Chapter 10

4.2K 448 46
                                    

Apa?

Mengapa?

Bagaimana bisa hati si pemuda meluncur pada telapak tangannya?Bilamana sepasang bola mata lautan mulai memancarkan rasa untuk senyumnya? Seonggok tubuh dengan indra peraba yang membentang bagai satin. Sepotong sunggingan yang merekah bagai roti gulung kayu manis. Sepasang bola mata bulat pingpong bagai memenjarakan berjuta bening dan semerbak aroma tubuh bagai meriahnya padang lavendel. Naruto tak mampu membendung gelegak air liur yang memadati bibirnya lalu meluncur cepat melewati kerongkongan. Baru kali ini Naruto silau akan pesona makhluk bernyawa. Namun beribu sayang yang dicintai bukanlah seorang wanita. Perengkuh hatinya ialah sesosok raga tanpa indung telur dan rahim.

Penglihatan Naruto tak beranjak dari makhluk mungil yang sedang asyik memalingkan parasnya pada dua arah berlawanan. Padatnya benda bermesin sore ini menyulitkan langkah keduanya membelah jalan raya. Para monster bermesin membaur dengan raksasa jalanan memainkan ensambel klakson yang sukses menerjunkan riang hati sang pelukis. Rasa berdebar ketika Hinata mengangguki ajakan singgah pada kedai ramen, berubah geram saat tak setapak pun mereka bergeser dari bibir jalan sejak lima belas menit berlalu. Siapa lagi yang mampu mengaduk emosi sang pemuda selain pembantu pribadinya. Pria gadungan itu tak ubahnya ibu-ibu penakut yang tak mahir melintasi derasnya arus aspal lebar.

Gigi Naruto bergemelutuk sebelum lengan kekarnya memasung jemari mungil si pria cantik.

Mata bulat semakin membola ketika pandangannya jatuh pada pipi semburat jambu pemuda jangkung di hadapannya. Merah dan keemasan terhampar luas di belakang tubuh sang pemuda dan redup perlahan membujur sepanjang susunan dirgantara. Bibir tipis Hinata menganga dalam keterpanaan. Beberapa takjub menyusun getaran hingga membekukan syaraf telapak tangannya yang terpenjara. Semakin rapat dekapan telapak Naruto, semakin peluh melekatkan garis takdir keduanya. Garis berliku yang menempuh panjangnya pangkal telunjuk hingga perbatasan pergelangan tangan. 

Pandangan Hinata turun menekuri kedua punggung tangan berlawanan tapi bersinggungan dalam hasrat. Satu kekar dan lainnya mungil. Satu gelap dan lainnya pucat. Satu perkasa dan lainnya lemah gemulai.

Bahu Naruto sedikit merendah, “Aku akan menuntun langkah kita! Kau hanya harus mengikuti ke mana kakiku menuju,” bisiknya tepat pada daun telinga si pria mungil.

Irama urakan menyela detak jantungnya yang teratur hingga sesaknya menghunjam ulu hati, “Baiklah, Naruto-san.” Cicit Hinata.

Biru samudra menyipit seiring susunan kurva pemikat menghubungkan ke-dua sudut bibirnya, “Jangan lepaskan tanganku.” Pintanya, “Jika ayunan langkah kita selaras dengan keyakinan hatimu, kita akan menggapai seberang dan meluruhkan rintangan.”

Apalah daya Hinata hingga mustahil menganggukkan lehernya.

Rahang tegas itu tercampak pada bentangan jalan raya yang siap menghadang. Hingga setapak demi setapak dua pasang tungkai menembus keruwetan jalan raya yang dijejali benda bermesin. Sebelah lengan Naruto yang bebas menggantung berusaha menghalau arus susulan dari kendaraan berikutnya. Tanpa cemas, Naruto menyelinap celah sempit yang tercipta dari toleransi para pengemudi.

Senyum lega mengakhiri perjuangan mereka mengarungi hamparan kelam  jalan raya yang merayap, “Bagaimana? Kita sudah sampai seberang jalan, kan?” lagi-lagi intonasi rendah mengalun dari getaran pita suara si jangkung.

Anggukan kepala Hinata disertai ludah yang tertelan berulang kali sebagai balasannya. Bagaimana mungkin seorang yang berlidah api menjadi penyiraman dahaga? Lalu ke mana larinya mulut pisau yang selalu mencincang perasaan pendengarnya? Lantas ke mana pula lenyapnya perilaku congkak bak komandan batalion itu? Kenapa pria dewasa dambaan tiap hati itu menjelma menjadi pujangga sastra kelas jagad raya? Tanda tanya saling terpaut hingga membelit otak Hinata yang kecil. Meskipun logikanya terperangah, tapi hati kecilnya bungah.

Mr. Sneeze ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang