Chapter 4

249 11 25
                                    



Dixie tiba-tiba menarik tanganku. Sangat kuat. Terlalu kuat. Rasanya tulangku hancur dengan genggaman tangannya. Tapi entah kenapa, aku menyukainya. Apalagi dengan tatapannya yang seolah berkata jangan pergi dariku. Rahang lelaki ini terlihat mengeras. "Gue minta lo yang naik motor gue! Bukan dia!"

Aku merasakan ulu jantungku bergetar tidak karuan. Namun pegangan itu melemah saat Sherina menangkap basah kami saling menarik tangan, maksudku Dixie saja yang menarik tanganku. Apakah wanita jahannam itu cemburu dan menganggapku telah merampas Dixie darinya? Wajah Sherina terlihat pucat. Baiklah! Kukatakan wajahnya memang pucat cantik, rambutnya hitam lebat, dan pandangannya meneduhkan. Namun aku memegang teguh teori yang mengatakan orang cantik tidak selamanya baik. Padahal cantik fisik dan cantik hati harus sejalan, seirama, sepadan seperti Sungai Bengawan Solo yang berakhir di laut.

"Maaf," ujar Dixie melepaskan tanganku lalu buru-buru pergi mengejar langkah Sherina.

Tiba-tiba aku sungguh merasa menyesal mengapa aku tidak menampar Dixie atau memukul kepalanya sampai pingsan. Kekuatan visual Dixie telah meululuh lantahkan kepercayaanku. Padahal aku anak Pramuka yang bahkan bisa bertahan hidup di alam bebas. Kenapa aku tidak menarik telinganya sampai lepas dari tempatnya? Kenapa aku seperti patung hidup ketika ia menatapku begitu dekat? Tidak, Rhizoma. Tidak. Dia anak organisasi sebelah dan jangan percaya visual. Medusa juga punya visual yang sangat cantik. Namun siapapun yang menatap matanya akan berubah menjadi batu. Aku tidak mau menilai seseorang dari badan bagus, atletis, wajah ganteng. Everybody same. Semua sama. Seperti Sherina, seribu persen kuakui visual ketua PMR puteri—si wanita jahannam―memang luar biasa. Namun tidak semua yang punya visual harus menduduki semua kursi singgasana. Buktinya aku! Rambutku tidak sepanjang rambut Sherina. Rumbutku pendek dan model bob. Dan kulitku, tidak seputih kulitnya. Aku memang tidak secantik Sherina, tetapi aku bisa menjadi ketua Pramuka. Ketika ada rapat antarorganisasi, aku duduk sejajar dengannya dan mengangkat dagu.

Hmmm, aku berjalan melenggang. Mengibas-ibaskan rambutku yang pendek. Mengangkat dagu dan tersenyum puas. Ketika Ibu Rok Mini Simbolon lewat membawa rol yang panjangnya sepanjang cintaku pada Nam Jo Hyuk, aku langsung menurunkan dagu. Duh, penjaga neraka lewat.

"Selamat pagi, Bu." Aku menyapanya dengan senyuman yang sangat kupaksakan. Ia tak boleh tahu kalau aku tidak menyukainya.

"Pagi!" jawab Ibu Rok Mini Simbolon dengan wajah cewek yang mungkin sedang datang bulan. Sialnya wajah Ibu Rok Mini selalu seperti itu. Wajah menekuk. Padahal tidak mungkin dia datang bulan tiap hari.

Aku berjalan menuju koridor panjang sekolah. Melewati deretan kursi yang masih kosong karena para murid masih berdatangan. Melewati kelas X. Dan masuk ke dalam kelas. Aku melihat Tania sudah berada di tempatnya. Wajahnya masih terlihat murung.

"Masih sedih karena diturunin pangeran kesayangan di jalan?"

Tania mengangkat bahu.

"Emh, apa ada yang daftar anggota Pramuka?" tanyaku.

Tania menggeleng.

"Percuma gue tulis nomor whatsApp di papan pengumuman. Apa gue harus tulis whatsApp di jidat Bu Rok Mini."

"Gue nggak tertarik lagi sama Pramuka. Gue tertariknya sama Dixie. Apa gue pindah ke PMR aja kali ya."

"No! Gue bilang no! Jangan pindah agama demi cowok!"

"Pramuka bukan agama kali! Sekalipun Pramuka itu agama, tapi setiap orang berhak memilih keyakinannya masing-masing."

"Gue nggak akan maafin lo dunia akhirat lahir dan batin, surga dan neraka, kalo lo pindah!"

"Eh, tapi bagus juga kan gue pindah, gue bisa jadi mata-mata lo di PMR. Jadi kita bisa tahu resep rahasia mereka."

"Nggak perlu!"

"Gue juga bisa nyuri celana dalam Dixie waktu kemping sekolah."

"Duh, Tania. Lo nyembunyiin isi tempurung kepala lo di mana si? Kok nyuri celana dalam cowok segala? Jorok tahu!"

"Celana dalam cowok ganteng wangi tahu. Bekas itunya."

"Stop! Cukup lo kena iler dia kemarin! Sekali lo melangkah pindah agama, eh maksudnya pindah ke PMR, gue akan cekik ayam kesayangan lo."

"Jangan donk! Hmm... sepertinya gue salah pilih tempat. Andai aja gue dari awal ikut PMR. Mungkin gue udah jadi idol S.M. Entertainment."

"Kalo lo bertahan di Pramuka, gue yakin lo jadi bintang hollywood dan bollywood sekaligus ngalahin Amitabh Bachchan."

Sedetik kemudian, kembaran Amitha Bachchan versi lokal masuk ke dalam kelas. Siapa lagi kalau bukan Sir Tukan, guru bahasa Inggris. Kelas hening karena kembaran Amitha Bachchan sedang mengajar.

Aku melirik Sherina yang duduk di barisan nomor dua dari belakang. Apakah wanita jahannam itu cemburu?

***

Aku mengikuti Sir Tukan dari belakang, guru bahasa Inggris yang mengajar kami selama tiga jam tadi. Aku memang menempatkannya sebagai guru pavorit bersama dengan guru yang lain, kecuali Rok Mini Simbolon. Sungguh, tiga jam berlalu dengan sangat menyenangkan bersama Sir Tukan.

"Boleh saya bantu bawakan bukunya, Pak?" tawarku pada kembaran Amitha Bachchan ini.

"Boleh. Hari ini kamu tidak ke kantin lagi?"

"Tidak, Pak. Saya mau bertanya bapak tentang materi tadi."

"Boleh. Ayo ke ruangan guru!"

Aku tersenyum lebar. Aku akan membuat pengakuan dan ini adalah kebiasaanku sejak dulu. Ruangan guru―di sekolah mana pun―adalah tempat paling menyenangkan bukan? Ada begitu banyak buku-buku. Melihat guru-guru idola sedang mengobrol satu sama lain. Semua itu terlalu menyenangkan untuk dilewatkan. Aku sungguh bahagia, bahkan tidak ada yang lebih bahagia dariku. Aku diterima guru-guru dan juga mendapatkan banyak ilmu. Aku memotong waktu istirahatku dengan menanyai guru soal materi yang kurang jelas. Semua guru akan dengan senang hati menjelaskan pertanyaanku kecuali guru satu itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Rok Mini Simbolon. Wanita yang wajahnya selalu kelihatan seperti sedang datang bulan. Aku tidak pernah berhasil mendapatkan perhatiannya dengan segala cara yang telah kucoba. Apakah ia guru yang primitif?

"Kamu lebih tekankan materi ini saja ya. Tetap belajar di rumah, Nak!" ucap Sir Tukan di akhir penjelasannya.

Aku mengucapkan terima kasih kepada beliau sambil menundukkan kepala. Duh... guruku sungguh mulia sekali. Dengan senyuman bahagia, aku kembali ke kelas. Hmmm... akan kupergunakan sisa waktu istirahat untuk menyantap bekalku di kelas. Ada sepotong roti yang kubawa dari rumah.

Saat aku telah meletakkan pinggulku ke atas kursi dan bersiap menarik bekal yang ada di dalam laci mejaku, aku... seperti merasakan sesuatu di laci. Aku merabanya dan menemukan secarik kertas dengan tulisan spidol tebal merah.

RHIZOMA! KAPAN LO MATI. CAPER SAMA GURU LO!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIXIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang