Gue lupa sejak kapan suka sepak bola. Kayaknya pas gue masih SD, waktu sering nemenin Bapak nonton pas hari Sabtu malam.
Biasanya, gue akan duduk di samping Bapak, nanya ini-itu, trus ketiduran sampe pagi.
Dari situ, baru gue suka main sepak bola di sekolah dan kompleks rumah. Gue nggak pernah ikutan sekolah sepak bola atau apapun itu, tapi karena sering main, ya lama-lama gue belajar dikit-dikit soal skill olahraga ini.
Karena itu juga, gue nggak nolak ketika diajakin main futsal di kampus, bahkan di saat liburan.
"Lo balik ke rumah apa kosan Ru?" tanya Bang Alde saat kami keluar kamar ganti usai mandi dan ganti baju.
"Kosan lah, Bang, nginep gue sampe besok," jawab gue sambil membetulkan tali ransel yang melorot.
"Bareng Hera dong?" tanyanya. "Lah, emang dia ngampus?" sahut gue, tanpa sadar mengernyitkan kening. "Ada, tadi gue liat ketemu sama Gisca sama anak-anak lain yang pada SP," jawabnya, lalu menyikut gue. "Samperin lah, Ru," kata Bang Alde.
"Hahaha, iya, Bang," gue tertawa canggung, tapi tidak urung mengeluarkan ponsel. "Sejak kapan, Ru?" tanya Bang Alde tiba-tiba.
"Sejak kapan apanya?"
"Sama Hera," Bang Alde nyengir. "Kalo kenal sama sering ngobrol sih dari jaman kelas Bu Marpaung, Bang," gue mengikat tali sepatu gue.
"Oh, jadiannya dari kelas si ibu," Bang Alde manggut-manggut.
"Kagak jadian juga sih," cetus gue. "Lah, gue kirain udah pacaran," Bang Alde tertawa. Gue terdiam, bingung mau jawab apa.
Kalo boleh jujur, yang bikin gue bingung adalah karena gue masih nggak bisa mendefinisikan relasi gue dan Hera, bahkan setelah pertemuan kami kemarin sore.
Nggak peduli betapa menyenangkannya obrolan kami, nggak peduli bagaimana gue kepengen jadi orang yang ada buat Hera, kami nggak pernah benar-benar ngomongin sebenernya kami ini gimana.
Beberapa orang mungkin nggak pusing sama label, tapi gue rasa gue dan Hera memang sama-sama harus punya kejelasan soal posisi kami berdua.
"Yah, dia bengong," lagi-lagi Bang Alde menceletuk sambil geleng-geleng kepala. "Ru, lo tau Juergen Klopp kan?"
"Tau lah, Bang," jawab gue. Ngapain juga tiba-tiba Bang Alde ngomongin pelatih Liverpool yang suka seru sendiri itu. "Nah, lo ikutin deh tuh filosofinya dia. Gegenpressing. Gas langsung," kata Bang Alde.
Gue mengernyit. "Maksudnya?"
"Ah elah nih anak. Ya lo tanya langsung lah sama Hera," Bang Alde lagi-lagi berdecak. "Tarik-ulur cuma berlaku kalo lo main tiki-taka. Oper sana oper sini sampe lawan lo capek. Tapi gue rasa taktik itu nggak berlaku di sini," ujarnya.
Langkah kaki gue dan Bang Alde tanpa sadar membawa kami berdua mencapai kantin. "Tuh bocahnya," Bang Alde menyikut gue dan menunjuk salah satu bangku.
Hera sedang ngobrol bersama Mbak Gisca, teman seangkatannya dan Bang Alde. Gue berdehem. "Bang, gue ke dalem ya," ucap gue.
"Ya udah, gue duluan ya. Ditunggu makan-makannya," gue tidak mendengar perkataan Bang Alde itu dan memasuki kantin dan mendekati Hera.
"Ra," panggil gue.
***
Dia tersentak menatap gue. "Lah lo baru kelar latian?" tanyanya. "Iya. Hai, Mbak Gis," gue melambai sejenak ke Gisca.
"Eh, Uda. Latian futsal ya?" tanya Gisca. Gue mengangguk. "Iya, tuh, barusan sama Bang Alde," jawab gue. Gisca mengangguk, lalu beralih ke Hera.
"Nah udah ada si Uda kan. Gue duluan ya, Ra," kata Gisca. "Ih ntar aja lah," bujuk Hera. Gisca geleng-geleng kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
In the Mood for Romance
General Fictionshe was the red herring. now dive deeper into one part of her life.