Citanduy, Jawa Barat
Bebatuan besar bermunculan di atas permukaan air yang keruh dan berarus deras. Berkali-kali batuan itu tenggelam oleh derasnya arus yang mengalir. Airnya yang berwarna kecokelatan menutupi kedalaman sungai dengan lebar hampir 20 meter.
Beberapa orang tampak duduk berjejer di atas batu besar. Tak ada rasa takut di wajah mereka, meski malam semakin pekat. Seorang lelaki dengan memakai pakaian serba hitam, menaburkan segenggam bunga ke atas air sungai yang bergulung-gulung. Bunga-bunga itu ikut bergelung-gelung dengan air sungai yang keruh. Tak tampak lagi warna bunga, semuanya terkabur oleh warna hitam.“Benar. Di sini tempatnya?” ucap Ki Guntur. Empat orang lainnya saling mengangguk dan bertatapan. “Kita mulai ritual,” ucapnya memerintahkan.
Lima orang itu mulai membakar kemenyan yang tersaji dalam sebuah nampan yang berisi berbagai jenis bunga, telur, dan segelas kopi. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra.
Sisi-sisi sungai banyak ditumbuhi tanaman bambu. Pohon-pohon bambu itu membentuk rumpun yang kokoh, saling menyokong dan menopang. Suara-suara dedaunan bambu yang tertiup angin malam menghasilkan bunyi-bunyian yang membuat bulu kuduk merinding. Suasana gelap dan dalam benar-benar menyelimuti sungai ini.
Hampir 30 menit, pembacaan mantra berlangsung. Tak ada perubahan apapun pada keadaan di sekitar mereka. Semakin tak ada perubahan makan semakin kuat tafakur mereka. Berharap apa yang mereka inginkan dapat terwujud.
Gemuruh air sungai yang deras dan suara daun bambu yang tertiup angin menghasilkan harmonisasi yang sangat dalam. Menyayat. Memilukan. Seperti nyanyian kematian yang terus mengintai. Seperti suara burung kondor –burung pemakan bangkai− yang menunggu kematian mangsanya.
“Buang sesajen ke dalam sungai,” perintah Ki Guntur. Seorang lelaki dengan sigap langsung membuang nampan berisi sesajen. Sedetik kemudian isi nampan itu berhamburan ke dalam air, dan bergulung-gulung bersama air sungai. Kemudian menghilang oleh derasnya air dan pekatnya malam.
Ketika isi nampan itu hilang, Ki Guntur langsung meloncat ke batu yang lebih rendah. Membuatnya lebih dekat dengan air sungai. Kaki kirinya sedikit berjinjit, sedangkan kaki kanan bertekuk di atas batu. Tangan kanan menggapai-gapai ke dalam air sungai. Berusaha mencabut sesuatu. Mulutnya terus membacakan mantra.
Melihat Ki Guntur sedikit kewalahan, dua orang yang tadinya duduk berusaha membantunya. Tangan kiri Ki Guntur dipegang dengan erat oleh keduanya. Mereka bertiga berusaha mencabut sesuatu yang –entah apa− sangat berat.
Perebutan terjadi hampir selama 30 menit, tidak ada sesuatu yang berhasil di cabut dari dalam sungai. Dua orang yang menarik tangannya semakin kepayahan, suara napas mereka memburu seiring dengan tenaga yang mereka keluarkan.
“Mereka tidak memberi izin. Kita lepaskan dulu,” ucap Ki Guntur sebari melepaskan sesuatu di dalam air. Tiga orang –termasuk Ki Guntur− terlempar ke belakang ketika melepaskan pegangannya. Ekspresi Ki Guntur tampak muram, berubah ratusan derajat dibandingkan tadi ketika akan memulai ritual.
Lain kali pasti dapat, begitu pikir mereka. Ini hanya soal waktu. Mereka bertafakur dengan lebih khusyuk, meskipun ada gurat kekecewaan di wajah mereka berlima.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAMANEA
Historical FictionBlurb Keinarra Galuh seorang mahasiswi keturunan Indonesia-Jepang. Ia terbang ke Indonesia untuk menemukan harta karun atas perintah neneknya. Tapi semakin terang teka-teki rahasia itu, ia justru semakin dekat dengan bahaya. Bahkan semakin dekat den...