Part : 03

869 27 7
                                    

"Dek," ucap Anggi setelah ia menepikan motornya ke tepian jalan.

"Kenapa lagi Kak?" sahut Raihan membuat jeda, "Raihan harus naik angkot lagi? Kakak ini gimana si, Ibu bilang, Kakak harus anterin dan jemput aku ke sekolah. Akhir-akhir ini cuma pas hari kamis sampai sabtu doang. Kak! Selama ini Raihan tidak ngomong sama Ibu lho, tapi bukan berarti Raihan tidak bisa ngadu ke Ibu," tutur Raihan ketus. Dia sudah cukup sabar sebelumnya-sebelumnya, tetapi sekarang dia sudah merasa kesal terhadap kakaknya yang sering kali menurunkan Raihan di tengah jalan dan menyuruhnya untuk naik angkutan umum.

Raihan sebenarnya trauma, Jumat kemarin saat di dalam angkot dia melihat seorang Bapak tua yang menatapnya serius, seakan ingin menculiknya. Karena curiga, Raihan memilih turun dari Angkot dan naik angkot baru dengan sisa uang yang dimilikinya. Dia sama sekali tidak menceritakan itu kepada siapapun, termasuk ke Anggi ataupun Ibunya.

"Eh, jangan dong! Sebagai seorang adik, kamu harus ngertiin Dek. Kakak akhir-akhir ini banyak tugas di sekolah. Dan—-"

"Kenapa gak sekalian aja kalau gitu? Raihan telat dikit gak apa-apa kok."

"Kakak kan kasihan sama kamu."

"Kalau kasihan mana mungkin Kakak tega turunin aku di tengah jalan begini?"

Anggi menghela napas. "Begini dek, satu kali lagi aja ya, tolong turun dan nanti Kakak gak akan ngulangin lagi. Kakak akan antar jemput kamu ke sekolah sampai seterusnya, deh."

Raihan diam. "Janji?" ucapnya kemudian.

Anggi menoleh, kemudian menunjukkan jari kelingkingnya. Raihan tersenyum, lantas mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Anggi.

"Yaudah Raihan turun," ucapnya sambil kemudian turun dari motor Anggi

"Adik baik, makasih yah Dek. Tapi..."

"Tapi apa Kak?"

"Kamu, dikasih uang kan sama Ibu?"

"Iya, kenapa? Ibu ngasih uang lebih ke Raihan itu buat bayar Lks, Kak." (lembar kerja siswa)

"Iya Kakak tahu. Begini, hm,, boleh gak Kakak pinjam?" tanya anggi sedikit ragu. Raihan yang mendengarnya, spontan ia terkejut.

"Jangan Kak, Raihan udah telat satu minggu buat bayar Lks. Raihan malu. Yang lain udah pada bayar soalnya,"

"Dek," Anggi memegang pundak Raihan "Kak Anggi mau pinjam untuk ganti rugi. Kakak sempat nabrak motor orang lain saat beli sesuatu ke toko. Dan Kakak bilang, Kakak akan ganti rugi hari senin sekarang. Tadi pagi Kakak sebenarnya mau bilang ke Ibu, tapi Kakak kasihan sama Ibu." tuturnya berbohong "Adek ngertiin ya, Kakak butuh uang sekarang. Nanti Kakak usahain buat ganti kok. Atau Adek mau, polisi datang menjemput Kakak? Terus Kakak dipenjara?" tanya Anggi yang berhasil membuat Raihan terkejut sekaligus cemas

"Hah? Jangan Kak,"

"Kakak juga gak mau Dek. Kalau gitu, boleh ya? Uang nya Kakak pinjam?"

"Hm," Anggi menatap Raihan, menunggu. Berharap adiknya itu menyetujui. Sedangkan Raihan, ia bingung sendiri. Satu sisi uang itu sangat dibutuhkan untuknya. Sisi lain ia juga memperdulikan Anggi.

"Yaudah deh." jawab Raihan, mampu membuat Anggi tersenyum mendengarnya. Raihan mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan di dalam tas nya. Kemudian menyodorkannya ke Anggi.

"Nanti kalau Ibu tanya, Raihan jawab apa?" tanya Raihan

"Nanti Kakak bantu, sekarang kamu cepat-cepat naik angkot biar gak telat ke sekolahnya. Makaasih ya Dek, hati-hati di jalannya." ucap Anggi bertepatan dengan kehadiran angkutan umum yang tengah menujunya.

"Hm iya, Kak." jawab Raihan. Ia kemudian melambaikan tangan, menyetopkan angkot. "Raihan duluan, Kak." pamitnya kemudian menaiki angkot.

****

Sepulang sekolah, Raihan kali ini pulang sendiri tanpa di jemput Anggi. Ia sempat lelah menunggu Anggi yang belum juga menjemputnya. Awalnya ia menolak beberapa angkutan yang lewat karena masih ingin menunggu Anggi. Namun hampir satu jam lebih, kakaknya sama sekali tidak datang. Bagaimana tidak, Anggi sibuk mencari hadiah boneka untuk Nisa.

Karena berhubung waktu hampir sore, Anggi menunda rencananya hari ini. Ia menitipkan boneka itu di toko, dimana dia membelinya. Besok barulah Anggi akan memberikan hadiah itu ke Nisa dan segera mengungkapkan perasaannya ke Nisa sekaligus berusaha memintanya agar dijadikan sebagai kekasih.

Setelah sampai dan masuk ke rumahnya, Anggi mendapatkan Raihan dengan Ibunya yang tengah mengobrol. Anggi mengalihkan pandangannya menuju Raihan, dilihatnya Raihan sedang menundukkan kepala.

"Ada apa, Bu?" tanya Anggi ke Ibunya.

"Adik kamu ini. Dia bilang uang buat bayar Lks-nya hilang." jelas Rahma memberi tahu.

Raihan menoleh ke arah Anggi, berharap Anggi bisa membantunya dari amarah Ibunya.

"Kok uangnya dihilangin sih, Dek? Seharusnya rawat baik-baik dong. Ibu kan nggak punya uang banyak. Kita nggak punya ayah. Ibu susah cari uang. Harusnya kamu ngerti itu dan hati-hati," ucap Anggi menatap Raihan. Nadanya terdengar menceramahi dengan sedikit kasar.

Raihan mengernyitkan dahinya, menatap Anggi yang kini terlihat tidak menepati perkataannya sebelumnya.

"Tuh dengar, Raihan. Rawat uangnya baik-baik. Ibu mati-matian ngumpulin uang buat kamu, tapi kamu malah ceroboh. Mau gimana lagi? Ah, sudahlah. Bilang lagi ke guru kamu buat ngasih lagi ibu waktu. Kamu usahain sendiri. Kepala ibu pusing," ucap Rahmah kesal lalu pasrah. Sementara Raihan kembali menundukkan kepalanya. Ia tidak menyangka terhadap kakaknya yang ternyata berbohong kepadanya. Tidak menepati janjinya untuk membantunya.

"Bu, maafin Raihan. nanti Raihan ganti, ya," ujar Raihan kepada rahmah. Mata anak kecil itu berkaca-kaca. Memegang baju ibunya, berharap mengasihaninya.

Rahmah mengatur napas. Menatap putra bungsunya, luluh sudah amarahnya karena rasa sayangnya sebenarnya lebih besar.

"Sudah. Nanti Ibu usaha nyari uang lagi." Rahmah kemudan melirik Anggi. "Anggi kamu juga! Kenapa Raihan pulangnya sendiri? Kamu gak jemput Raihan ke sekolahannya? Jam segini baru pulang, Raihan juga baru barusan nyampenya. Kalian ini gimana, kata Ibu juga motor itu buat kalian berdua. Motor bekas almarhum ayah harus kamu manfaatin baik-baik." Rahma kembali bersuara.

"Raihan nunggu Kakak lama, Bu. Tapi Kak Anggi gak datang buat jemput." ucap Raihan menjelaskan. Anggi yang mendengar itu langsung saja panik lalu mencari-cari alasan untuk melawan perkataan Raihan.

"Bukan gitu, Bu." kata Anggi cepat, berusaha mengalihkan pandangan Ibunya. "Sebenarnya Anggi yang nungguin lama, Tapi Raihan gak ada di tempat nunggu seperti biasa. Udah hampir satu jam lebih Anggi tunggu. Anggi juga sempat nyari, terus pas nanya ke Pak Satpam, katanya semua murid di sekolah sudah gak ada lagi yang di dalam. Makanya Anggi baru pulang sekarang." Tutur Anggi berbohong.

Mendengar penjelasan sang kakak, mata Raihan kini mulai panas. Dia berusaha menahan air mata. Sangat kecewa. Ingin sekali dia mengadu yang sebenarnya kepada Ibunya, tetapi entah karena apa dia berpikir rasanya itu akan percuma. Kakaknya pandai berbohong.

Sedari tadi perkataan kakaknya selalu mampu membuat Ibunya percaya. Seperti sekarang, Rahmah menatap mata Raihan serius, terlihat juga dalam raut wajahnya seperti tengah menahan kesal.

"Ya sudahlah, Ibu tidak mau memikirkannya lagi." ucap Rahmah sambil berjalan pergi meninggalkan Anggi dan Raihan.

Napas Raihan tak karuan.

"Kakak, tega," lirih Raihan kemudian.

"Dek," Anggi memegang pundak Raihan, namun Raihan langsung menepisnya kemudian berjalan menuju kamarnya.

To be continued...

______________________________________

Jan lupa tinggalkan jejak:))

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang