Shopping (1)

229 18 11
                                    

¥12.500

Total dari pesanan kami. Habis $125 hanya untuk sekali makan? Tokyo dan New York tidak jauh berbeda kalau soal ini. Sama-sama mahal. Atau mungkin kami bertiga yang terlalu banyak pesan makanan.

"Aduh, kenyang-kenyang! Wah, makanan nya enak sekali. Terimakasih ya!" teriak Paman pada Oji-san yang menjadi chef.

"Ouh, jangan lupa mampir lagi" sahut Oji-san.

"Pasti-pasti! Nah, sekarang ayo pulang!" kata Paman dengan semangat.

"Huh, Paman lupa kalau kita masih harus belanja?" tanya ku.

"Eh? Sekarang?"

"Tentu saja, memang besok kita makan apa kalau sekarang tidak belanja? Dan Ryoma kau juga harus ikut!" sahut ku, sambil menarik jaket Ryoma.

"Ugh!"

Ryoma keliatan sekali tidak terlalu berniat untuk ikut belanja
Enak saja mau kabur, aku kan tidak tau arah. Aku tidak mau kesasar dan harus mengandal kan Google maps / GPS.

"Ahh, hai hai! Menyusahkan saja wanita itu." timpal Paman menggerutu.

Kami pun mulai berjalan di trotoar. Tidak terlalu banyak kendaraan yang lewat dan langit sudah berubah lebih gelap. Dan lampu penerang jalan telah di nyalakan.

"Paman tau di mana supermarket nya?" tanya ku.

Memastikan kami tidak akan tersesat. Siapa tau saja Paman juga tidak pernah disuruh belanja Bibi.

"Ah, tiga blok dari rumah. Di depan 7-11" jawab Paman.

"Tumben Paman hafal jalan secepat ini. Bukanya ini baru 2 Minggu kalian pindah dari LA?" tanya ku

"Bagaimana mungkin tidak hafal? Oyaji membeli majalah eronya di 7-11" sahut Ryoma cuek.

"Ohhhh, pantas" jawab ku sambil menyeringai dan memandang Paman dengan tatapan jahil.

"Yah, Ryoma jangan bilang yang tidak-tidak! Dan Shizuka jangan melihat ku seperti itu!"

Wajah Paman kelihatan sekali malu. Hehehe, menyenangkan sekali menggodanya. 😹

"Lagian, Paman sendiri yang aneh. Jaman sudah secanggih ini. Kenapa harus beli hard copy?"

Rasanya aneh karena di Internet kau bisa bebas melihat situs porno tapi Paman malah lebih memilih membeli buku. Bukankah itu malah membuat nya sering ketahuan Bibi?

"Shizuka, apa kau tidak tau?" tanya Paman dengan nada serius.
"Tentang, apa?" tanya ku malas.

"Meski era digital telah tiba, media kertas tak kan pernah mati. Memilih media kertas merupakan lambang dari semangat emosi Jepang!" kata Paman berapi-api.

"....."

"Ayo, Ryoma kita duluan." bisik ku.

"Emn"

Kami pun meninggal kan Paman yang masih sibuk sendiri. Kalau Paman sudah mulai bersemangat seperti itu pasti bicara nya lama. Lebih baik di tinggal saja.

"Kau tau tempat nya?"

"Ya"

"Kau pasti juga sering ke toko karena membeli Ponta kan" senyum ku jahil.

"Urusai, Nee-san!"

"Hehehehe, benar rupanya"

Dari arah belakang terdengar suara Paman yang mulai mengejar kami.

"Oi, kalian! Kita tidak boleh melupakan semangat emosi Jepang! Oi!!!!" teriak Paman di belakang.

"Paman cepat sedikit! Nanti kami tinggal!" balasku juga berteriak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Empress of TennisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang