7 - Happy Day Ever

16 1 0
                                    

Teet teet.....

Bel sudah berbunyi dua kali. The darkness rising... jeng jeng jeng. Yap, habis gini waktunya pelajaran olahraga. Kenapa gue sebut kegelapan? Itu karena gue paling nggak bisa disuruh lari. Mana tiap pemanasan disuruh lari keliling lapangan sekolah yang juga segede lapangan terbang. Ah, itu musibah banget buat gue yang punya anemia. Gurunya killer pula. Aduh neraka banget dah.

"Di, lo apaan sih, di suruh duduk depan malah duduk sama Ivan," kata Nadya yang tiba-tiba nyamperin gue waktu Ivan udah pergi. "Pdkt, ya?" Itu anak senyum-senyum.

"Gila kali," jawab gue dan cepet-cepet ambil seragam olahraga di tas. "Habis di depan sih, gue lagi pengen males-malesan nih."

"Alah, lo tiap hari juga males," katanya lagi. Bodo amat. "Oiya, Di, lo ngapain aja sih kemaren pas latian kok sampai di suruh keluar gitu? Mana Aryan juga minta di keluarin lagi, aneh banget."

Gue kaget. "Ha? Jadi itu bocah sebenernya nggak di usir?"

"Ya, enggak. Aneh deh, masa dia minta di suruh keluar juga. Katanya sih, dia yang salah," jawab Nadya rada bingung. "Emang kenapa sih?"

Ya ampun, Aryan. Ternyata lo baik banget ya? Pakai nggak bilang ke gue segala. Itu bocah ternyata pikirannya dewasa.

"Heh, Di, ngapain lo senyum-senyum gitu?" Nadya nyentil jidat gue. "Udah yuk, keburu telat ntar!"

Akhirnya gue jalan keluar kelas sambil senyum-senyum nggak jelas. "Eh, mau kemana lo?" Gue narik tangan Nadya waktu mau belok ke lorong toilet cewek.

"Ya ganti, Di, kita kan mau olahraga."

"Gantinya di toilet atas aja, yuk?"

"Yaelah, kejauhan kali. Udah ah," dia narik tangan gue.

Gue tarik balik. "Eh, emang lo nggak tau ya?"

"Apaan?"

Alesan apaan nih? "Hm, itu toilet bawah lagi rusak tau, masih di renovasi. Yuk ke atas!"

"Masa sih? Perasaan itu anak-anak pada kesana deh," Nadya celingukan.

Itu kepala cepet-cepet gue tarik biar Nadya nggak liat kalau toilet bawah emang nggak kenapa-napa. "Iya, bener. Yaudah yuk!"

Entah kenapa gue pengen banget ganti di toilet atas. Toilet tempat anak kelas tujuh. Hihihi. Pas gue lewat di kelas 7H, gue pelanin laju kaki gue.

"Lo ngapain celingak-celinguk gitu?" Nadya nanya. "Cari siapa?"

Itu dia! Alamak, dia lagi angkat tangan. Duduk depan guru, pinter amat ya?

"Woy, lo jalan udah kayak siput aja?" Nadya menyadarkan lamunan gue. "Ngeliatin siapa sih?"

"Bukan siapa-siapa, ayo buruan!" Gue narik tangan Nadya buat lari.

"Ye, sekarang malah ngajakin lari. Mana senyum-senyum sendiri lagi."

Sekarang gue ketawa geli sambil ganti baju.

"Oh gue tau sekarang," kata Nadya ikutan senyum. Sekarang gue yang mengerutkan dahi. "Itu anak ya? Hm, pantesan lo ngajakin ganti di toilet atas. Mau nyamperin adik sayang niyee"

"Apaan sih lo," kata gue setengah ketawa sambil keluar dari toilet. "Udah, kan? Yuk, kayaknya kita udah telat nih." Gue buru-buru lari menuju lapangan dan.... Boom!

Temen-temen gue udah baris rapi banget di sono dan di depan mereka ada sang Devil. Maksud gue Bu Devi, guru olahraga gue yang super killer itu. Mati gue. Bakalan di hukum apa nih? Terpaksa gue samperin itu guru dengan muka di tekuk.

Why LoveWhere stories live. Discover now