Satu

51 5 0
                                    


Semua orang memandang dengan tatapan dasar—anak—bebal kearahku. Pergantian jam pelajaran tadi sekolah memanggil namaku lewat sentral yang kemungkinan besar didengarkan oleh seluruh warga sekolah. Sebab apa? Sebab salah parkir. Menyebalkan sekali. Maksudku, oh ayolah! Salah parkir bukanlah sesuatu yang besar bukan? Bahkan seseorang yang tau bahwa motorku tidak pada tempat yang benar bisa saja memindahkannya. Ah tapi dunia suka melebih-lebihkan sesuatu. Bahkan dalam hal sekecil kesalahan parkir. Ya aku tau, aku memang bukan anak yang terkenal dengan kedok baik tapi setidaknya, tidak dipermalukan dengan sebatas kesalahan parkir.

Di pertigaan kantor guru, Pak Yos menghentikan langkahku yang buru-buru dengan suaranya yang berat, wajahnya itu selalu saja muram saat bertemu denganku. Badannya yang tegap dan tinggi itu berdiri, sementara kedua tangannya itu dilipat di dadanya, "apa tidak ada orang yang mengingatkanmu untuk meletakkan motor di tempat yang lebih aman, Nak?"

Tentu saja ada, "maaf Pak. Saya hanya suka parkir disana. Motor saya terlindungi dari matahari," jawabku sekenanya. Guru dengan kumis tebalnya itu menghela nafas sebelum akhirnya membiarkanku pergi sambil menggumam tidak jelas di belakangku.

Sejujurnya tidak salah semua pandangan-pandangan itu ditujukan untukku. Aku memang salah sebab parkir tepat dibawah penebangan pohon mangga yang terlalu rimbun di area parkir. Tadi pagi satpam sudah mengomeliku panjang lebar tapi aku pikir itu cuma wacana. Pikirku itu malah membuatku sial sepanjang hari. Kupingku panas sudah.

Benar saja. Di parkiran itu hanya sisa motorku. Keseluruhan motor yang lain terparkir di sisi lapangan utama yang terik. Dari tempat itu, Pak Dul, satpam sekolah jalan dengan gaya khasnya ke arahku. Sepertinya akan ada ocehan berkepanjangan lagi.

"Heh! Kamu ini yang tadi pagi kan? Sudah dibilangin jangan...."
Dan blablabla. Pak Dul masih mengoceh sementara aku sibuk memandangi pria yang sedang berdiri disalah satu dahan pohon di belakangnya. Beberapa orang lainnya juga sama sibuknya, untuk menebang dahan-dahan yang terlalu rimbun dan dirasa membahayakan. Sambil akhirnya menoleh ke Pak Dul yang wajahnya lebih muram dari Pak Yos, aku mendecak. Aku sudah menduga ini akan terjadi, jadi aku pura-pura sibuk dengan motorku sambil berusaha tidak mendengar ocehannya. Tapi sepertinya satpam satu ini ingin memuaskan amarahnya padaku.

"Saya jadi kena marah kepsek, tau?" Amuknya.

Aku melempar senyum, terpaksa, "ya mau bagaimana? Bapak mau saya mengulang waktu?"

Seseorang menghampiri kami dan meminta izinku untuk memindahkan motorku ke tempat yang lebih aman. Duh, baiknya jika aku yang memindah, aku tidak perlu melanjutkan kesialan telingaku karena satpam menyebalkan ini. Tapi kemudian aku memberinya izin dan tetap berada di tempatku sambil memandang Pak Dul dengan sumpah serapah di hatiku.

Suara debuman ranting cukup besar dari pohon tak jauh dariku membuatku menoleh. Satpam yang masih sibuk mengomel itu menoleh juga. Dan aku mencuri waktu untuk beranjak dari sana.

"Heh Mbak!" Pria yang masih saja ingin meneruskan emosinya itu mencegahku.

Mendadak, sebuah tangan menarikku, dan merengkuhku sebelum aku menatap wajahnya dengan jelas. Astaga apa-apaan!?

"Eh ada ap—"

Sebelum pertanyaan itu terucap lengkap, sebuah batang yang cukup besar dari atas kuyakini telah menumbuk tubuh kami hingga ke atas tanah.

Gelap.

***
Semuanya buram saat aku mencoba menyelaraskan pandangan. Lama-lama dapat kulihat jelas seorang wanita—Ibu. Dan seorang lagi disebelahnya. Sayangnya sebelum aku ketahui siapa, kepalaku langsung pening bukan main.

"Samira...." suara lirih Ibu, dan tangannya yang lembut membelai rambutku. Sebuah peristiwa yang sudah lama sekali tidak terjadi. Tangannya yang lain memijit pelan keningnya sebelum akhirnya bibirnya itu mengecup pelan. Desiran hangat menjalari sekujur tubuhku dan aku merasa aman saat ini.

Samira dan Ujung Waktu MiranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang