The Utility Player

393 38 44
                                    

Beberapa waktu setelah "Biru"

Bang Edward dan Bang Alde sama-sama menatap gue.

"Gimana, Ru? Bisa kan kalo Kamis nanti lo jadi striker?" tanya Bang Edward, alumni merangkap pelatih tim futsal jurusan gue.

"Darurat nih soalnya kalo Bimo mendadak cedera gini," gue bisa mendengar nada khawatir dalam suaranya.

Gue mengangkat bahu. "Ya bisa-bisa aja sih. Yang lain gimana?" tanya gue.

"Sikat lah, Ru, kalo menurut gue, anak-anak juga pasti ngerti kok. Lo kan bisa tuh nyetak gol," kata Bang Alde, kapten baru tim kami.

"Ya udah," kata gue. Raut wajah Bang Edward berubah sedikit, nggak setegang waktu Bang Bimo, yang harusnya jadi striker tim kami, ternyata mengalami masalah di betis dan nggak bisa meneruskan sesi latihan kami kemarin.

Latihan memang tetep lanjut, dan pada akhirnya Bang Edward meminta gue mengisi posisi Bang Bimo, meski gue sebenernya lebih suka main jadi gelandang.

Cuma ya namanya darurat, dan dua hari lagi kami mau tanding, jadilah gue nurut aja.

Tadi Bang Alde memang meminta gue ketemu dia dan Bang Edward habis kelas. Gue nggak tau kalo ternyata inilah maksud pertemuannya.

"Ya udah kalo gitu. Biru kan juga belom lama gabung sama tim, jadi gue rasa lawan juga masih susah ngenalin gaya mainnya. Wawan aja waktu sparring sempet kecele kan," ujar Bang Edward.

"Sepakat ya?"

"Sepakat."

Bang Edward menghela napas lega. "Hah, bagus deh. Berarti bisa ya?" dia sekali lagi memastikan.

"Siap, Bang," jawab gue menutup sesi konsolidasi dadakan sore itu di kantin. "Thank you ya, Ru," Bang Alde menepuk bahu gue.

Kalo lo tanya posisi gue pas main futsal atau sepak bola apaan, sebenernya gue agak bingung jawabnya.

Gue sih sejujurnya lebih nyaman main di sayap kiri atau belakang striker.

Tapi pada kenyataannya, gue pernah diminta jadi gelandang bertahan, bek sayap, sampe barusan diminta jadi striker.

Ya nggak apa-apalah. Anggap aja gue pemain yang fleksibel. Istilah kerennya sih utility player, kayak bek sayap favorit gue, Philipp Lahm, yang jago main di beberapa posisi berbeda.

Cuma ya Philipp Lahm sama gue beda rejeki aja. Bedanya jauh banget, maksud gue.

Tapi ya di luar perbedaan takdir gue dan Lahm, gue sih selalu enjoy baik saat main sepak bola atau futsal.

Apalagi, sejak keinginan gue ikutan kegiatan mahasiswa pencinta alam nggak direstui Bapak dan Ibu, olahraga-lah yang menampung tendensi gue yang males duduk lama-lama ini.

Bang Edward segera pamit demi bergabung dengan beberapa temannya di meja lain, tapi keberadaannya langsung tergantikan orang lain. Mbak Hera menghampiri meja gue, tepatnya ke Bang Alde.

"De, nih laptop lo. Thank you ya," dia mengeluarkan tempat laptop dari tas kanvas hitam yang selalu dia bawa ke mana-mana, sementara perhatian gue teralih ke pesan dari Wisnu, adik gue semata wayang.

Wisnu Adi Sailendra
heh
balik kapan lo mas?

Danarjati Biru Neruda
(((heh)))
ckckckckckck
gue bilangin Ibu ya.

Wisnu Adi Sailendra
lho justru Ibu nyuruh gue WA lo
ditanyain tuh mas kapan balik

Danarjati Biru Neruda
Jumat pagi ya. gue ada tanding pas Kamis. 
Lo di rumah btw?

In the Mood for RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang