Kecurangan

65 1 1
                                        

Memang benar kata senior saya dulu. Semuanya adil dalam cinta dan perang.

Dan kenyataan terjadi. Semua peristiwa dalam pilpres, semuanya bias. Rakyat benar-benar tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Saya sudah susah payah mengajak mereka, menunjukkan yang benar melalui berpidato begitu keras dan tegas bahwa dalam pemilu kemarin terdapat kecurangan yang benar-benar kotor. Tapi mereka tak peduli. Dasar rakyat bodoh, pemilu itu harus mengutamakan transparansi bukan pilihan sesuai emosi.

Saya tahu Widji melakukan kecurangan, dan dia juga mengetahuinya. Tapi kurang ajarnya Widji masih tenang-tenang saja bahkan bertingkah seolah dia yang menjadi korban. Belum lagi waktu kampanye, kurang ajar sekali dia merancang sebuah skenario. Membuat tabloid sendiri, membuat isu sendiri, lalu disebarluaskan sendiri, dan hebatnya masyarakat menganggap sayalah yang membuat semua itu. Masyarakat yang mengganggap bahwa sayalah yang bermain politik secara kotor dan tak beradab. Hanya karena melihat latar belakang saya sebagai militer, maka segala hal yang berbau kekerasan pasti melekat pada saya.

Kalau memang begini jadinya, maka saya pun tak ragu kalau harus menggunakan cara yang sama. Lawan main keras, hadapi dengan keras, lawan main kotor, balas lebih kotor. Toh bukan saya dulu yang memulai. Sepanjang karier politik saya, tidak pernah sekalipun ada niatan untuk menggunakan cara-cara kotor dalam memperoleh kekuasaan. Saya adalah mantan jenderal, jiwa ksatria saya masih tertanam dalam dada. Tapi setelah semua ini, saya tak perlu ragu lagi untuk meladeni apa yang mereka lakukan.

Kalau kalian tidak percaya, coba kalian ingat-ingat pemilu sebelumnya, Ibu Mala, anak kedua pendiri negara ini, telah mengkhianati saya. Ia menjanjikan jadi wakil presiden, saya turuti, saya ikuti apa kata beliau karena memang di dunia politik beliau senior saya. Saya juga berusaha menjadi mitra yang baik, tidak meninggalkan beliau meski perolehan IMBA waktu itu sudah mendekati 10 persen. Saya juga berusaha membuat perjanjian dengan beliau bahwa setelah saya mendukungnya, maka di pemilu selanjutnya beliau akan mendukung saya menjadi calon presiden. Tapi perjanjian telah dilanggar. Ibu Mala telah melupakan perjanjian itu dengan mengajukan calonnya sendiri hanya karena tahu bahwa publik begitu menyukai Widji. Dan begitulah, saya ditinggalkan begitu saja berjuang sendiri dan akhirnya Widji yang menang.

Akhirnya saya tahu, Ibu Mala sebagai anak pejuang, anak pendiri negara ini, tak ada bedanya dengan pengkhianat. Sama juga dengan anak didiknya, Widji, pemain peran yang selalu bertingkah sebagai korban.
Ketika semua itu telah terjadi, maka semua taktik perang yang pernah saya pelajari akan saya lakukan semuanya hingga mereka benar-benar hancur.

Ini adalah perang.
Semuanya adil, dalam cinta dan perang. 

Pemilu Di IdeanosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang