya terlihat panik dan khawatir.

"Sadie? Apa kau baik? Apa dia melakukan sesuatu padamu?" Urgensi mewarnai di setiap katanya.

"Yah, dia menjilat leherku. Dia pasti semacam pria mesum atau sesuatu seperti penjahat pelecehan seksual," jawabku. Nail langsung memeriksa leherku memiringkannya seolah dia mengharapkan akan melihat sesuatu yang mengerikan di sana.

"Dia tidak menggigitmu?"

"Apa seharusnya dia menggigitku?" balasku dan Neil tertawa.

"Sial Sadie! Kau membuatku takut!" Dia memelukku dan aku menikmati rasa dingin yang menyenangkan tiap kali dia menyentuhku. Itu tidak seperti es tapi kabut yang memicu sesuatu yang panas di dalam diriku. Seperti kontradiksi panas dan dingin yang membuatku ketagihan dengan sentuhannya.

"Tadak apa-apa, aku berhasil menjatuhkan Pretty boy." Aku balas memeluknya dan berjinjit untuk mencium bibirnya dengan ringan.

Dia menjauhkan wajahnya melihatku dengan mata yang aneh. "Pretty Boy? Kamu pasti bercanda."

"Tidak. Dia memang punya wajah yang cantik, banyak wanita yang akan jatuh ke lutut untuknya."

Neil tersenyum, menangkup wajahku dan dalam dua minggu terakhir, akhirnya dia kembali menciumku. Bibirnya yang dingin menyulut bibirku yang terasa seperti terbakar. Aku membiarkan mulutku terbuka, memberikan akses untuk lidahnya masuk. Kami berciuman seolah jika kami tidak, kami akan mati. Aku lapar dengan kontak intim bersama pria ini dan mungkin aku akan menjatuhkan celana dalamku saat ini jika dia memintanya. Tapi kemudian dia menarik diri sebelum kami benar-benar berubah menjadi liar.

"Kenapa berhenti?" gumamku. Dia menekan bibirnya ke bibirku dalam satu detik yang singkat.

"Menciummu membuatku bersemangat, dan hal-hal aneh terjadi saat aku terlalu bersemangat," jawabnya.

"Seperti tumbuh taring?" aku menggodanya dan dia melingkarkan lengannya di pinggang kecilku.

"Ayo pergi. Kakakku sudah menunggu di mobil."

Sial! Aku lupa tentang saudara laki-lakinya. Tidak mungkin ada seks malam ini.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Stumble [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang