Chapter 3

272 14 1
                                    




Aku dan Gaga saling berpandangan dengan kening bertaut. Apakah Dixie mencintaiku padahal baru tadi pagi untuk pertama kalinya kami bertemu? Mungkin. Mungkin saja dia memang jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Ehm, maksudnya?" Aku meminta penjelasan lebih lanjut. Barangkali daun telingaku salah dengar.

"Gue antar lo pulang," jelas Dixie sekali lagi dengan wajah pahatan yang ia dekatkan padaku. Aku justru melihat bibirnya. Tuhan! Bibirnya benar-benar melengkung bagai pelangi.

Belum sempat aku bersuara kembali, di luar dugaan, Tania yang tadinya menari bagai memanggil turun hujan kini sudah mengangkang, duduk manis, mengambil posisi di belakang Dixie.

Dixie melotot. Aku tidak kalah membelalakkan. Tania memang sangat tidak tahan melihat cowok ganteng. Ia menyukai semua idol-idol dari seluruh penjuru dunia. Tapi aku tidak mengiranya sampai sejauh ini. Duduk mengangkang dan menarik rok menurutku sudah terlalu jauh.

"Lo siapa?" tanya Dixie dengan suara bergetar bercampur ngeri. Mungkin ia belum pernah bertemu dengan betina semacam Tania.

"Calon istri lo, Mas. Yang akan ngebimbing lo masuk surga." Tania tersenyum lebar. Ia seperti baru saja menang lotre. "Gue maafin lo yang udah ngantar si pelakor tadi. Jangan dekat-dekat pelakor itu lagi, Mas."

Aku menarik tangan Tania. "Turun, Bayi Dajjal. Jangan malu-maluin cewek! Malu gue!"

"No! Jangan sentuh gue, Rhizoma! Lo nggak lihat? Gue mau diantar pulang sama suami gue menuju syurgawi!" Pekik Tania persis di depan gendang telingaku.

"Turun nggak? Turun! Malu-maluin anak Pramuka! Malu-maluin perempuan!" Aku seperti seorang ibu yang sedang menghardik putri semata wayangku yang kegatelan kalau melihat cowok ganteng.

"Oppa! Yuk jalan!" Desis Tania di telinga Dixie sambil memukul pundak cowok itu dengan lentik.

"Binal!" Sindirku tidak tahan sambil mencari-cari keberadaan sapu lidi yang seharusnya kugunakan untuk memukul kepala Tania agar dia tidak lupa daratan dan lupa lautan.

Dixie malah menyalakan sepeda motornya. Ia memandangiku sejenak―mungkin tiga kali bunyi detak jantungku—lalu tatapannya beralih pada Gaga yang mungkin masih keheranan dengan semua kejadian ajaib barusan. Sepeda motor itu melaju meninggalkan sekolah yang berdebu.

"Teman lo. Si Tania..." Mata Gaga membulat.

"Dia memang begitu. Nggak tahan kalau lihat cowok ganteng. Bawaannya nafsu terus."

Gaga terbahak.

"Lo ngga kayak gitu, kan?" tanya Gaga, seperti sedang memastikan sesuatu, tetapi enah apa.

"Ya nggak lah. Gue cewek normal." Aku menunjukkan ibu jari, memuji diriku sendiri.

"Terus... lo nggak malu temenan sama dia? Gue lihat lo mainnya sama dia terus di kelas, di perpustakaan, di mana-mana, sama dia terus. Hati-hati nular."

"Cuma dia yang mau temanan sama gue di kelas." Ekspresiku mungkin berubah. Ia siswa barum dan ia mulai menyadari situasiku. Benar. Hanya Tania―temanku yang aneh dan binal itu—mau berteman denganku di kelas yang sangat tidak kusukai. Aku sungguh tak merasa sendiri karena ada Tania. Namun kalau anak itu tidak muncul di sekolah, aku benar-benar merasa di dunia yang sangat jauh. Sungguh jauh sekali. Detik-demi detik berdentang sedemikian jauh. Sejujurnyanya, aku tidak punya siapa-siapa di kelas kecuali Tania di sana...

"Emh, lo kok jadi sedih gitu?"

"Ya nggak lah. Pantang bagi anak Pramuka bersedih. Cukup bendera semafor yang buat sedih." Aku berusaha memamerkan senyumanku.

"Bendera semafor buat lo sedih?"

"Soalnya susah banget."

"Hmm... Baiklah. Yang jelas lo punya gue di kelas. Lo bisa andalin gue kok."

"Lebih baik jangan. Lo jangan dekat-dekat gue di kelas. Nanti sekelas ngejauhin lo."

Gaga mengangguk-angguk, tidak menyangkal ucapanku barusan, dan ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Dan aku tidak punya kemampuan bertelepati untuk menebak apa yang sedang dipikirkan oleh teman baruku ini. Hanya saja aku sedikit berharap ia menjawab tidak masalah atau dengan kalimat sepuluh ribu teman biasa tidak bisa dibandingkan dengan seorang sahabat yang setia.

Aku melihat angkot mendekat. "Eh, gue duluan ya." Aku menaiki angkutan kota yang merapat ke gerbang sekolah itu. "Bye.. Gaga!"

Gaga membalas lambaian itu.

Aku memandangi Gaga dari balik kaca kendaraan yang membawaku pergi. Menjauh. Dan semakin manjauh. Gaga terlihat menarik garis di kedua pipinya.

Perlahan, aku memikirkanku di kelas itu. Mejaku berada di sudut belakang. Duduk paling sudut. Tidak banyak bicara dengan orang-orang di sana. Kalau tidak penting, aku tidak bicara dengan mereka. Saat memikirkan kelas menyebalkan dan mahluk-mahluk di dalamnya, mataku menangkap seseorang sedang berjalan dengan kaki dihentak-hentakkan. Dari belakang rambutnya mengembang diembus angin. Oh, God! Itu anak Dajjal.

Aku meminta supir angkutan kota yang membawaku untuk berhenti.

"Tania!" Pekikku bercampur dengan pertanyaan dalam pikiranku yang tidak kumengerti. Bukannya tadi dia pergi bersama pangeran kebanggaannya?

Tania bagai anak kecil berlari mendekatiku dengan keringat nyaris membasahi sekujur tubuhnya.

"Lo ngapain di sini? Bukannya tadi lo pulang diantarin yayangmu!"

"Jijai gue sama dia! Dia nurunin gue di tengah jalan."

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Namun, terbit rasa kasihan dari ulu hatiku ketika melihat tetesan keringat di dahinya. Dan tentu saja wajahnya yang sangat lelah bagai telah menanam padi seluas Negara Singapura.

"Duhh... Kasihan bayi dajjal. Yaudah, ayo naik angkot! Buang pangeran lo itu ke Samudera Atlantik. Dia tidak penting dan dia anak PMR!"

***

Pagi itu, aku tiba di gerbang sekolah. Adik-adik kelas anggota Pramuka menyapaku ketika bertemu.

"Selamat pagi, Kak!"

"Selamat pagi."

"Selamat pagi, Kak!"

Mungkin di mata mereka, dan mungkin mata kebanyakan orang , aku adalah kakak kelas luar biasa: tegas, cerdas, dan punya banyak teman. Padahal sesungguhnya—aku—sekali lagi, kesepian berada di kelas itu. Ehm, mungkin satu-satunya alasanku pergi ke sekolah ini hanyalah karena cintaku terlalu dalam untuk Pramuka dengan sandi morsenya yang mendunia. Dan tentu saja orang Pramuka yang mau menerima semua tentangku.

Aku menoleh ke kanan dan melihat Dixie sedang turun dari motor kesayangannya. Ingatanku terlempar pada peristiwa kemarin. Tania yang diturunkan cowok itu di tengah jalan.

"Diksi!" Aku mendekati manusia pahatan patung itu. Wajahnya memang dipahat, tetapi tidak dengan hatinya.

"Namaku Dixie, bukan Diksi!"

"Sama saja! Kamarin kok lo turunin teman gue di tengah jalan?"

"Terserah gue! Gue yang punya motor!"

"Lo tahu, hubungan antara anak Pramuka sama PMR tidak begitu bagus. Jadi lo jangan main-main. Lo harus tanggung jawab! Lo yang nawarin!" Aku menunjuk Dixie tepat di depan matanya. Meskipun seratus persen dia lebih tinggi daripada aku, aku tidak mau kalah darinya. Aku tidak takut. Walaupun aku menertawakan Tania kemarin, tetapi tindakan Dixie sangat tidak sopan. Terlebih Tania adalah temanku dan ia anak Pramuka.

Dixie tiba-tiba menarik tanganku. Sangat kuat. Terlalu kuat. Rasanya tulangku hancur dengan genggaman tangannya. Tapi entah kenapa, aku menyukainya. Apalagi dengan tatapannya yang seolah berkata jangan pergi dariku. Rahang lelaki ini terlihat mengeras. "Gue minta lo yang naik motor gue! Bukan dia!"

Aku merasakan ulu jantungku bergetar tidak karuan.

DIXIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang