Semua hal, semua yang kau lewati dan berakhir dengan penyesalan. Semua penyesalan yang diterima memang pada kenyataannya selalu datang terlambat. Hal itu sangat wajar terjadi. Hal itu tak dapat dipungkiri lagi, karena semuanya ada sebab dan akibat. Kau menanam maka kau pula yang akan menuai buah perbuatanmu.
Sama seperti diriku. Aku terperangkap dalam pedihnya kenyataan bahwa aku selama ini selalu diam di titik yang sama. Selalu diam di tempat gelap dan tak ada keinginan untuk keluar. Hal itu aku lakukan hanya untuk menghindari penyesalan yang aku alami hingga menggerogoti diriku sendiri. Sedih selalu ku rasakan setelah mengetahui kenyataan yang pahit namun di sisi lain entah apa yang aku pikirkan, hal itu juga sedikit merubahku. Namun, apakah aku harus bersyukur dengan hal itu?
.
.
.
.
.
December, 25th
Salju turun dengan indahnya di hari yang berbahagia. Namun tidak untuk seorang remaja bernama Luhan. Hanya kebencian yang ia rasakan. Ia sangat membenci bulan Desember, utamanya di hari Natal.
Saat masih kecil, ia harus melihat banyaknya salju yang seharusnya berwarna putih bersih, namun nyatanya ia harus melihat salju itu berwarna merah. Warna yang seharusnya memiliki makna indah dan elegan, namun di saat itu, ia harus menangis melihat semua salju itu. Menangis tak henti-hentinya kala orangtuanya harus pergi darinya untuk selamanya di hari yang seharusnya berbahagia. Anak kecil dengan usia 7 tahun yang seharusnya masih menikmati kehangatan orangtua, harus direnggut kebahagiaannya karena kecelakaan ya mereka alami. Hanya bocah 7 tahun itu yang selamat.
Luhan tak pernah bersyukur ia selamat dalam kecelakaan itu. Ia tak ingin ditinggalkan sendirian, menanggung hidup dalam lingkup kesendirian. Sendiri dalam sedih. Ia hanya ingin selalu bersama orangtuanya. Katakanlah jika Luhan manja, namun apakah salah seorang anak berusia tujuh berpikir seperti itu? Tak punya kerabat, membuatnya selalu berpikir untuk pergi ke tempat orangtuanya berada. Mungkin di sana ia masih dapat menikmati indahnya keluarga.
Namun kala pikiran kecilnya masih berharap akan keajaiban, keajaiban untuk dapat menikmati kasih sayang, kala itulah ia kembali bangun dari tidurnya. Berpikir untuk tetap memohon dan meminta agar ia diberikan kehangatan entah dari siapapun itu. Namun, semakin ia berharap, semakin jauh pula keinginannya akan terwujud. Semua yang diharapkannya seolah hanya angin lalu dan tak pernah terwujud, hingga ia bertekad untuk berhenti berharap karena ia yakin Tuhan tak akan pernah menerima doanya.
Ia sempat berpikir, jika ia meminta maka wajar saja karena ia adalah seorang anak yatim piatu. Bahkan anak yang memiliki segalanya saja masih memiliki hak untuk meminta. Namun kala permintaannya tak dapat terwujud, kala itulah ia sadar jika ia tak diizinkan meminta. Jika seperti itu, maka ia pun membenci Tuhan. Ia benci Tuhan yang tak melihat bagaimana penderitaannya. Ia benci Tuhan yang tak mendengar permohonannya.
"Aku benci Desember" satu kalimat yang ia ucapkan jika melihat salju. Benci, begitu benci hingga yang selalu ia lakukan adalah mengurung dirinya di kamar, menutup semua pintu dan jendela. Menutup semua hal yang dapat mengundangnya untuk melihat salju indah yang tak ia anggap indah itu.
Masih tetap tinggal di rumah besar itu, rumah dengan penuh kenangan yang indah namun di saat yang bersamaan juga membuatnya sakit. Sudah 12 tahun sejak tragedi itu terjadi, namun tak sedikitpun Luhan melupakan hal itu. Bahkan tak akan pernah.
"Mom...dad...bagaimana kabar kalian di sana? Apa kalian bersenang-senang?" Tersenyum kecut saat mengatakan semua itu. Tanpa sadar air matanya kembali mengetes membasahi pipi putihnya. Memilukan.
"Kenapa kalian bersenang-senang tanpa diriku hmm?" Berucap dalam kesepian dan kepedihan. Air matanya tak henti mengalir. Rasa sakit yang teramat sangat membuatnya terus memukul dadanya. Menangis tersedu-sedu. Napasnya tak beraturan.
"Oh God, do you hate me so much? Kau merebut orangtuaku. Kau membiarkanku menangis. Aku selalu memohon namun kau seolah menutup mata dan telingamu. Aku putus asa" menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. Kemudian ia hapus kasar air matanya. Beranjak dari tempatnya.
Ia langkahkan kakinya menuju dapur. Ia pandang lekat tempat itu. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tertuju pada satu benda yang mungkin ia hidari namun juga ia coba raih.
"Mungkin hari ini aku akan bertemu kalian" kembali tersenyum dan meraih benda tajam itu. Menatap lekat pisau yang ada di genggamannya. Matanya seolah sudah tertutup kabut, pikirannya seolah sudah buntu hingga akhirnya ia pu mengiris lengannya sendiri.
Darah yang mengucur keluar dari pergelangan tangannya. Nadi yang tersayat dan pandangan yang mengabur.
Gelap menghampirinya dan ia pun tergeletak tak berdaya. Kesadarannya telah hilang seiring dengan darah yang banyak menggenang di dekatnya.
.
.
.
.
.
TING TONG
Suara bel berbunyi dari arah luar. Dari sekian lama, Luhan tak pernah mendapatkan tamu di hari Natal. Namun hari ini tiba-tiba Luhan mendapatkan seorang tamu dan itu adalah seorang wanita paruh baya yang membawa tas kecil dan sebuah kotak.
"Apakah rumahnya sepi?" Bermonolog dan selanjutnya ia kembali memencet tombol bel yang ada di sebelah pintu masuk.
Setelah lama membunyikan bel. Entah mengapa wanita itu pun berpikir untuk mengetuk pintu. Kala ketukan pertama ia lakukan, saat itulah pintu terbuka.
"Aneh...mengapa pintunya tak terkunci jika tak ada orang" saat itu juga wanita paruh baya itu memasuki rumah Luhan dan tentunya mengatakan kata permisi saat memasuki rumah Luhan.
"Permisi...apakah ada orang? Aku datang untuk membawa kue"
"Permisi...aku adalah tetangga baru anda"
"Permisi..." terus berjalan sembari mengatakan semua hal itu.
"Astaga!" Kala ia melihat Luhan tergeletak dan bersimpah darah. Ia berteriak dan langsung menjatuhkan semua barang yang ia bawa.
"Oh my God...apa yang terjadi denganmu, nak? Sadarlah" memeriksa denyut nadi Luhan dan bersyukur masih berdetak. Namun napas Luhan dapat dirasakan semaikin melemah oleh wanita itu.
Wanita itu pun langsung mengambil ponselnya dan men-dial nomor ambulans. Berharap ambulans segera datang dan anak yang ada di hadapannya dapat terselamatkan.
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
.
Oke fix..emang dasar pengen ngutang jadinya ya gini. Pengennya nge-END semuanya terus nambah cerita waktu semuanya udah END. Tapi apa daya, pengennya update sekarang ya gimana dong.
Tpi ku janji bakalan di tamatkan untuk cerita yang lain...entah bagaimana nanti wkwkw
Ditunggu ya...untuk semua cerita termasuk yang ini. Klok ada yg mau nunggu sih 😅😅
.
HunHan
520.
Jimbaran, Bali, 24 Mei 2018
21:17

KAMU SEDANG MEMBACA
Punishment, Second Chance (HunHan)
FanficAku membenci hari itu. Tak pernah sekalipun aku beralih untuk menyukai hari yang dikatakan indah bagi orang lain. Saat aku selalu memohon dan meminta, Tuhan tak pernah memberikan jawaban untukku. Seolah Tuhan telah melupakanku. Namun, seorang datang...