Lo pinter Matematika dan gue cuma pinter olahraga? Emangnya masih ada kemungkinan buat kita bisa saling suka? -Boy
××××××××××××××××××××××××××××××××
AUTHOR'S POV
Bel berbunyi tanda masuk kelas dan pelajaran akan segera dimulai. Citra sangat bersemangat karena mata pelajaran hari ini adalah Matematika dan Bahasa Inggris. Sebelumnya, yang pertama adalah Matematika.
Bagi Citra, pelajaran Matematika itu menyenangkan dan bersifat menantang. Yah, seperti teka-teki dan itu adalah ilmu pasti, katanya.
Tetapi, berbeda dengan Boy. Boy tidak suka dan tidak pandai dalam pelajaran Matematika.
Katanya, Matematika itu adalah mimpi buruknya.
Matematika itu mudah membuat tekanan seseorang menjadi lebih tinggi.
Matematika itu membuat orang yang dulunya waras menjadi seperti orang gila.
Hanya satu yang Boy suka, yaitu pelajaran Olahraga. Katanya, melalui aktivitas pelajaran Olahraga, dia bisa melepas semua beban-beban yang ada di dalam benaknya.
***
"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Bu Guru Matematika mereka dengan penuh semangat walaupun sebenarnya murid-muridnya terasa seperti ada di dalam neraka saat mengikuti pelajarannya itu.
"Pagi, Bu Guru!" seru mereka secara bersamaan.
"Baiklah. Sekarang kita akan mempelajari bab 1 dulu. Ayo, keluarkan buku kalian!" perintah Bu Guru pada murid-muridnya.
Mereka pun segera membuka dan membaca buku mereka. Kecuali Boy, ia hanya bisa melihat angka-angka sial itu yang hanya bisa membuatnya pusing dalam 3 detik.
"Sebelum Ibu menjelaskan materi bab 1, apakah ada yang sudah menguasai materi ini dan bisa menjawab nomor 1 yang ada di halaman 2 ini?" tanya Bu Guru yang membuat murid-muridnya merinding seketika.
Mereka terdiam sejenak dan saling melirik satu sama lain.
"Saya, Bu!" jawab Citra seraya mengangkat tangannya dengan penuh percaya diri.
"Silahkan berdiri, Citra! Kerjakan soal nomor 1 di papan tulis! Ibu mau lihat pemahaman kamu dalam bab ini," tegas Bu Guru.
"Baik, Bu. Saya akan kerjakan," ujar Citra dengan wajah yang mantap. Baginya, soal seperti ini sangat mudah. Seperti bermain game 1+1=2
Citra pun mengerjakan soal tersebut di papan tulis dengan penuh percaya diri dan dia yakin bahwa dia menjawab soal itu dengan benar dan cara pengerjaan yang lengkap pula.
Boy yang melihat Citra langsung tertegun dan tidak menyangka. Sampai-sampai, matanya terbelalak karena hal tersebut.
Sungguh ironis, pikirnya.
"Boleh juga tuh cewek," gumam Boy sambil menaikkan sedikit alisnya itu.
***
Beberapa menit kemudian, Citra sudah menyelesaikan satu nomor dan kembali ke tempat duduknya.
"Hebat juga lo, Cit," kata Boy sambil memandang Citra dengan wajah penuh kekagum-kaguman.
"Ya ialah. Btw, makasih loh ya, hehe!" tawanya seakan-akan Boy merasa bahwa Citra sudah merasa sedikit sombong.
"Hmm ... sombong banget lo jadi manusia," ketus Boy seenaknya. Mungkin Boy merasa iri dengan Citra. Eh, tapi dia juga kagum dengan kemampuan Citra. Hmm ... entahlah.
"Ahahahaha!! Duhh!" tawa Citra sambil memegang perutnya sendiri karena sakit saat sedang menahan tawanya.
***
Bu guru melihat cara pengerjaan dan jawaban Citra untuk soal di papan tulis tadi dari ujung ke ujung.
"Bagus sekali. Citra menjawab soal ini sudah benar dan cara pengerjaannya juga lengkap. Kamu memang pandai, Citra," puji Bu Guru untuk Citra.
"Terimakasih, Bu," kata Citra yang hanya bisa berbangga diri.
Boy hanya bisa melihat Citra dengan mata nya yang begitu iri.
Dan murid-murid yang lain hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala nya dengan rasa heran seraya memberikan tepuk tangan untuk Citra.
"Sama-sama. Lanjut, apakah ada yang bisa mengerjakan nomor 2? Ibu mau yang maju kali ini adalah cowok. Masa cewek terus yang maju?" tawar Bu Guru pada murid-muridnya yang sedang kebingungan.
Mendengar kata 'cowok', Boy langsung menundukkan kepalanya ke meja. Boy merasa ketakutan dan dia merasa bahwa tubuhnya sudah dalam fase keringat dingin.
Citra yang melihat tingkah Boy yang tidak jelas itu hanya bisa tertawa kecil sambil terkekeh-kekeh.
"Boy? Jangan takut, maju aja! Bu Guru gak akan makan lo kalo lo salah ngejawab soal," ucap Citra yang berusaha meyakinkan Boy untuk maju dan membantu Boy untuk menghilangkan rasa takutnya.
"Apa lo bilang? Huh! Lo kan tau kalo gue gak bisa dan gak ahli dalam ngejawab soal Matematika. Lagipula, ini sulit banget."
"Yang penting kan lo ada usaha buat ngejawab soal itu, Boy."
"Hmm ... lebih baik lo diam aja deh!"
"Apa tidak ada yang mau maju? Baiklah, Ibu sendiri yang akan menunjuk," kata Bu Guru sambil melihat mereka semua, "Oh iya, kamu Boy, cepat maju dan kerjakan soal ini!" perintah Bu Guru.
"Apa, Bu?! Aduh, saya gak bisa, Bu."
"Maju saja dulu, Boy."
Boy pun maju ke depan dengan wajah yang terpaksa dan bibir yang manyun. Ia hanya bisa pasrah saat soal Matematika sialan itu menghampirinya.
Saat Boy memegang spidol, ia masih bingung bagaimana caranya mengerjakan soal itu.
Rasanya, Boy merasa malu saat berada di depan papan tulis karena kebingungan menjawab soal dan hanya bisa diam seperti patung yang baru di cat.
Bu Guru yang berdiri di dekat Boy sambil melihat jam dinding pun juga sudah menunggu lama.
"Ayo, Boy! Jawab soalnya!" sahut Bu Guru.
Tampaknya, Boy masih kebingungan. Hal itu terlihat jelas saat dia menggeleng-gelengkan kepalanya, tanda tidak mengerti sama sekali.
"Hmm ... baiklah. Citra? Kamu bisa bantu Boy di depan untuk menjawab soal ini?"
"Iya. Saya bisa, Bu."
Citra pun maju ke depan untuk membantu Boy menjawab soal itu di papan tulis.
Mereka saling bertatap-tatapan.
Dari tatapan itu, Boy berpikir bahwa Citra adalah dewi penyelamat yang datang secara tiba-tiba.
Tetapi, dari tatapan itu, Citra berpikir bahwa Boy adalah orang yang bodoh sedunia tentang Matematika. Ia berpikir bahwa soal yang mudah saja Boy tidak bisa apalagi soal yang sulit.
"Sini spidolnya, biar gue bantu," ucap Citra dengan wajah yang sabar menghadapi sesosok Boy ini.
"Iya. Makasih, ya!" seru Boy dengan perasaan yang tidak enak pada Citra.
Ia sangat malu. Harusnya, kebodohannya ini jangan muncul saat di depan Citra. Itu adalah salah satu cara untuk menjaga image nya saat berada di dekat Citra.
Citra pun menjawab soal nomor 2 itu dengan cepat dan percaya diri.
Sementara itu, Boy cuma bisa menatap Citra yang berada disampingnya saat membantunya menjawab soal itu.
Saat kejadian itu, Boy sedikit tertegun sih dan kagum dengan kemampuan dan bakat Citra dalam pelajaran Matematika.
"Hmm ... ternyata Citra pandai banget dalam pelajaran matematika. Kok gue makin kagum sama dia?" batinnya.
"Sabar aja gue. Kalo bukan temen, gak bakal gue ngebantu nih orang. Huff!" batin Citra saat menyimpan rasa kesalnya kepada Boy sialan itu.
~BERSAMBUNG~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love Is My Brother✔ [TAHAP REVISI]
Romance"Izinin gue---" -Citra "Ntah kenapa sekarang gue benci banget sama lo, Cit!" -Boy "Gue bakal ngelakuin apa aja supaya Boy mau balik lagi sama gue" -Tasya "Dia cuek, tapi gue suka" -Fania "Maaf. Saya memang orang yang cuek, tapi diam-diam, saya suka...