Sri Baduga, Bandung
Bangunan dengan atap memanjang dan berbentuk panggung tersebut menyambut kedatanganku. Ada tulisan Museum Sri Baduga dalam huruf latin, kemudian di bawahnya ada sebuah tulisan yang aku tidak mengerti. Sebuah logo pemerintahan terpampang di atas tulisan latinnya.“Arra, kamu bisa tunggu di sini sambil melihat-lihat. Aku akan ke bagian perkantoran untuk menemui temanku. Semoga dia mau menemui kita.”
Aku mengangguk, seketika Edwin berlalu menuju ruangan perkantoran.Semalam Edwin menyerah ketika memecahkan teka-teki pada kertas lusuh yang aku miliki. Dia menyarankan agar kami menemui seorang teman yang bekerja di Museum Sri Baduga ini. Dia sangat yakin bahwa temannya bisa membantuku.
Setelah Edwin berlalu, aku memutuskan untuk menikmati kunjungan pertama di Sri Baduga. Ruangan pertama yang aku kunjungi adalah ruang pameran yang terdapat di lantai 1. Di sana ditampilkan berbagai benda dalam perkembangannya, mulai dari sejarah sampai budaya Jawa Barat. Berbagai macam benda peninggalan prasejarah di perlihatkan di ruangan ini.
Aku masih terkagum-kagum melihat segala benda yang tersusun rapi di museum ini. Ketika aku sampai di sebuah naskah kuno, pantulan kaca yang melindunginya memperlihatkan mataku yang bersinar-sinar karena kagum.
Aku membaca penjelasan yang terpampang di luar kaca. Ketika aku membaca, terlihat pantulan seseorang sedang memperhatikan aku.
Aku menoleh, lelaki kurus dan tinggi itu, tergagap karena aku memergokinya. Raut mukanya datar, aku rasa usianya hampir memasuki usia 50 tahunan. Dia memakai ikat kepala, mungkin pakaian khas daerah Jawa Barat. Aku tersenyum ke arahnya, karena tak mengenali, aku tak menghiraukannya lagi.
Aku kembali sibuk membaca dan memperhatikan naskah-naskah kuno yang dipajang. Huruf-hurufnya hampir sama dengan sobekan kertas yang aku miliki. Tapi tidak sama persis –aku rasa− seperti pada kertas itu. Atau mungkin karena aku tidak mengingatnya.
“Pencuri! Pencuri!”
Aku kaget mendengar sebuah teriakan dan langsung menoleh mengikuti sumber suara. Dengan sedikit enggan, mataku mulai mengekor mengikuti arah sumber keributan. Siapa yang mencuri di siang hari seperti ini?
Suara itu berasal dari lelaki kurus tadi. Dan sekonyong-konyong dia sedang menunjuk ke arahku.Deg!
Aku sedikit terkejut, ekspresi bingung langsung menyergap. Aku hanya menoleh ke arah kanan dan kiri, tak ada siapa-siapa di sana, hanya ada aku yang terdiam, dengan mata liar mencari sosok yang sedang ditunjuk-tunjuk. Aku tergagap, situasi seperti ini tidak pernah aku alami sebelumnya.
Beberapa pengunjung, menatap ke arahku, seakan-akan menguliti sampai ke tulang-tulang. Mencari barang yang telah aku ambil. Tatapan mata mereka tajam, seolah-olah aku memang telah melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Ekspresi bingung pasti membuat mereka bertambah yakin bahwa aku adalah seseorang yang bodoh, yang mencuri di siang hari bolong, di sebuah museum dengan penjagaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAMANEA
Historical FictionBlurb Keinarra Galuh seorang mahasiswi keturunan Indonesia-Jepang. Ia terbang ke Indonesia untuk menemukan harta karun atas perintah neneknya. Tapi semakin terang teka-teki rahasia itu, ia justru semakin dekat dengan bahaya. Bahkan semakin dekat den...