“KIX no,” aku memberi tahu kabar melalui sebuah sambungan telepon. Sambungan telepon langsung terputus, tak ada lagi percakapan.
Ikuti KIX, laporkan tujuan. Sebuah perintah masuk melalui pesan singkat.Target berjalan ke arahku, menuju pintu keluar. Aku betulkan kacamata hitam, dia tidak boleh menyadari keberadaanku. Aku menjadi sangat penasaran ketika mereka menyebut namanya. Apa yang dia miliki?
Penampilannya terkesan biasa, tak ada yang istimewa. Celana jeans dan kaus putih yang tersembunyi di dalam blazer membuatnya terlihat lebih santai. Well, mungkin santai kata yang tepat daripada aku menyebutnya kuno. Tapi apa yang membuatnya menjadi istimewa?
Aku terlalu hebat untuk dibandingkan dengannya.
“Maaf,” perempuan yang menjadi target menabrakku. Buku agenda yang dia pegang seketika terjatuh. “Tidak apa-apa. Saya yang salah, berdiri terlalu depan,” aku buru-buru memungut agenda itu. Secepat kilat membuka isi agenda tersebut. Orang-orang berdesakan ingin segera keluar dari zona tersebut. Aku memberikan agenda pada target yang tadi menabrakku.
Perempuan itu berlalu dari hadapanku. Tak ada apa-apa dalam agenda tersebut.
Aku tersenyum seraya mengacungkan tangan. Memberi kode pada seseorang yang sudah menunggu aba-aba dariku.
***
“Edwin!”, aku berseru setengah berlari menuju arahnya. Dia berdiri, meletakkan ponsel yang sedang ditatapnya ketika aku memanggil. “Arra, apa yang terjadi?” sergahnya ketika melihatku.
“Seseorang menuduhku membawa bom. Aku menghabiskan berjam-jam untuk interogasi. Tak mungkin pergi ke Palembang sekarang. Aku akan pulang besok,” jelasku dengan nada kesal yang masih kental.
“Edwin!” sebuah suara mengagetkan kami. Edwin menarik badannya ke tempat semua. Aku menatap perempuan cantik yang berdiri tepat di depan meja.
“Hai, Sita?”
“Arra, ini Sita. Temanku,” Edwin memperkenalkan perempuan cantik itu. Dia menyodorkan tangannya ke arahku. Telapak tangannya putih pucat menghadap ke atas. Aku menyalaminya dengan hangat. Sita duduk di samping Edwin, menghadap arahku. Aku yakin perempuan ini sangat mengetahui tren fashion, melihat dari cara berpakaiannya.
“Sita, ada urusan apa kamu di Bandung?” Edwin bertanya sambil meminum lime squash di depannya. Dia sudah memesan duluan minumannya.
“Ada urusan yang harus diselesaikan Ed,” jawabnya sambil memainkan cincin di jari kelingkingnya. Dia memutar cincin itu searah jarum jam, seperti sedang memasang mur pada baut.
Aku terkekeh, perempuan secantik dan semodis dia memakai cincin di jari kelingking. Hal itu menggelikan dan sedikit janggal.
“Ada yang lucu Arra?”, tiba-tiba Sita bertanya, sorot matanya berubah menjadi tajam dibandingkan tadi. Minuman pesanan kami datang, Edwin terlihat sibuk dengan ponsel.
“Tidak ada Sita. Kamu sangat cantik. Biasanya perempuan cantik, menggunakan cincin berlian di jari manisnya, tapi kamu menggunakan cincin di jari kelingking. Maaf, aku bukan bermaksud mengkritikmu,” ucapku, sebari menarik minuman pesanan lebih dekat.
“Oh, ini yang bisa menyelamatkanku Arra,” Sita menjelaskan sambil melirik Edwin. Sita terkekeh, sorot matanya berubah menjadi jenaka, seperti semula. Tiba-tiba ponsel Edwin berbunyi. Dia menjawab ponselnya, kemudian terdiam sesaat. Ia menyerahkan ponsel itu kepadaku.
Apa?, aku bertanya dengan menggerakkan tangan –tanpa mengeluarkan suara− berusaha menggunakan bahasa tubuh. Edwin hanya menyuruhku mendengarkan suara di ponsel. Aku lirik layar ponsel, Diana. Apa yang terjadi? Biasanya Teguh yang menghubungiku.
Terdengar suara isakan tangis di ujung sambungan. Aku yakin Teguh tak ada di sana. Aku tak mengeluarkan suara apapun, hanya mendengarkan. Klik, sambungan di putus.
Aku menyerahkan ponsel itu pada Edwin, ”Ed, di mana kertas itu?”, tanyaku kemudian.
“Di rumah Teguh, Arra.”
Sita terlihat bingung dengan keadaan ini, dia berkali-kali mengangkat kedua alisnya, meminta penjelasan. Tapi pikiran kami terlalu berat mencerna semuannya, sehingga tak ada kesempatan untuk menjelaskan. “Kita pulang sekarang!” ucapku.
“Aku ikut!” Sita langsung berdiri.
Keadaannya menjadi benar-benar serius. Mereka yang mengejarku –entah siapa− tidak bisa menemukan kertas itu di dalam tasku. Tidak menemukan di pesawat juga. Sekarang mereka sangat yakin −mungkin mengetahui− bahwa kertas itu tersimpan di sebuah kotak di rumah Teguh.Ancaman keselamatan telah menemukan sasaran dan sasaran itu adalah keluarga Teguh.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAMANEA
Fiksi SejarahBlurb Keinarra Galuh seorang mahasiswi keturunan Indonesia-Jepang. Ia terbang ke Indonesia untuk menemukan harta karun atas perintah neneknya. Tapi semakin terang teka-teki rahasia itu, ia justru semakin dekat dengan bahaya. Bahkan semakin dekat den...