January, 25th

505 57 14
                                    

Masih duduk termenung, menatap jemarinya yang dengan eratnya menggenggam jemari Sehun. Seolah jika ia lepaskan, maka Sehun tidak akan kembali lagi. Hanya berharap Sehun mau menatapnya dan mau memaafkannya.

Sudah sejak pagi bahkan Luhan menunggu, namun dengan damainya Sehun masih tetap menutup matanya seperti waktu kemarin. Tidak ada yang berubah, bahkan dokter pun mengatakan tidak ada kejanggalan saat pemeriksaan.

Air mata pun menetes kala ingatan kembali terputar dengan jelas di pikiran Luhan. Kenangan menyakitkan yang begitu tidak ingin Luhan ingat lagi. Ingin Luhan menghapus ingatan itu, namun apa daya, itu seolah menjadi hukumannya sendiri. Mengingat bagaimana Sehun yang berkorban nyawa untuk menyelamatkannya.

"Luhan..." suara seorang wanita paruh baya pun menghampiri pendengarannya. Duduk di sebelahnya dan memeluk dirinya.

"Aku tahu kau pasti sulit menerima ini, aku juga mendengar kau kehilangan orangtuamu, aku turut bersedih dan mari kita doakan kesadaran Sehun hmm" mengaratkan pelukannya pada Luhan yang mulai terisak. Membasahi bahu wanita paruh baya itu dengan air mata ketakutan dan kesedihan.

"Aku tidak ingin Sehun seperti mereka. Bukankah seharusnya Sehun sudah sadar tapi kenapa? Kenapa ini semua menimpaku?" butiran demi butiran dengan beraninya membasahi pipi Luhan. Isakan demi isakan pun mengisi ruang inap Sehun. Isakan dan bunyi nyaring dari alat seolah saling beradu.

"Bahkan aku selalu berdoa, apa Tuhan benar-benar tidak ingin mendengar permohonanku?" Isakan demi isakan pun terdengar jelas, membuat ibu Sehun semakin mengeratkan pelukannya.

"Sayang, bertahanlah hmm? Eomma ada di sini, Sehun pasti kembali" mengusap lembut rambut Luhan dan dibalas anggukan lemah dari Luhan.

"Eomma, bolehkah aku bercerita tentang kejadian yang menimpaku?" Melonggarkan pelukannya dan menatap ibu Sehun dengan serius.

.

.

.

.

.

Kini semuanya semakin jelas, bahkan kini ibu Sehun tahu siapa Luhan sebenarnya. Luhan adalah anak dari sahabat lamanya yang tiba-tiba hilang kontak dan penyebab dari itu adalah kecelakaan yang merenggut nyawa sahabatnya dan suaminya, hanya meninggalkan anak semata wayangnya yang masih belum paham tentang kerasnya kehidupan.

"Akhirnya aku bertemu denganmu" air mata pun tak luput dari syukur yang ia katakan. Menatap Luhan begitu lekat dengan pelukan hangat yang kemudian ia berikan.

"Andai saja aku tahu jika sahabatku meninggal karena kecelakaan, andai saja aku mengetahuinya..." benar, ibu Sehun sama sekali tidak mengetahui apapun semenjak kehilangan kontak. Berita meninggal hingga pemakaman, ibu Sehun benar-benar tidak tahu menahu tentang hal itu.

"Maafkan aku karena baru datang di saat kau sudah sebesar ini" penyesalan pun datang tiba-tiba. Merasa bersalah karena dirinya tidak bisa merawat anak yang masih rapuh. Menyesal karena waktu pertemuan mereka baru datang saat Luhan sudah remaja.

"Kau pasti kesepian selama ini..." anggukan Luhan berikan. Luhan pun ikut meneteskan air matanya. Takdir memang begitu sulit untuk ditebak.

"Han..." suara lain tersengar. Keduanya langsung memusatkan pandangannya pada satu orang yang masih terbaring lemah. Melihat tiap gerakan lemah yang diberikan.

Bahkan kini Luhan sudah membungkam mulutnya sendiri karena mata Sehun bergerak perlahan. Membuka untuk melihat dunia.

"Eomma, Sehun...Sehun sadar" seketika Luhan langsung menekan bel untuk memanggil dokter untuk segera memeriksa keadaan Sehun yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

Punishment, Second Chance (HunHan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang