Kamu pulang ke Indonesia, tapi tidak ke rumah?
Ibu sakit, pulanglah dulu.Sebuah pesan melalui aplikasi messenger membuat napas tercekat. Ibu sakit? aku masih berpikir antara mempercayai atau mengabaikan pesan tersebut. Semenjak nenek –dan keluarga− mengirimku pada situasi sulit ini, rasanya aku sudah ingin menghilang dari muka bumi ini.
Belum lagi masalah yang ditimbulkan dari sobekan kertas, yang entah berharga atau tidak. Tapi sobekan itu membuatku harus berurusan dengan hal-hal yang tidak biasa. Termasuk membuatku merasakan penggeledahan atas tuduhan pencurian di Sri Baduga. Untung Edwin dan temannya bisa meyakinkan bahwa aku datang bersama mereka.
Uhh, aku membuang napas dengan kasar. Mencoba menghilangkan beban penat yang seakan tak mau pergi. Malah semakin bertambah dan terus menumpuk. Kertas sialan itu membuat hidupku kacau dan tak jelas.
Niat untuk bertemu teman Edwin juga gagal, karena tuduhan aku mencuri. Urusan yang panjang dan ribet membuat diskusi tentang kertas sobek itu di undur. Berapa lama lagi aku harus menunggu semua ini selesai?
***
Seorang anak kecil menyenggol bahu. Dia duduk di sebelahku. Seorang wanita –aku yakin ibunya− menundukkan kepala, meminta maaf. Aku tersenyum sebari membalas permintaan maafnya.
Sekarang, aku harus kembali ke Palembang. Memastikan ibu baik-baik saja, kemudian kembali memecahkan misteri yang nenek berikan. Aku sudah memiliki rencana akan pulang ke Palembang setelah masalah sobekan kertas itu selesai. Ah, tapi rencana hanya jadi rencana. Toh sekarang aku sedang menuju ke Palembang. Bahkan sebelum teka-teki sobekan kertas mampu dibaca.
Seorang laki-laki berperawakan tambun berhenti di lorong tempat aku duduk. Kacamata hitam menyembunyikan arah tatapan matanya. Dia seperti memerhatikan anak di sebelahku atau mungkin memerhatikan aku. Setelah beberapa menit, dia berlalu, menuju kursi di bagian belakang.
Penerbangan kali ini masih sama dengan penerbangan sebelumnya. Aku berharap akan ada sesuatu yang besar dan menghentikan laju pesawat. Membuatku menghilang. Setidaknya untuk beberapa jam agar aku bisa sedikit bernapas lega.
“DIA MEMBAWA BOM!”, teriak seseorang di belakangku.
Aku terkejut dan langsung berdiri. Semua penumpang berteriak histeris dan panik. Aku hampir menurunkan barang bawaanku, sebelum ekor mata menangkap bahwa lelaki tambun berkaca mata tadi menunjuk ke arahku. Anak laki-laki di sebelahku, langsung di peluk ibunya. Aku melotot ke arah si penuduh.
Tuhan, kejadiannya mulai lagi, pikirku. Ini kejadian kedua kalinya, dengan kondisi yang hampir sama. Hanya saja, sekarang aku berada sebuah pesawat yang sempit dan sudah siap lepas landas.
. “Sial! Aku pikir dia sedang menatap anak itu. Ternyata aku sasaran sebenarnya,” ucapku dengan lirih.
Orang gila mana yang berani melakukan ini? Bermain-main di tempat terbatas seperti ini. "Hati-hati dengan tuduhanmu!”, aku membalas teriakannya.
Keributan itu memancing beberapa pramugari berdatangan. Dia mengatakan sesuatu ke arah pramugari. Aku tak dapat mendengarnya, karena beberapa penumpang mulai berteriak histeris, memandangku. Teroris adalah tingkat kejahatan paling berat di seluruh dunia.
Pria ini benar-benar mencari mati, pikirku sambil menggeleng-geleng kepala. Marah yang sudah menumpuk membuatku berlari menghampiri si penuduh. Aku ingin membuat perhitungan dengannya.
“Maaf. Bisa Anda ikut kami turun dari pesawat?” pinta seorang pramugari dengan sopan, Ia menghentikan langkahku yang penuh amarah. Aku tak menggubris. ”Saya akan sangat berterima kasih jika anda dapat kooperatif untuk menenangkan kekacauan ini,” lanjutnya tegas.
“Baik!” ucapku pelan, tak ada gunanya lagi mengelak. Aku membawa tas kecil turun dari pesawat, mengikuti pramugari. Pria dengan kacamata itu juga digiring sepertiku.
“Saya ingin pria itu dilaporkan pada otoritas keamanan bandara,“ ucapku mengarahkan telunjuk tepat di depan muka pria berkacamata.
“Masalah ini akan diperiksa lebih lanjut oleh otoritas keamanan bandara. Saya rasa anda berdua tidak bisa ikut penerbangan kali ini. Silahkan menyelesaikan permasalahan ini di otoritas keamanan,” pinta seorang pramugari. Aku tertunduk lesu. Hampir menangis.
Pria berkaca mata menuliskan sesuatu di tangan kirinya. Aku lirik apa yang dituliskannya. KIX no. Dia kemudian memasukkan tangannya dalam saku celananya. Dia berjalan dengan tenang, sangat tenang. Seolah-olah tidak ada kejadian aneh yang baru ditimbulkan oleh kelakuannya.
Aku menatapnya nanar, geram, dan marah membuncah di kepala.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAMANEA
Historical FictionBlurb Keinarra Galuh seorang mahasiswi keturunan Indonesia-Jepang. Ia terbang ke Indonesia untuk menemukan harta karun atas perintah neneknya. Tapi semakin terang teka-teki rahasia itu, ia justru semakin dekat dengan bahaya. Bahkan semakin dekat den...