Langit jingga keunguan di ufuk barat telah siap memudar seiring tenggelamnya matahari sore oleh cakrawala. Menandakan alam ingin segera menggelap. Desiran ombak yang menabrak karang menyemburkan aura yang membuat siapa saja terpana ketika melihatnya. Diatas pasir putih serta gemerisik angin yang menabrak dedaunan. Setiap petikan gitar dari jari-jemarinya yang menghasilkan irama beralun merdu. hanyalah teman dari kesedihan gadis belia itu. Tak cukup ia dengan alat musiknya. Tak cukup pula menyairkan gundah dihatinya.
"Murphy, apa masih disana ?" suara seorang pria. Langkah demi langkah ia mendekat ke bibir pantai. Menghampiri gadis yang memunggunginya. Kedua tapak sepatu pantofelnya menjejak di hamparan pasir.
Murphy. Sebutan lain seorang Pavla si anak pantai. setelah mendengar suara dengan langkah kaki bersamaan dari belakangnya. Ia tetap bergeming. Tak menoleh ataupun menjawab. Masih fokus pada senar yang dipetik oleh lincahan jarinya. Bersama gitar putih kesayangannya itulah Pavla menghabiskan waktu setiap hari. Sesekali ombak menyambar kaki jenjangnya.
Begitu sadar yang memanggilnya kini telah berada dekat. Barulah gadis itu mengangkat dagu sembari menoleh kearah pria di sebelahnya.
"Bukankah sudah kukatakan jangan memanggilku Murphy, seperti nama anjing saja," rutuk gadis berwajah campuran Austria-Hungaria dengan potongan rambut panjang tergerai bebas.
Dirinya memang tidak suka jika di panggil Murphy sekalipun itu panggilan sayang dari Kakaknya. Menurutnya Murphy adalah anjing pembunuh yang menyamar menjadi anjing sok baik di depan Tuannya. Munafik. Gambaran mengapa ia benci nama itu. Tidak rasional dengan alasan adiknya, membuat pria itu tidak berhenti memanggilnya Murphy.
Timotej Noe, apa saja asal jangan nama Murphy.
Pria berpakaian rapi-jas dan dasi slim merah marun masih melekat di tubuhnya. Menandakan Noe baru saja pulang dari tugas sehari-hari menatap monitor. Ia mengulum senyum, seakan mendengar suara hati adik semata wayangnya. "Oh okay Nadege Rumer Pavla, kau tahu aku tidak suka memanggilmu Pavla, but i did. Untuk itu, pulanglah bersamaku," Noe berjongkok di sebelah adiknya. Berharap kali ini Pavla mau diajak pulang dan meninggalkan pantai yang sudah menjadi rumah keduanya.
Pavla dan keluarganya tinggal bersama di kota bernama Partizanske. Salah satu daerah terpencil di kawasan Hlohovec Negara bagian Slovakia. Kota yang memiliki penduduk tersibuk.
Hanya terpaut kurang lebih satu kilo dari kediamannya, terdapat pantai landai yang di beri nama sendiri oleh Pavla, Bemabe.
Tak ada alasan selain 'tak bernama' saat menemukan pantai itu. Akhirnya Pavla-lah yang memberinya nama.Kesukaan Pavla pada pantai bukanlah hal baru untuk Noe. Adiknya itu sudah lama mengagumi keindahan pesisir. Mungkin bisa dibilang saat pertama kali melihat pantai ia sudah jatuh cinta.
Setiap hari Pavla menghabiskan waktu senggangnya bernyanyi di bibir pantai Bemabe. Menyaksikan matahari terbit dan terbenam disana telah menjadi rutinitasnya yang tak satupun orang bisa menghalangi. Menurutnya berada dipantai adalah hal paling menenangkan kedua setelah bermain musik. Sekaligus tempatnya melarikan diri saat terkena masalah. Dibanding dengan berjalan-jalan dan nongkrong bersama teman-temannya ia lebih memilih berada di pantai. Tak heran jika Pavla selalu sendiri.
Angin pantai-lah yang cukup berhasil memberi Pavla ketenangan. Sesuai dengan namanya Bemabe yaitu ketenangan.
Pavla melirik Noe sekilas kemudian kembali menatap jarinya yang menekan senar seraya membentuk kunci E minor, "apa otec yang menyuruhmu?" bibir mungil gadis itu terasa berat menyebut kata 'otec' dalam bahasa Slovak berarti Ayah. "If right, biarkan aku tetap menikmati pantai yang lebih baik dari rumah ini," sambung Pavla dengan aksen selatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls And The Covenants
Fantasy[REVISI SETIAP SAAT] Kecuali semua adalah ilusi. Di peradaban yang serba modern ini, tentu tak sedikit orang yang masih percaya pada ilmu hitam, dan kebenaran penyihir. Karena perkembangan zaman kekuatan magis itu perlahan tenggelam di pikiran mas...