(11) Tolong

211 15 3
                                    

Sekolah terlihat sepi, ruangan kelas sudah kosong dan para guru sudah tidak terlihat. Jam pulang sudah berlalu tiga puluh menit. Seseorang berlari terburu-buru kembali ke sekolah. Ia ketinggalan ponselnya di laci.

"Wah, syukurlah, ketemu. Kalau tidak ketemu ponsel ini, bakalan kepikiran terus."

Ia keluar dari kelas dengan berjalan santai sembari bersenandung. Seperti merasa diikuti seseorang, ia berbalik dan benar saja, ada seseorang yang membuntutinya dengan jarak yang lumayan jauh. Merasa ada yang tidak beres, ia berlari dan orang itu mengejarnya hingga ia terjatuh dan terluka.

Tercetak jelas di wajahnya, saat ini ia sedang ketakutan dan hampir menangis. Tatapan mata pria itu begitu mengerikan, begitu menangkapnya. Tangan kekar mencengkram erat leher gadis itu hingga tidak berdaya.

Rasa sesak dan kesakitan membuat ia serasa sudah di ambang kematian. Lambat laun matanya mulai meredup dan ia hampir kehilangan napas. Seseorang yang di kenal langsung mencegahnya.

"Lepaskan dia, Pa!" Tanpa menunda-nunda, orang itu mendorong pria itu.

"Jangan ganggu!"

"Ka-kamu sebut di-dia...," sudah terlalu lemah, hingga gadis itu pingsan di tempat.

"PAPA! BERHENTI MENYAKITI ORANG LAIN! AKU CAPEK!" jeritnya penuh amarah.

"Sebaiknya kamu segera bawa dia pergi dan tutup mulutnya sebelum aku bunuh dia."

Ia tahu, tidak mungkin melawan di saat seperti ini. Selain itu, ia tidak ingin mengambil resiko dengan nyawa seseorang yang ia kenal terancam habis di tangan Papanya sendiri.

Ia menggendong gadis itu dan membawanya ke rumahnya. Ia mengobati luka bekas cekikan Papanya di leher gadis itu. Ia menatap cukup lama wajah gadis tak berdaya terbaring di ranjangnya, lalu ia bersuara, "maafkan aku. Maaf, aku sudah telat menolongmu."

Kedua matanya terbuka lebar, lalu ia menjerit, "AAAAAAA!"

"Hei. Sasa. Sasa! Ini aku! Sadarlah!"

Merasa mendengar suara yang ia kenal, ia berhenti menjerit, lalu matanya menatap cukup lama orang di hadapannya.

Pertanyaan keluar dari bibir mungil Sasa, "Kamu sebenarnya siapa?" Pertanyaan yang paling tidak ingin di dengar oleh orang di hadapannya. Orang itu menggeram, lalu ia membanting barang-barang yang ada di sekitarnya.

Sasa ketakutan. Badannya bergetar. Sekarang, ia sudah tidak lagi mengenal orang itu.

"Lebih baik kamu tidak perlu tahu. Mulai sekarang kamu tidak boleh keluar dari sini," ucap orang itu sembari mengikat kedua tangan dan kaki Sasa.

Anehnya, Sasa tidak menolak. Sasa hanya berkata, "apa ini atas kemauanmu?"

"Diam lebih baik. Tetap di sini kalau tidak mau nyawamu melayang."

Suara pintu tertutup, setelahnya ada suara pintu di kunci terdengar di telinga Sasa. Sasa terdiam. Ia masih belum paham situasinya saat ini.

Sementara di luar sana, semua orang masih belum menyadari bahaya yang sesungguhnya.

***

Sudah dua jam lebih Bara menunggu kedatangan Sasa dan Bara sudah menghabiskan dua gelas kopi dan sudah mencoba menghubungi Sasa sebanyak dua belas kali.

Rasa kesal memenuhi dirinya, tapi ia masih berusaha untuk berpikiran positif. Ia menghubungi yang ketiga belas kalinya dan kali ini ponsel Sasa sudah tidak aktif.

"Menyebalkan." Bara memilih pulang ke rumah.

Sesampainya di depan rumah, Bara melihat Dara tampak panik di seberang sana. Bara menghampiri Dara, lalu ia memegang punggung Dara. "Kamu kenapa?"

Dara berbalik. Melihat Bara, ia langsung memeluk dan menangis. Bara tidak mengerti apa yang terjadi dengan Dara, tapi ia hanya bisa menepuk punggung Dara.

Merasa sadar, Dara segera menjauh dari Bara. Bara mendekati Dara, lalu ia memegang kedua pundak Dara. "Tatap aku, Dara." Dara menatapnya, "Jawab aku, kamu sebenarnya kenapa?"

Badan Dara mulai bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca. "Bagaimana ini...,"

"Kamu kenapa, Dara? Katakan saja padaku."

"Tadi Mama Sasa telepon. Katanya, Sasa belum pulang dari tadi. Di mana dia? Aku harus mencarinya ke mana?"

Pantas saja, dia tidak datang. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengannya, batin Bara dalam hati.

"Sekarang kamu tenang dulu. Aku akan mencarinya."

"Aku ikut."

Bara berpikir sejenak, lalu dengan mantap ia mengangguk.

Lebih baik Dara di sampingku. Aku masih belum tahu mana teman dan mana lawan, pikirnya sembari menuntun Dara masuk ke dalam mobilnya.

Di perjalanan Bara sempat bingung harus mencari mulai dari mana. "Ada tempat yang biasa kamu dan Sasa suka datangi?"

"Kami lebih sering bertemu di sekolah," jawab Dara.

"Terakhir bertemu dengan Sasa itu kapan?"

"Sebelum pulang ke rumah, aku masih melihat Sasa di sekolah."

"Mungkin dia masih berada di sekolah. Kita coba cari dari sana."

Tanpa menunggu jawaban Dara, Bara sudah berbalik arah mobilnya dan melaju lebih cepat dari sebelumnya.

Tiba di sekolah, gerbang sudah terkunci. Melihat suasana sudah sepi, Dara sedikit ragu kalau ada Sasa di dalam sana. "Sebaiknya kita cari ke tempat lain. Tidak mungkin ada Sasa di sana. Sudah sepi begitu."

"Belum tentu. Mungkin dia terjebak atau pingsan di dalam sana. Bisa jadi begitu," balas Bara dengan raut wajah serius. "Kamu tunggu di dalam mobil dan kunci pintunya. Aku yang akan mencari Sasa," lanjutnya.

Dara melotot. Ia refleks menarik lengan Bara. "Ja-jangan pergi. Aku takut."

Bara tersenyum, lalu ia mengelus kepala Dara dengan tangan sebelah kanannya. "Aku akan segera kembali. Tunggu di dalam, ya."

Dara sadar, ia tidak seharusnya seperti ini. Sasa harus ditemukan terlebih dahulu, ia harus bersikap dewasa. Dara memilih masuk ke dalam mobil Bara, lalu ia menekan tombol mengunci.

Bara memanjat gerbang sekolah dan berhasil mendarat. Sebelum pergi, Bara masih sempat berbalik dan melambaikan tangan di udara dan tersenyum kepada Dara. Degup jantung Dara berdetak tidak karuan. Dara menepuk kedua pipinya. "Ini bukan saat yang tepat untuk berdebar," gumam Dara.

Sudah sepuluh menit berlalu dan Bara belum menampakkan diri. Dara mulai bergerak tidak nyaman dan ia memilih keluar dari mobil. Dara berjalan dan berhenti tepat di depan gerbang. Ia mulai merasakan sesuatu yang ganjil.

Dara mulai ketakutan dan ia memberanikan diri untuk berteriak memanggil nama Bara. "BARA! BARA!"

Dari kejauhan, terlihat seseorang muncul dan bukan Bara orangnya, melainkan seorang wanita. Sudah tidak asing melihat sosok mengerikan.

Dara berlari ke dalam mobil dan segera menekan tombol mengunci. Ia merasa sosok itu ada di sekitarnya. Dara menutup kedua matanya dan mulai berdoa.

Seseorang mengetuk kaca mobil di sampingnya. Dara tidak berani membuka mata. Ketukan pintu semakin keras dan Dara semakin ketakutan.

Selang beberapa menit, suara ketukan kali ini berbeda. Sekarang dari sebelah kanan. Dara membuka kedua matanya dan ia langsung membuka pintu.

"Dia tidak ada di sini," ucap Bara begitu masuk ke dalam mobil. Dari samping, Dara meneteskan air mata sembari melihat Bara, "Syukurlah, kamu selamat."

Bara mengernyit. Tapi ia mengerti, bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Bara memilih memeluk Dara dalam diam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BARA DAN DARA #WYSCWPDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang