Bandung, Jawa Barat
"Maaf jika merepotkanmu," ucapku berusaha santai, sambil meremas jari-jari tangan. Mencoba bersikap sewajar mungkin. "Aku tak tahu harus menghubungi siapa lagi," ucapku dengan nada memelas.
"It's Okay. Aku akan berusaha membantu."
"Arigatou gozaimasta. Terima kasih banyak, Teguh," ucapku sambil membungkuk. Dia tersenyum.Aku melihat sekeliling ruang tamu yang cukup luas. Ada dua set kursi terpasang di sana. Ada pajangan bunga-bunga cantik di atas meja dan beberapa lukisan bentang alam yang menyejukkan mata. Kursi berwarna merah tua dengan motif batik yang khas. Indonesia sekali.
Di atas meja, di pojok ruangan ada beraneka ragam foto. Termasuk foto Teguh, beberapa fotonya bersama seorang perempuan cantik dan berjilbab. Dua atau tiga foto menunjukkan perempuan itu memeluk mesra Teguh. Foto selanjutnya adalah sebuah foto ketika Teguh dan perempuan itu mendekap seorang bayi mungil. Anak mereka.
"Anakmu lucu sekali," ucapku melirik foto di atas meja."Dia memiliki bentuk wajah yang mirip dengan ibunya. Hanya matanya yang mirip denganku," Teguh menjelaskan, dia menyeruput sedikit teh di hadapannya.
"Benarkah?" ucapku dengan sumringah, mendekatkan wajah ke foto yang tadi aku bahas. Teguh adalah sahabatku di Jepang. Dia berasal dari Bandung dan baru kembali ke tanah air beberapa bulan yang lalu. Sedangkan aku besar dan tinggal di pelosok Sumatera Selatan. Tapi jika orang bertanya tentang asal, aku selalu menyebut Palembang. Entah kenapa, tapi mungkin karena Palembang lebih dikenal orang banyak.
"Teguh, aku ingin kamu melihat surat milik nenekku. Mungkin kamu memahami tulisannya atau isinya. Aku ingin segera kembali ke Osaka." Aku mengalihkan pandangan dari foto-foto keluarga teguh. Berjalan setengah tergesa-gesa ke arah Teguh sambil merogoh tas kecil, mencari benda yang membuatku setengah gila.
"Arra, bagaimana jika kita melihatnya nanti malam. Saudara iparku sangat menyukai barang antik, aku rasa dia lebih bisa memberikan pencerahan kepada kita."
"Menurutmu lebih baik begitu? Baiklah. Aku rasa semakin banyak orang, semakin cepat terselesaikan, semakin cepat pula aku kembali."
Teguh mengacungkan kedua jempol. Ia paham betul kenapa aku ingin segera kembali ke kehidupan normal. Aku baru akan bertanya tentang saudara ipar Teguh. Tapi seorang perempuan cantik masuk, tangannya menggendong seorang balita. Tangan yang satunya membawa kantong penuh dengan belanjaan."Assalamu'alaikum. Eh, aya tamu. Pah, ini tamu anu ti Osaka teh?", ucapnya dengan senyum lebar, sebari menyerahkan balita dalam gendongannya ke pangkuan Teguh dan meletakkan belanjaannya di belakang kursi.
"Nepangkeun," perempuan itu mengulurkan tangan, "Saya Diana, istrinya Teguh. Dia sudah banyak cerita tentang kamu," suara Diana sangat lembut. Logat khas sunda sangat kentara.Aku menyambut tangannya, "Saya Keinarra. Tapi panggil saja Arra. Bukan dari Osaka, dari Palembang," aku berusaha tersenyum ramah pada perempuan cantik itu.
Diana menarik tanganku kemudian mencium kedua pipiku. Aku tersenyum mendapat respons seperti itu."Atos lami Arra?", aku mengerut mendengar ucapannya. Mengalihkan pandangan ke arah Teguh -meminta bantuan−, dia mengangkat bahu sebari tertawa. "Oh, lupa. Kamu tidak bisa Bahasa Sunda ya?" lanjutnya. Aku menjawab dengan anggukan.
"Sebentar ya, saya ke belakang dulu. Belum makan 'kan?" Diana bertanya sambil berlalu. Ia meraih belanjaannya.
"Iya, terima kasih Diana," ucapku berusaha menyamai keramahannya.
Diana pergi meninggalkan kami -aku, Teguh, dan Raja− sambil menjinjing belanjaannya."Pantas, kau menolakku waktu itu," godaku sambil menaikkan kedua alis. Teguh tertawa keras mendengar ucapanku.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAMANEA
Historical FictionBlurb Keinarra Galuh seorang mahasiswi keturunan Indonesia-Jepang. Ia terbang ke Indonesia untuk menemukan harta karun atas perintah neneknya. Tapi semakin terang teka-teki rahasia itu, ia justru semakin dekat dengan bahaya. Bahkan semakin dekat den...