Cakra tersenyum, tapi aku bisa melihat dia ragu-ragu. "Apa kabar, Ra?" tanyanya.
"Baik kok," jawabku. "Jemput Sekar?"
Aku tidak tahu apakah obrolan dengan Sekar tadi berpengaruh, tapi berhadapan dengan Cakra dan menyebut nama Sekar rasanya tidak sepahit pertemuan waktu itu.
Atau mungkin memang semuanya sudah biasa-biasa saja antara aku dan Cakra, entahlah.
"Iya nih," Cakra mengangguk. "Lo mau balik apa gimana?"
"He-euh, tadi ada urusan dikit, trus mau jalan lagi,"
"Sendiri?" pertanyaan Cakra otomatis membuatku menengok ke Biru di sebelahku. "Nggak. Gue sama Biru," jawabku.
Aku bisa melihat Biru mengangguk ke Cakra, yang juga dibalas anggukan singkat darinya.
Ya Tuhan, semoga Biru nggak bingung dengan pemandangan antara aku dan Cakra ini. Karena tiba-tiba aku takut dia akan salah sangka.
"Eh..."
"Cak..."
Aku dan Cakra sama-sama berhenti. Cakra berdehem. "Gue ke tempat Sekar dulu ya. Yuk. Take care," katanya.
"Eh iya," cetusku. "You take care too, Cak," untuk pertama kalinya sejak entah kapan, aku dan Cakra bertukar senyum.
Pertemuan hari ini benar-benar membuat aku sadar satu hal: perasaan-perasaan yang sempat muncul sebentar buat Cakra, mulai dari yang membuatku senang sampai yang sempat membuatku sedih, sudah tidak ada lagi bekasnya.
"Makasih ya, Hera," sahut Cakra.
Entah siapa yang mulai, kami berdua bersalaman sebelum berpisah.
***
Kami sedang menuruni tangga ketika gue menyentuh pelan ujung kaos Hera. "Hera," panggil gue.
"Ya, Ru?" Hera menengok. Gue menatapnya ragu-ragu. Beranikah gue nanya ke dia? "Hei, Biru..." dia menggoyangkan tangannya di depan gue.
"Lo nggak apa-apa?" tanya gue. Gue tidak perlu bertanya untuk tahu siapa cowok yang namanya Cakra itu. Dia cowok yang sama yang pernah gue lihat bersama Hera, mengobrol serius, sebelum Hera mendadak pergi.
Saat itu gue terlalu terkejut dengan pemandangan yang gue lihat, tepatnya saat Hera setengah berlari keluar dan meninggalkan area kampus.
Gue nggak pernah dapet cerita lengkap antara Hera dan cowok bernama Cakra itu, tapi nggak sulit untuk menebak bahwa pasti ceritanya nggak enak. Bahkan ketika Hera tersenyum dan bicara dengan santai seperti barusan.
Hera balas menatap gue. "Baik-baik aja kok, Ru. Kenapa?" tanyanya. "Oh ya, bagus deh," jawab gue sekadarnya. "Itu temen lo?"
***
Akhirnya pertanyaan itu datang juga. Aku spontan menggeleng.
"Itu namanya Cakra. Anak fakultas sebelah, ikut band juga," kataku. Perubahan ekspresi Biru menandakan dia sepertinya sudah paham.
Aku ingat, Biru cerita pernah melihat aku dan Cakra di siang naas itu. Aku rasa apapun yang dia lihat antara aku dan Cakra sudah cukup membuat Biru paham.
Tapi aku tetap merasa perlu menceritakan semua ke Biru, karena aku tidak mau dia keliru mengira Cakra dan aku masih ada apa-apa.
Jadi, dalam perjalanan menuju parkiran, aku bercerita soal aku dan Sekar, dengan sesingkat dan seefisien mungkin.
"Tunggu, cewek yang tadi gue liat ngobrol sama lo..."
"Itu Sekar. Ceweknya,"
"Trus lo gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
In the Mood for Romance
General Fictionshe was the red herring. now dive deeper into one part of her life.