(6) Flashback

158 15 1
                                    

-Kita ini berbeda. Aku masih hidup dan kamu sudah mati. Jangan ganggu aku.-

Tahun 2000

Seorang anak kecil sering menangis. Ia selalu bercerita kepada sang mama tentang penglihatannya yang menakutkan. Sang mama yang tahu suaminya pasti sedang sibuk, ia memilih bercerita kepada sahabatnya melalui via telepon.

"Sel, aku bingung harus berbuat apa. Anakku sering menangis. Katanya, ia melihat sosok tak kasat mata. Padahal aku dan Jensen tidak pernah merasakan adanya sesuatu yang seperti itu di rumah."

"Kamu sudah coba membawanya ke orang pintar?" tanya Selly di seberang sana.

"Aku tidak berani, Sel. Kamu tahu sendiri, kalau Jensen tahu, bisa-bisa ia marah besar."

"Begini saja, gimana kalau nanti kita ketemu? Seminggu lagi aku akan ke Indonesia. Aku punya kenalan orang yang pintar mengatasi hal-hal begituan. Dan lagi, kudengar dari Andy, ia akan berangkat ke Jerman bersama suamimu."

"Benarkah? Ini kabar baik. Aku tunggu kamu di Indonesia. Aku tutup dulu, ya. Besok masih harus bangun pagi. Terima kasih, loh, Sel."

"Sama-sama. Sampai ketemu nanti."

Sambungan telepon sudah terputus. Iren yang menutupnya. Irene mematikan lampu kamarnya, lalu ia terlelap. Dalam tidurnya, Irene masuk ke suatu tempat, di mana hanya terlihat adanya Bara dan Dara dan di sana, Bara sedang melindungi Putrinya. Irene mengalami mimpi yang panjang. Tapi di dunia nyata, waktunya hanya singkat.

Besoknya Irene bercerita ke Selly. Aneh sekali, mereka mengalami mimpi yang sama. Mereka berdua saling mengenal sejak kecil, lalu masing-masing bertemu dengan pasangan hidup di sekolah dan sekarang anak mereka ditakdirkan untuk bersama. Bagi mereka berdua, sungguh bahagia sekali, jika semua itu menjadi kenyataan.

SEMINGGU KEMUDIAN

Begitu Selly tiba di Indonesia, ia langsung pergi menemui Irene. Mereka berdua saling berpelukan melepas rindu.

"Capek?"

"Banget. Tapi hilang begitu saja, kalau sudah bertemu kamu."

"Sori, ya. Aku bukan Andy."

Mereka berdua merasa geli sendiri, kemudian tertawa bersama.

"Jadi, kita kapan mau pergi ke tempat kenalanku itu?" tanya Selly.

"Kamu bisanya kapan?"

"Malam ini saja. Gimana?"

"Tadi katanya capek banget. Lalu sekarang, kamu sudah tidak merasa capek? Apa tidak sebaiknya ditunda dulu? Besok saja, gimana?"

"Aku kuat. Kita pergi malam ini saja, biar cepat kelar."

"Oke. Dasar kamu ini. Kalau sudah ingin sesuatu, pasti dilakukan saat itu juga."

Selly tersenyum, lalu berkata, "itulah aku."

"Oh, iya, lupa tanya. Jadi, Dara perlu ikut?"

Selly menggeleng. "Sebaiknya tidak perlu. Kita coba pergi tanya ke orangnya dulu. Kalau sudah cocok, baru kita bawa Dara ke sana."

"Baiklah kalau begitu."

Malamnya hujan deras. Irene merasa ragu untuk pergi malam itu, tapi Selly berusaha membujuk Irene.

"Ayolah, aku yang akan nyetir. Kamu duduk saja di samping."

"Tapi, ini hujan deras, Sel. Aku masih ragu."

"Sudah, tenang saja, kita pasti aman."

Akhirnya, Irene pasrah mengikuti Selly. Jarak dari rumah menuju tempat itu sangatlah jauh. Menembus kemacetan dan jalan yang lumayan parah kerusakannya, membuat Selly sedikit tidak sabaran.

"Aduh, ini malah pakai segala macet," eluh Selly.

"Namanya juga lagi hujan deras, Sel. Sabar saja dulu."

"Iya, deh."

"Nah, tuh, sudah bisa jalan."

Selly tertawa. "Memang kamu ini selalu lebih sabar dari aku, ya."

Saat sedang keasikan berbicara sembari tertawa, mereka kaget melihat sebuah mobil yang melaju dari arah kanan sudah melewati jalur. Selly tampak panik dan bingung harus berbuat apa. Lantaran tempat Selly lebih berbahaya, Irene langsung membanting setir dan tabrakan itu pun tidak dapat dihindari.

Mendengar kabar Irene dan Selly mengalami kecelakaan, Jensen dan Andy langsung kembali ke Indonesia. Orang yang menabrak mobil Irene, saat itu sedang mabuk dan baru saja diputusi oleh pacarnya, ia mati di tempat. Irene di perjalanan ke rumah sakit kehabisan banyak darah dan tidak terselamatkan. Sedangkan Selly, ia mengalami koma dan Jensen membawanya ke luar negeri agar Jensen bisa lebih sering untuk melihat dan merawat Selly.

Semua terjadi begitu cepat. Jensen tidak bisa bertemu dengan Irene untuk yang terakhir kalinya. Ia sangat menyesal. Akhir-akhir ini pun dia bersikap begitu dingin, bahkan terhadap putrinya sendiri.

Jensen tidak tahan melihat Dara. Melihat Dara membuatnya terus merasa sedih dan terpukul. Rasanya nyawa Jensen seakan melayang. Siang itu Jensen berencana untuk meninggalkan Indonesia. Ia sudah bersiap-siap dan menurunkan kopernya. Dara dari atas tangga menjerit, "Papa! Jangan pergi! Aku berjanji akan menuruti Papa. Aku janji tidak akan merepotkan Papa. Tolong, Pa, jangan pergi."

Dara menangis tersedu-sedu, hingga penglihatannya mulai kabur. Ia menuruni tangga terburu-buru, hingga kesandung dan akhirnya jatuh dari atas sana.

Suara benturan terdengar begitu jelas, Jensen berbalik dan ia langsung melihat keadaan Dara. Dipelukannya, kepala Dara sudah mengeluarkan darah segar dan Dara tidak sadarkan diri.

Jensen berlari menggendong Dara menuju mobil. Ia menyetir seperti kesetanan, tak jarang ia terkena makian orang-orang sewaktu di perjalanan menuju rumah sakit.

Setiba di sana, Dara langsung ditangani oleh dokter. Jensen memukul dirinya sendiri. Rudi yang baru tiba, segera menghentikan aksi Jensen.

"Tuan, jangan begitu. Sadarlah!" Pak Rudi menampar wajah Jensen. "Maaf, Tuan."

Jensen terdiam. Ia duduk di kursi terdekat. "Aku tidak pantas hidup. Lebih baik aku mati."

"Tuan, sadarlah, Dara masih butuh Anda di sini."

"Aku sudah tidak bisa menjadi Papanya. Aku tidak pantas." Jensen meremas-remas rambutnya. Lalu, ia berdiri dan berjalan mendekati Pak Rudi. "Tolong bantu aku jaga Dara. Aku harus pergi."

"Tapi, Tuan..."

Jensen berbalik, lalu ia memilih pergi begitu saja. Sebelum meninggalkan Indonesia, ia pergi melihat tempat peristirahatan istrinya. "Maafkan aku, sayang. Aku tidak bisa menjadi suami yang terbaik untukmu. Aku akan pergi. Tolong bantu aku jaga Dara dari sana. Selamat tinggal, sayang."

Dara di dalam sedang berjuang untuk hidup. Di dunia nyata, kegelapan menghampirinya, tapi di dunia sekarang ini, ia melewati sebuah cahaya terang berwarna putih. Di kejauhan sana, ada seseorang berdiri dan terus melambaikan tangan menyuruh Dara menghampirinya. Dara berjalan mendekat, tapi ia berhenti ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya, memanggil namanya, "Dara."

Dara berbalik dan ia melihat senyuman yang selalu membuatnya merasa bahagia. "Mama," panggilnya. Ia berlari memeluk dan menangis. "Mama! Aku mohon, kembalilah."

"Tidak, sayang. Mama sekarang di sini dan mama sudah sembuh."

"Kalau begitu, aku ikut mama di sini saja."

"Jangan, sayang, kamu harus kembali. Masih panjang perjalananmu di sana," tunjuk Irene menuju sebuah cermin.

Seseorang tiba-tiba datang dan mencoba menarik Dara. Sosok itu yang tadinya melambai-lambaikan tangan mencoba menarik Dara.

"Jangan ganggu dia!" jerit Irene.

"Aku harus membawanya. Dia milikku."

"Sayang, dengarkan Mama. Kamu harus berusaha untuk tetap hidup. Papa masih membutuhkanmu. Semua orang masih butuh kamu, sayang."

Tiba-tiba Dara tersadar. Ia seperti terikat oleh sesuatu yang tidak terlihat. Ia mulai meronta dan menangis sejadi-jadinya. Pak Rudi berlari memanggil dokter.

Dara melihat sekeliling ruangannya berubah menjadi warna merah darah, kemudian berubah menjadi sebuah tulisan di dinding. Di sana tertulis, 'kamu milikku', lalu Dara pingsan.

BARA DAN DARA #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang