P.S: sebelumnya, sangat disarankan untuk baca The Eyeless Pandora, terutama Tabula Rasa dan Red Herring untuk tahu latar belakang cerita antara Hera, Cakra, dan Sekar.
***
Sebelumnya, di Red Herring part 4...
"I really like you, Cakra, do you know that?"
Hera tahu dia sedang mempertaruhkan harga dirinya dengan berkata demikian. Tapi, sepertinya kalau tidak demikian, dia akan terus-terusan penasaran.
Dan bagi Hera, ini bukan urusan untuk diulur-ulur dan membuat penasaran.
Hera bisa melihat raut wajah Cakra berubah. Tuh kan.
"Sori?"
"Gue suka ngobrol sama lo. Kayaknya gampang aja, effortless. Dan gue enjoy banget tiap sama lo," kata Hera, mengaduk-aduk minumannya sekadar menghindari pandangan Cakra.
"Well, Ra, gue juga seneng kok ngobrol sama lo. Selalu asik dan seru," kata Cakra.
Tapi muka lo nggak mencerminkan lo seneng, Cak, batin Hera. Ekspresi setengah melamun Cakra dan sikap tubuhnya yang kaku, serta bicaranya yang gagap saat ini lebih cocok disebut sebagai bingung, tidak nyaman, dan salah tingkah.
Bukan ekspresi yang sesuai dengan isi perkataannya. Dan yang jelas, bukan ekspresi yang ingin Hera lihat.
Hera menghela napas. Rasanya dia sudah menemukan jawaban yang dia cari.
"Cuma kok kayaknya pikiran lo selalu sibuk sama hal lain ya," Hera menyahut. "Gu..." dia mengangkat tangannya, menghentikan Cakra yang ingin menjawab.
"Awalnya gue pikir karena kita baru kenal aja. Tapi ya..." Hera mengangkat bahu.
"Gue perhatiin dua kali kita ketemu Sekar dan lo selalu keliatan aneh. Dan lo selalu keliatan kayak mikirin sesuatu," lanjutnya, susah payah menelan ludah agar tidak tersedak.
"Look, Ra. Gue harus fair ke lo. Iya, gue pernah suka sama Sekar. Tapi itu dulu," kata Cakra buru-buru.
Tuh kan (2).
"Gue pengen banget bisa kenal lo lebih deket. Pengen tau soal lo lebih banyak..."
"Tapi lo nggak bisa," Hera memotongnya. "Karena pikiran lo masih di Sekar."
Susah payah Hera menjaga nada suaranya tetap tenang. Tapi kenapa justru dadanya seperti sakit? Apalagi saat melihat Cakra sekarang tertunduk dan menggelengkan kepala.
"Maafin gue, Ra," kata Cakra, memberanikan diri menatapnya. "I wish I can make it right."
"Cak," Hera merengkuh tangan laki-laki di depannya ini. Dia bisa merasakan kulitnya bersentuhan dengan permukaan kulit tangan Cakra.
"Gue juga maunya gitu. Tapi kayaknya gue nggak mungkin nungguin lo. So, I'm gonna make it easier for you," ujar Hera, masih berusaha keras menjaga nada suaranya, meski dia bisa merasa pelan-pelan wajahnya memanas.
Jangan di sini. Jangan di depan Cakra.
"Hera..." Cakra menahan tangan kanannya. "Ayolah, Cak," Hera melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman Cakra.
"Lo nggak bisa goyah terus. Mau sampe kapan?" Hera memaksa diri tersenyum. "It's been fun, Cak. Tapi kayaknya kita tau hasil akhirnya gimana kalo dipaksain," jawab Hera, lalu mengambil tasnya.
"Gue cabut aja ya, Cak. Baru inget mau nyelesaiin tugas," katanya.
"Gue anterin sampe halte ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
In the Mood for Romance
General Fictionshe was the red herring. now dive deeper into one part of her life.