IM(Possible) 8

64 27 6
                                    

Vote sebelum membaca dan comment setelah membaca.

Happy reading!

"Eh- Kevan? "

Vanya beruntung pagi ini, awal berjalan untuk masuk kelas malah bertemu Kevan. Tapi dia bukan orang yang peka terhadap kedepannya, jadi bertemu Kevan adalah hal yang biasa saja.

"Iya, gimana? Kemarin. "

Alis Vanya bertaut.
"Apanya yang gimana? "

Selalu! Selalu saja. Tak ada yang lucu menurut Vanya, tapi Kevan, pria itu selalu saja tersenyum dan tertawa dalam keadaan apapun.

Bukan seperti orang gila pada umumnya, yang tertawa sendiri tapi menakutkan. Tidak dengan Kevan, senyumnya, dan tawanya menjadi idola bagi Vanya.

"Saya udah bilang sama Kamu kemarin, semoga bahagia. Lalu, udah bahagia belum kemarin? "

"O--oh,"

Ternyata, kata-kata itu mempunyai dampak besar untuk hari ini.

"Yah, gitu deh. Bahagia banget, ditambah makan cokelat dari Lo. Manis banget ya? Beli dimana sih? Kayaknya Gue gak liat bungkusan cokelat itu deh di Kedai cokelat Opa Frankie, kemarin. "

Kevan kembali tertawa, tawa membahagiakan.

"Manis?  Iya, manisnya hampir mirip sama Kamu. "

Wohow..

Vanya diam, namun pipinya bereaksi. Ada sedikit noda merah disana, noda yang membuatnya bertambah, cute kalau kata orang.

"Jangan gitu Kev--"

"Kenapa? Takut didengar pacar Kamu ya? "

"Hah? "

Tak ingin berlama-lama ia mengiyakan saja. Lagipula, Kevan benar juga.

"Gue ke kelas ya. Guru pertama, Bu Mayang. Killer. "

Vanya berlalu, dengan terburu-buru. Tak mau jika, Bima, atau teman-temanya yang lain melihat kedekatannya dengan Kevan.

Kelas yang diajar oleh Bu Mayang tampak hening. Guru yang memiliki wajah cantik itu sebenarnya baik, hanya saja, banyak sebagian murid yang selalu bolos pelajarannya karena hanya membuat bosan, begitu presepsi mereka. Hal itu membuat Bu Mayang, mau tak mau harus berlaku kejam sendiri.

"Van," panggil Gendis pelan, takut-takut Bu Mayang mendengarnya.

"Hmm.. "

"Lo udah tau belum? Masalah Cayla, "

Vanya menoleh,
"Kenapa, Cayla? "

"Denger-denger, " sejenak Gendis melirik Bu Mayang, yang sedang mengutak-atik ponsel. Merasa cukup aman Gendis kembali menatap Vanya yang serius menyalin tulisan di papan tulis.

"Dia, mau keluar dari dance, "

"Hah? Kenapa? "

Gendis mengangkat kedua bahunya pertanda tak tahu.

"Denger-denger lagi, Dia kesel sama Lo, karena Lo suka ngatur-ngatur, gitu deh, Gue gak tahu pasti. "

Vanya diam, gerakan menulisnya terhenti. Jika benar apa yang dikatakan Gendis, pasti itu akan membuat semuanya runyam.

Cuma Zivana yang bisa bantu Gue bertahan. Batinnya berkata.

Ia tak paham, bukan hanya Zivana yang ia butuhkan. Tapi sosok pengertian yang selalu memiliki seribu cara untuk nembuat dirinya bahagia.

IM(Possible)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang